Sabtu, 29 Mei 2010

Perda AIDS Hanya ’Macan Kertas’

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 27/8-2009. Ada dua berita tentang kebutuhan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS di Kota Medan: (1) Aktivis kesehatan: Medan butuh Perda AIDS (Waspada Online, 20 Agustus 2009), dan (2) Medan Butuh Perda AIDS (Harian “Berita Sore”, 19 Agustus 2009). Sampai Agustus 2009 sudah 30 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten sampai kota yang sudah menerbitkan perda penanggulangan AIDS. Apakan perda-perda itu (bisa) bekerja menanggulangani epidemi HIV?

Perda penanggulangan AIDS di Indonesia dimulai di Kab. Nabire, Tanah Papua, yang menelurkan perda tahun 2003, sedangkan yang terakhir adalah Prov. Kalimantan Barat yang mengesahkan perda Februari 2009. Ide pembuatan perda AIDS di Indonesia bertolak dari keberhasilan Thailand menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui ’program pemakaian 100 persen kondom’.

’Program pemakaian 100 persen kondom’ ditujukan kepada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks di lokalisasi dan rumah-rumah bordir di Negeri Gajah Putih itu. Program ini merupakan promosi pemakaian kondom pada hubungan seks berisiko yang pada gilirannya pekerja seks diwajibkan menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom ketika melakukan hubungan seks. Celakanya, program itu tidak bisa diterapkan di Indonesia karena beberapa faktor.

Pertama, di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sehingga mekanisme pengawasan tidak bisa dilakukan. Thailand mengawasi program itu dengan cara survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap pekerja seks. Kalau ada pekerja seks yang mengidap IMS maka itu membuktikan ada pekerja seks yang melayani laki-laki ’hidung belang’ tanpa kondom. Germo atau mucikari pengelola lokalisasi atau rumah bordir akan diberi peringatan sampai pencabutan izin.

Kedua, di Indonesia terjadi gelombang penolakan terhadap kondom karena selama ini kondom dikaitkan dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, kondom dianggap sebagai alat untuk mendorong orang melakukan hubungan seks di luar nikah.

Ketiga, pemahaman masyarakat terhadap cara-cara pencegahan dengan kondom sangat rendah sehingga banyak orang yang tidak mau memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko yaitu: (a) pada hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) pada hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.

Tiga alasan itu merupakan ganjalan terhadap ’program pemakaian 100 persen kondom’ pada hubungan seks berisiko. Selain itu program ini merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif di Thailand. Maka, program kondom yang ditawarkan di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.

Ada pernyataan ” ..... Kota Medan di Provinsi Sumatra Utara (Sumut) merupakan daerah dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di provinsi itu.” Di beberapa ibu kota provinsi kasus HIV/AIDS tinggi karena di kota inilah tersedia layanan konseling dan tes HIV. Maka, banyak orang dari luar kota Medan yang terdeteksi di Medan sehingga kasus di Medan tinggi.

Disebutkan ” ....jumlah mereka yang terinfeksi virus HIV/AIDS yang tidak terdata jauh lebih besar. Fenomena ini, menurut Daniel, menunjukkan kemungkinan kurangnya kesadaran mereka yang berisiko tertular HIV/AIDS memeriksakan dirinya ke rumah sakit.” Kondisi ini terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul bukan fakta medis tapi mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, mengait-ngaitkan zina, pelacuran, seks pranikah, jajan, selingkuh, ’seks bebas’, dan homoseksual sebagai ’penyebab’ HIV/AIDS. Buktinya, dalam berita di ”Waspada” juga ada pernyataan ” Masih banyak yang menganggap HIV/AIDS hanya menulari mereka yang melakukan seks bebas ....” Istilah ’seks bebas’ adalah terminologi yang ngawur yang merupakan terjemahan besar dari free sex yang tidak dikenal dalam kosa kata bahasa Inggris.

Lagi pula kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai zina atau melacur maka sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks mereka lakukan dengan ’seks bebas’.

Satu hal yang luput dari perhatian pemrakarsa perda AIDS adalah program ’100 persen kondom’ di Thailand merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan yang komprehensif. Akibatnya, perda-perda AIDS itu pun mengekor ke ekor program Thailand. Tentu saja hasilnya tidak bisa diharapkan seperti di Thailand.

Hal itu memang terbukti. Dari 30 perda sudah 28 yang penulis analisis. Hasilnya? Semua perda tidak menawarkan penanggulangan dan pencegahan penularan HIV yang akurat. Penanggulangan yang ditawarkan dibalut dengan norma, moral, dan agama. Perda AIDS Prov. Riau No. 4/2006, misalnya, pada pasal 5 disebutkan Pencegahan HIV/AIDS dilakukan melalui cara:
a. Meningkatkan Iman dan Taqwa
b. Tidak melakukan hubungan seksual di luar perkawinan yang sah.
c. Setia pada pasangan tetap dan atau tidak melakukan seks bebas.

Tiga cara ini normatif yang merupakan mitos bukan medis. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis artinya bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga pencegahan pun dalam dilakukan secara medis.

Lagi pula ayat a mengesankan bahwa orang-orang yang tertular HIV berarti tidak beriman dan tidak bertaqwa. Ini mendorong masyarakat melakukan stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (pembedaan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Begitu juga ayat b dan c sama sekali bukan cara yang akurat dalam mencegah penularan HIV melalai hubungan seks.

Di Sumatera Utara sudah ada daerah yang menerbitkan Perda AIDS yaitu Kab. Serdang Bedagai melalui Perda No. 11/2006. Apakah perda ini bekerja? Tentu saja tidak karena tidak menawarkan cara-cara penanggulangan dan pencegahan yang realistis. Pasal 3 ayat c, misalnya, disebutkan: Melaksanakan penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) secara terpadu dan berkala di tempat – tempat perilaku berisiko tinggi, termasuk di dalamnya keharusan penggunaan kondom 100% melalui Tikes (Tim Kesehatan) yang dibentuk oleh Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai. Karena tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir tentu saja program ini tidak jalan.

Begitu pula dengan pasal 6 yang mengatur larangan bagi orang-orang yang sudah mengetahui dirinya tertular HIV. Persoalan besar pada epidemi HIV adalah banyak orang yang justru tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi sampai masa AIDS yaitu antara 5-15 tahun. Pada rentang waktu inilah terjadi penularan secara horizontal antar penduduk tanpa disadari.

Maka, kalau Pemkot Medan tetap akan menerbitkan perda maka pasal yang harus ada adalah: (1) Setiap laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang berganti-ganti; (2) Setiap laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan; (3) Setiap perempuan wajib memaksa pasangannya memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti atau dengan seorang laki-laki yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti.

Selanjutnya ada pula pasal yang menyebutkan: (1) Setiap laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang berganti-ganti wajib menjalani tes HIV; (2) Setiap laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV; (3) Setiap perempuan yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak memakai kondom wajib menjalani tes HIV, (4) Setiap perempuan yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki atau dengan seorang laki-laki yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom wajib menjalani tes HIV.

Hanya dengan materi HIV/AIDS yang akurat yang dapat membuka mata hati masyarakat memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang realistis. Informasi yang akurat membantu masyarakat melindungi dirinya agat tidak tertular atau menularkan HIV kepada orang lain.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar