Sabtu, 29 Mei 2010

Tindakan KPA Merauke, Papua, Menyesatkan

Oleh Syaiful W. Harahap

Berita “KPA Merauke Akan Pasang Bendera Merah Di Lokalisasi Atau Tempat Hiburan PSKnya Diketahui Terinveksi HIV/AIDS”. Itulah judul berita di Harian “Cenderawasih Pos” (16/6-2008). Cara yang diterapkan KPA Merauke ini menyesatkan karena di lokalisasi atau tempat hiburan yang tidak ada bendera merah tidak ada jaminan bahwa PSK atau pramuria di sana bebas HIV.

Cara yang diterapkan KPA Merauke itu tidak objektif karena pekerja seks komersial (PSK) dan pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif pun tidak ada jaminan mereka HIV-negatif. Soalnya, ketika dilakukan tes di antara mereka yang tertular ada yang masih pada masa jendela yaitu baru tertular di bawah tiga bulan. Pada masa ini tes bisa menghasilkan positif palsu atau negatif palsu. Selain itu setelah tes, dengan hasil negatif, bisa saja mereka tertular HIV.

Negatif palsu berarti di dalam darah mereka sudah ada HIV dan mereka sudah bisa menularkan HIV kepada laki-laki pelanggannya yang tidak memakai kondom saat sanggama. Ketika darah mereka diambil untuk tes HIV pada masa jendela belum ada antibodi HIV dalam darahnya. Tes HIV, baik dengan rapid test atau ELISA, mencari antibodi HIV di dalam darah bukan HIV sehingga hasilnya negatif.

PSK atau pramuria yang HIV-negatif palsu ini jauh lebih ‘berbahaya’ daripada PSK atau pramuria yang sudah terdeteksi HIV-positif. Ketika konseling sebelum tes HIV semua yang akan menjalani tes HIV sudah diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari diri mereka jika kelak hasil tes mereka positif. PSK dan pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif menganggap dirinya HIV-negatif sehingga mereka tidak memaksa laki-laki pelanggannya untuk memakai kondom saat sanggama.

Sedangkan positif palsu adalah seseorang yang terdeteksi HIV-positif tapi sebenarnya dia tidak tertular HIV. Itulah sebabnya setiap tes HIV harus dikonfirmasi atau diuji ulang dengan tes lain, misalnya, dengan tes Westren blot.

Laki-laki Penular


Persoalan lain yang luput dari mata KPA Merauke adalah tentang dua kemungkinan terkait dengan PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif.

Pertama, ada kemungkinan PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif di Merauke tertular HIV dari laki-laki penduduk lokal atau pendatang. Laki-laki itu bisa sebagai seorang suami, pacar, jejaka, duda, atau remaja yang bekerja sebagai pejabat, pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, nelayan, perampok, dll. Kalau ini yang terjadi maka tanpa disadari sudah terjadi penularan HIV antar penduduk secara horizontal tanpa mereka sadari.

Hal itu bisa terjadi karena laki-laki yang menularkan HIV juga tidak menyadari dirinya HIV-positif karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular).

Kedua, kemungkinan PSK atau pramuria yang terdeteksi HIV-positif di Merauke sudah tertular sebelum ke Merauke. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki pelanggan PSK penduduk lokal atau pendatang berisiko tertular HIV. Kalau ada laki-laki penduduk lokal yang tertular HIV maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya (vertikal). Bisa juga ditularkannya ke PSK lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada PSK atau pasangan seksnya.

Fakta-fakta di ataslah yang luput dari perhatian KPA Merauke sehingga mereka membuat langkah yang menyesatkan. Tempat yang ditandai dengan bendera biru (menurut KPA Merauke tidak ada PSK atau premuria yang HIV-positif) terkesan aman. Padahal, bisa saja di sana ada PSK atau pramuria yang sudah tertular HIV tapi belum terdeteksi. atau ‘barang baru’.

Bias Gender

Seseorang bisa saja tertular HIV setiap saat ketika dia melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV maka untuk memastikan semua PSK dan pramuria di Merauke HIV-negatif maka harus dilakukan tes HIV setiap saat. PSK dan pramuria merupakan orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi karena melakukan hubungan seks dengan pasangan (laki-laki pelanggan) yang berganti-ganti. Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki pelanggan mereka HIV-positif sehingga PSK dan pramuria berisiko tertular HIV jika laki-laki pelanggannya tidak memakai kondom. Pelanggan PSK dan pramuria, penduduk lokal atau pendatang, berisiko tertular HIV.

Pemasangan bendera merah dikatakan oleh Kadis Kesehatan Kab. Merauke, drg. Josef Rinta, sebagai shock therapy. Ini tidak efektif karena biar pun semua PSK dan pramuria yang terdeteksi HIV-positif ‘dikandangkan’, masih banyak PSK atau pramuria yang tidak terdeteksi HIV-positif. Selain itu laki-laki yang menjadi pelanggan PSK dan pramuria di sana tidak ada jaminan semuanya HIV-negatif.

Kunci penanggulangan epidemi HIV bukan pada PSK atau pramuria, tapi pada laki-laki penduduk lokal atau pendatang karena merekalah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Cara yang diterapkan KPA Merauke ini bias gender karena hanya melihat perempuan (PSK dan pramuria) sebagai biang keladi penyebaran HIV.

Buktinya, dalam berita disebutkan bahwa cara baru yang diterapkan KPA Merauke itu karena “ …. Pekerja Sex Komersial (PSK) atau Pramuria yang diketahui terinveksi HIV/AIDS namun tetap melakukan aktivitasnya tanpa menggunakan kondom.”

Mengapa bukan laki-laki yang diwajibkan memakai kondom? Ini terjadi karena sudut pandang instansi terkait di Merauke dari posisi moralitas laki-laki.

[Sumber: Newsletter ”infoAIDS” No 2/Desember 2008]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar