Senin, 24 Mei 2010

Menyikapi Epidemi HIV/AIDS di Sumatera Utara

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 18/9-2001. Kalau ditilik dari aspek epidemiologi tidak ada alasan untuk menyebutkan bahwa di Kabupaten Karo belum ditemukan kasus HIV/AIDS karena epidemi HIV tidak mengenal batas wilayah. Sampai 30 Juni 2001 dalam data yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL Depkes tercatat 35 kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara yang terdiri atas 27 HIV dan 8 AIDS serta 3 meninggal.

Saat ini semua negara di dunia sudah melaporkan kasus HIV/AIDS di negaranya. Sampai akhir tahun 1999 tercatat 34,3 juta kasus HIV/AIDS secara global. Sedangkan di Indonesia sampai 30 Juni 2001 tercatat 2.150 kasus dengan perincian 1.572 HIV dan 578 AIDS serta 258 meninggal. Karena epidemi HIV tidak mengenal batas wilayah maka angka kasus global dan nasional merupakan gambaran yang nyata sehingga kita tidak melihat kabupaten “X”, kecamatan “Y”, atau propinsi “Z” tetapi melihat angka global.

Artinya, angka-angka itu menunjukkan epidemi sehingga risiko tertular di mana pun ada jika seseorang melakukan kegiatan berisiko tinggi yaitu adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Jadi, biar pun di Kabupaten Karo belum ditemukan kasus HIV/AIDS (“Penderita HIV/AIDS Belum Ada Ditemukan di Kabupaten Karo”, Analisa, 13/9-2001) hal itu tidak menjamin semua penduduk HIV-negatif karena bisa saja mereka melakukan kegiatan berisiko di luar daerahnya atau di luar negeri. Lagi pula gambaran kasus HIV/AIDS diketahui melalui tes surveilans HIV (tes yang dilakukan secara sistematis dan rutin). Dalam kaitan ini patut dipertanyakan: Apakah Pemkab Karo menjalankan tes surveilans HIV? Kalau jawabannya “Tidak” maka pernyataan yang menyebutkan belum ada kasus HIV/AIDS di Karo merupakan fakta yang semu.

Penyakit Kelamin

Soalnya, orang yang terinfeksi HIV tidak dapat dikenali dari kondisi fisiknya. Biar pun ada gejala-gejala klinis yang terkait dengan HIV/AIDS, seperti panas, diare, berat badan turun, dll. tetapi gejala ini tidak hanya terkait dengan HIV/AIDS. Ada penyakit yang juga menunjukkan gejala-gejala tersebut. Untuk itu diperlukan surveilans tes agar dapat dilihat prevalensi (persentase orang yang HIV-positif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula). Di Malaysia, misalnya, surveilans tes HIV dijalankan secara sistematis dan rutin terhadap pasien klinik IMS (infeksi menular seksual, seperti hepatitis B, sifilis, GO, dll.), pengguna narkoba suntikan (injecting drug user/IDUs), wanita hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB. Surveilans terhadap pasien klinik IMS dan wanita hamil sangat realistis karena mereka jelas sudah melakukan hubungan seks yang tidak aman sehingga ada risiko tertular karena mereka jelas tidak memakai kondom.

Surveilans itu pulalah yang membuat angka kasus HIV/AIDS di Malaysia jauh lebih realistis dari Indonesia. Sampai 30 Juni 2001 Indonesia yang berpenduduk 200 juta lebih baru mencatat angka 2.150 (angka ini termasuk orang asing yang terdeteksi di Indonesia yaitu 277, tidak diketahui 68 dan tidak disebut 47, dan tes surveilans). Bandingkan dengan Malaysia yang berpenduduk 20 juta sampai penghujung tahun 1999 saja sudah dilaporkan 31.126 kasus HIV/AIDS ke Departemen Kesehatan yang terdiri atas 25.796 HIV, 3.003 AIDS dan 2.327 meninggal.

Dalam berita itu disebutkan “Kabupaten Karo yang merupakan daerah tujuan wisata kedua setelah Parapat, Kabupaten Simalungun Sumatera Utara, cukup rentan terhadap penularan penyakit kelamin termasuk "HIV/AIDS". Dalam pernyataan ini ada beberapa hal yang tidak akurat.

Pertama, pemakaian terminologi penyakit kelamin tidak tepat karena tidak semua infeksi yang menular melalui hubungan seks yang tidak aman terjadi pada alat kelamin. Misalnya, hepatitis B yang juga menular melalui hubungan seks yang tidak aman sama sekali tidak terjadi infeksi di alat kelamin.

Kedua, tidak ada daerah atau kelompok yang rentan terhadap epidemi HIV karena sebagai virus HIV yang terdapat dalam darah, sperma dan cairan vagina hanya menular melalui cara-cara yang sangat khas (spesifik) yaitu (1) melalui hubungan seks (sanggama), baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (4) dari seorang wanita yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui.

Jadi, risiko tertular HIV bukan karena daerah itu menjadi tujuan wisata tetapi sangat dipengaruhi oleh kegiatan penduduk. Apakah mereka melakukan kegiatan yang berisiko baik di daerahnya atau di luar daerahnya? Kalau jawabannya “Ya” maka ada risiko tertular. Persoalannya adalah seseorang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui dirinya sudah tertular karena tidak ada gejala-gejala yang khas.

Kalau pun kelak ada gejala baru terjadi setelah 5-7 tahun sejak terinfeksi. HIV adalah sejenis retrovirus yang dapat menggandakan diri pada sel-sel yang ditumpanginya (sel-sel darah putih yang biasanya menjadi bala tentara melawan bakteri, kuman atau virus yang masuk ke tubuh). Jika sel-sel darah putih sudah banyak yang dirusak HIV maka sistem kekebalan tubuh seseorang pun turun sehingga sangat mudah diserang penyakit. Kondisi inilah yang disebut masa AIDS.

Pencegahan

Biar pun epidemi HIV terkait dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon), artinya kasus yang terdeteksi merupakan bagian kecil dari kasus yang tidak terdeteksi (lihat gambar). Tetapi, hal ini hanya untuk keperluan epidemiologi, misalnya, untuk merancang program pencegahan, penyediaan obat, fasilitas kesehatan, dll. Jadi, kalau ada satu kasus, misalnya, seperti di Pematang Siantar (“Seorang Pengidap AIDS Positif Ditemukan di Pematang Siantar”, Analisa, 17/9-2001), tidak otomatis di Siantar pasti ada 100 kasus. Tetapi, bisa juga lebih kalau penduduknya melakukan kegiatan berisiko di daerah atau negara lain yang prevalensi HIV-nya tinggi. Misalnya, ketika tentara kita dikirim sebagai pasukan perdamaian ke Kamboja setelah pulang mereka menjalani tes HIV dan 11 HIV-positif (Majalah GATRA, 5/8-2000).

Hal itu bisa terjadi karena pada saat itu prevalensi HIV di kalangan pekerja seks 21-64 persen. Artinya, dari 100 pekerja seks antara 21-64 di antaranya HIV-positif. Maka, jika seseorang melakukan kegiatan berisiko dengan pekerja seks maka probabilitas (kemungkinan) tertular pun sangat besar apalagi hubungan seks dilakukan beberpa kali. Kemungkinan tertular HIV dari seorang wanita yang HIV-positif ke laki-laki melalui sanggama tanpa kondom berkisar antara 0,03-5,6 persen setiap kali sanggama. Biar pun angka ini kecil tetapi karena prevalensi HIV di kalangan pekerja seks tinggi dan sanggama dilakukan berulang kali maka risiko tertular pun otomatis besar pula.

Di bagian lain disebutkan “Tidak hanya bagi kalangan masyarakat "nakal" saja, tapi juga orang baik baik dapat tertular, misalnya melalui transfusi darah dan lain sebagainya berkaitan dengan persentuhan darah.” Pernyataan ini merupakan mitos (anggapan yang keliru) karena HIV tidak memilih-milih orang nakal atau tidak, zina atau tidak. Kemungkinan HIV menular melalui sanggama jika salah satu pasangan HIV-positif dan sanggama dilakukan tanpa kondom. Ini fakta.

Sebaliknya, kalau kedua pasangan itu HIV-negatif biar pun sanggama dilakukan dalam ikatan pernikahan yang sah tetap ada risiko tertular kalau sanggama tidak memakai kondom. Dari 3.914 sampel wanita yang diteliti di berbagai pusat pelayanan kesehatan di 13 provinsi di Indonesia, misalnya, ditemukan 27 ibu rumah tangga yang positif HIV. Penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI) terhadap 537 wanita hamil melalui tes sukarela dengan konseling di rumah sakit, klinik bersalin, klinik keluarga dan puskesmas di Jakarta (2000) menunjukkan 6 di antaranya positif HIV. Ini menunjukkan suami mereka melakukan kegiatan berisiko tinggi.

Di saat epidemi HIV sudah masuk ke populasi yang antara lain ditandai dengan infeksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak maka upaya untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV dapat dilakukan secara aktif dengan menghindarkan diri dari kegiatan berisiko. Ini pilihan yang realistis karena jika seseorang tertular HIV maka harga obat antiretroviral (obat untuk menekan laju pertumbuhan HIV di dalam darah) sekitar Rp 5 juta/bulan. Jumlah ini belum termasuk biaya dokter, rumah sakit dan obat-obatan lain.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar