Senin, 24 Mei 2010

Hari AIDS Sedunia, Terobosan dan Tindakan Konkret Menanggulangi AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 28/11-2008. “Empat Bulan, Odha Bertambah 183 Orang”. Ini judul berita di Harian ”FAJAR” (29/10-2008). Tanggapan terhadap berit aini beragam. Yang jelas Sulawesi Selatan (Sulsel) menempati peringkat kesembilan kasus AIDS secara nasional dengan 298 kasus AIDS. Mumpung hari ini dunia memperingati Hari AIDS Sedunia kita jadikan sebagai momentum untuk meningkatkan penanggulangan penyebaran HIV/AIDS melalui terobosan dan kegiatan yang konkret.

Banyak kalangan, terutama orang-orang yang tidak memahami epidemi HIV secara komprehensif akan menanggapi berita itu dengan marah. Lalu, fakta itu pun dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama. Celakanya, banyak wartawan yang justru mewawancarai kalangan yang tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Akihatnya, berita yang muncul pun tidak lagi akurat karena hanya melihat HIV/AIDS dari aspek moral. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV/AIDS dengan moral dan agama

’Piktor’

Sebaliknya, orang yang berpikir positif dan memahami epidemi HIV sebagai fakta medis justru melihat berita itu sebagai langkah maju. Mengapa? Ya, karena semakin banyak penduduk yang terdeteksi HIV maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan. Orang-orang yang sudah terdeteksi tertular HIV disebut HIV-positif atau Odha (Orang dengan HIV/AIDS) akan menghentikan penyebaran HIV mulai dari dirinya. Artinya, dia sudah berjanji pada dirinya tidak akan menularkan HIV yang ada di tubuhnya kepada orang lain.

Menanggapi fakta erat kaitannya dengan cara berpikir seseorang. Di Manila, Filipina, kalau ktia masuk ke night club atau tempat-tempat yang menyediakan ’cewek’ satpam akan bertanya: ”Sir, bawa kondom atau tidak!” Bagi orang yang cara berpikirnya negatif, maaf, disebut ’piktor’ (pikiran kotor) maka dia pun akan berguman: ”Busyet, rupanya di Manila ini banyak yang kena AIDS.” Tapi, bagi yang berpikiran positif maka hal itu merupakan peringatan: Hati-hati! Bisa pula merupakan sikap positif satpam tadi: ”Jangan bawa penyakit (AIDS) ke sini!”

Jika hal di atas ditarik ke Makassar terkait dengan berita tadi maka komentar yang disampaikan dr Naisyah T. Azikin, Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar, merupakan cara berpikir yang positif. Soalnya, kasus-kasus yang terdeteksi sudah tertular beberapa tahuns sebelumnya. Lagi pula mereka bisa saja tertular di luar Makassar atau di luar negeri.

Seseorang terdeteksi HIV melalui tes ELISA maka minimal dia sudah tertular tiga bulan sebelumnya. Sedangkan seseorang yang terdeteksi HIV pada masa AIDS maka dia sudah tertular antara 5 atau 10 tahun sebelumnya. Seseorang yang tertular HIV akan mencapai masa AIDS antara 5-10 tahun berikutnya. Masa AIDS ditandai dengan penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, sariawan, TBC, dll.

Pada orang-orang yang tidak tertular HIV penyakit-penyakit itu mudah disebuhkan. Tapi, pada Odha penyakit itu sulit disembuhkan dengan obat-obatan karena sistem kekebalan tubuhnya sudah lemah. Ketika HIV masuk ke dalam tubuh HIV menggandakan diri pada sel-sel darah putih, sel ini menjadi benteng pertahanan dalam tubuh menghalau penyakit. Sel-sel darah putih yang menjadi tempat HIV menggandakan diri akan rusak. HIV yang baru diproduksi mencari sel darah putih lain untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya. Setiap hari HIV menggandakan diri dalam jumlah jutaan.

Dahulu kasus-kasus HIV/AIDS terdeteksi melalui kegiatan survailans tes HIV untuk mencari prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu pada kurun waktu tertentu), misalnya, di kalangan pekerja seks komersial (PSK), waria, dll. Selain itu kasus pun terdeteksi pula di rumah sakit atau praktek dokter. Belakangan banyak remaja dari kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik yang terdeksi HIV-positif ketika mereka henak masuk ke pusat rehabilitasi. Inilah penyebab mengapa kasus HIV/AIDS di dominasi remaja

Anjurkan Tes HIV

Sebaliknya, kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa tidak banyak terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang bisa ’menjaring’ orang-orang dewasa untuk menjalani tes HIV. Maka, kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa merupakan ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa depan.

Sejak ada bantuan dari Global Fund di beberapa daerah disedikan tempat tes secara sukarela dengan konseling dan rahasia gratis. Ini dikenal sebagi klinik VCT. Namun, upaya menemukan kasus HIV/AIDS tetap lambat karena klinik ini pasif. Artinya, klinik hanya menunggu orang datang memeriksakan diri. Celakanya, banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada keluhan, tanda, ciri, atau gejala yang khas AIDS pada kesehatan dan fisiknya. Keluhan baru mulai muncul pada masa AIDS.

Inilah yang membuat persoalan HIV/AIDS kian rumit karena orang-orang yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi menularkan HIV kepada orang lain tanpa disadarinya. Penularan secara horizontal antar pendudik bisa terjadi melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang dipakaia bersama-sama dengan berganitian, (d) air susu ibu (ASI) pada proses menyusui.

Jika kita tetap mengandalkan klinik VCT, praktek dokter, puskesmas, dan rumah sakit untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat maka penyebaran HIV tidak akan terkendali. Ini terjadi karena penularan terjadi tanpa disadari oleh yang menularkan dan yang ditulari. Untuk itulah perlu terobosan untuk mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV.

Salah satu caranya bisa meniru Malaysia. Negeri jiran itu menerapkan survailans tes HIV rutin terhadap pasien PMS (penyakit menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, herpes, dll.), pengguna narkoba suntik, perempuan hamil, polisi, narapidana, dan pasien TBC. Sedangka skrining khusus dilakukan terhadap pekerja seks komersial (PSK), pelajar dan mahasiswa. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS di Malaysia, dengan penduduk 26 juta, sudah dilaporkan lebih dari 40.000. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 230 juta kasus yang terdeteksi baru 18.963 kasus HIV/AIDS.

Cara lain adalah dengan mengembangkan program yang disebut Provider Initiated HIV Testing and Counseling (PITC), yang direkomendasi WHO tahun 2006. Ini adalah tes HIV dengan konseling yang direkomendasikan oleh petugas medis atas dasar indikasi medis. Tapi tetap sukarela. Tidak boleh dimaksa. Klien juga harus memberikan consent (persetujuan) untuk menjalani tes HIV setelah konseling, namun tetap ada hak untuk menolak tes HIV.

Dengan pendekatan baru ini diharapkan jumlah penduduk yang terdeteksi akan mendekati angka sebenarnya. Melalui mekanisme PITC peran provider kesehatan lebih aktif. Dokter berperan aktif untuk melihat pasien apakah yang bersangkutan memiliki gejala terkait HIV/AIDS, yang dikaitkan dengan melihat faktor risiko tinggi kemungkinan terpapar HIV. Berdasarkan analisis dan diagnosis dokter boleh menganjurkan agar pasien menjalani tes HIV.

Tanpa terobosan dengan penanggulangan yang konkret kasus HIV/AIDS di Makassar khususnya dan di Sulsel dan Indonesia umumnya kelak akan menjadi persoalan besar. Jika sudah masa AIDS diperlukan obat antiretroviral dan obat infeksi oportunistik yang bisa menghabiskan APBD.

Apakah kita (harus) menunggu ledakan AIDS dahulu baru bertidak konkret? ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar