Senin, 24 Mei 2010

Menyikapi Penyebaran HIV di Tanah Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 29/8-2001. Sampai 30 Juni 2001 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua mencapai 548 yang terdiri atas 338 HIV dan 210 AIDS dengan kematian 109. Angka membuat prevalensi AIDS per 100.000 penduduk di Papua mencapai 9,19.

Namun, sebuah berita di salah satu koran Jakarta menyebukan “masih banyak korban HIV/AIDS di Papua yang belum terdata” (Kompas, 5/7-2001). Karena HIV/AIDS tidak kasat mata tentulah tidak bisa mendata penduduk yang HIV-positif atau yang sudah mencapai masa AIDS hanya dengan melihat kondisi fisik. Biar pun ada penduduk yang menunjukkan gejala-gejala minor dan mayor AIDS tidak otomatis ybs. dapat dinyatakan sudah tertular HIV tenpa diagnosis melalui tes HIV.

Lagi pula mendata penyakit penduduk tentulah melanggar hak-hak asasi manusia (HAM) karena penyakit merupakan medical record yang bersifat rahasia. Bukan hanya HIV/AIDS, kudis dan kurap pun jika sudah merupakan diagnosis dokter yang dicatat dalam medical record merupakan rahasia. Dalam kaitan epidemi HIV untuk mendapatkan gambaran epidemiologis sebagai prevalansi (angka penyebaran suatu penyakit pada waktu dan kalangan tertentu) dilakukan melalui surveilans tes (surveillance test).

Jika surveilans dijalankan dengan sistematis dan rutin maka angka prevalensi yang muncul pun akan mendekati realitas. Sayang, di Indonesia surveilans hanya dilakukan secara sporadis dan hanya ditujukan pula terhadap kalangan tertentu sehingga menyuburkan stigma (cap negatif) terhadap kalangan tersebut. Dari 53 surveilans antara tahun 1989 sampai 1997, umpamanya, 33 sasaran yang dibidik justru pekerja seks (Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Pustaka Sinar Harapan-Ford Foundation, Jakarta, 2000: hlm. 107). Padahal risiko tertular HIV bukan tergantung kepada kelangan atau kelompok tertentu tetapi erat kaitannya dengan kegiatan-kegiatan berisiko tinggi tertular HIV yaitu (1) melakukan hubugnan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks/bisek, seks oral dan anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, (2) melakukan hubugnan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks/bisek, seks oral dan anal tanpa kondom dengan seseorang yang berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar nikah, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama dengan bergantian.

Menyalahkan Orang Lain

Malaysia jauh lebih sistematis dan konsisten dalam menjalankan surveilans dengan target populasi yang beragam sehingga tidak menyuburkan stigma. Skrining rutin, umpamanya, dilakukan terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit menular seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.), pengguna narkoba suntikan (injecting drug user/IDUs), wanita hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB. Surveilans terhadap pasien klinik PMS dan wanita hamil sangat realistis karena mereka jelas sudah melakukan hubungan seks sehingga ada risiko tertular PMS dan HIV karena mereka jelas tidak memakai kondom dalam melakukan hubungan seks. Sedangkan survei khusus dilakukan terhadap homoseks, wanita hamil, pelajar dan mahasiswa.

Jadi, yang perlu dilakukan di Papua bukan mendata penduduk untuk mendepatkan angka jumlah yang HIV-positif, seperti dikatakan Direktris Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) Papua L Christine Ansanay, SE, tetapi menjalankan surveilans dengan sistematis dan konsisten. Epidemi HIV sendiri erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon) sehingga angka yang muncul hanya bagian kecil dari jumlah yang tidak terdeteksi. Untuk mendeteksi angka yang tidak muncul itulah diperlukan surveilans yang sistematis dan konsisten.

Dari kasus 387 yang terdiri atas 244 HIV dan 143 AIDS (95 meninggal) di Papua 82 di antaranya adalah nelayan Thailand sehingga penduduk Papua hanya 162. Ada kesan, yang bisa juga merupakan penyangkalan, HIV di Papua dibawa nelayan Thailand, seperti ditulis “Kompas” dalam berita “Awas, Ancaman HIV/AIDS di Irian Jaya” (29/8-2000) dengan menyebutkan: “Penyakit ini pertama kali diketahui di Merauke dari empat nelayan Thailand tahun 1994.” Hal ini pulalah yang diprotes seorang remaja putri Thailand di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik IV di Manila tahun 1997. Ketika itu alm. dr. Hadi M. Abednego, waktu itu Dirjen PPM&PLP Depkes, diprotes oleh seorang remaja Thailand (waktu itu berusia 17 tahun, aktivis di Population Council Thailand) karena menyebutkan penularan HIV di Merauke terjadi karena kehadiran nelayan Thailand di sana. Soalnya, menurut gadis itu, mobilitas penduduk Merauke juga perlu diperhitungkan. Namun, dr Abednego tetap pada pendiriannya karena subtipe virus di Merauke serupa dengan subtipe HIV di Thailand yaitu subtipe E.

Remaja tadi sangat menyesalkan cara penyajian yang mengait-ngaitkan sebuah bangsa dengan epidemi HIV karena tidak hanya nelayan Thailand yang mengunjungi Merauke tetapi penduduk Merauke pun bepergian pula ke luar daerahnya dan melakukan kegiatan yang berisiko. Jika penduduk tadi terinfeksi maka dia menjadi jembatan penyebaran HIV di daerahnya secara horizontal. Maka, amat wajar pulalah mengapa seorang peserta kongres dari Kamboja marah besar, pada sesi lain di kongres itu, ketika dia mengetahui tentara Indoneia yang dikirim sebagai pasukan perdamian ke negaranya tidak menjalani tes HIV dahulu, “Jangan-jangan tentara Anda yang menulari penduduk kami.” Ia pun tambah berang karena dalam sesi itu terungkap salah satu tentara yang dikirim ke sana rupanya HIV-positif.

Maka, kalau disimak secara arif maka epidemi HIV di Papua juga harus mempertimbagnkan beberapa hal. Pertama, penduduk Papua juga bepergian ke luar daerah atau luar negeri dan bisa saja melakukan kontak kegiatan berisiko. Kedua, penduduk dari daerah dan negara lain pun datang ke Papua dan bisa pula terjadi kontak kegiatan berisiko. Ketiga, berdasarkan data kasus kumulatif yang dikeluarkan Ditjen PPM&PLP Depkes, ternyata sampai dengan 31 Maret 1995 sudah ada 3 (tiga) kasus AIDS di Papua. Andaikan ada penularan dari nelayan Thailand pada Januari 1994: apakah dalam kurun waktu 15 bulan seseorang yang terinfeksi HIV sudah mencapai masa AIDS? Bahkan, juga berdasarkan data Ditjen PPM&PLP sampai dengan 30 November 1995 dari 8 (delapan) kasus AIDS di Papua 5 (lima) di antaranya sudah meninggal dunia. Ini, lagi-lagi kita berandai-andai, jika memang ada penularan pada Januari 1994 berarti dalam kurun waktu 23 bulan seseorang yang terinfeksi HIV sudah meninggal dunia.

Padahal, statistik menunjukkan rentang waktu sejak terinfeksi sampai mencapai masa AIDS antara 5-12 tahun. Berdasarkan fakta di atas tentulah penduduk Papua yang meninggal terkait AIDS itu sudah tertular HIV antara tahun 1990 dan 1983. Maka, bisa saja terjadi sebelum nelayan Thailand ke sana sudah ada penduduk yang HIV-positif sehingga sudah terjadi penyebaran secara horizontal antara penduduk.

Mobilitas Penduduk Lokal

Jika kita tetap mengait-ngaitkan epidemi HIV dengan nelayan Thailand (yang sudah pulang ke negaranya) akan berdampak buruk karena penduduk pun akan lengah. Mereka tidak akan melindungi dirinya secara aktif karena mereka menganggap penularan HIV hanya dari nelayan Thailand. Celakanya, nelayan Thailand memang tidak ada lagi di sana sehingga penduduk pun merasa aman, tetapi epidemi HIV sudah ada di sana. Inilah yang tidak mereka sadari. Kondisi itu tentu dapat memicu penyebaran HIV pada penduduk lokal. Ini terbukti dari angka-angka laporan kasus kumulatif HIV/AIDS pada tahun-tahun berikutnya.

Per April 1995 tercatat 65 kasus HIV dan 3 AIDS (50 kasus HIV terdeteksi pada nelayan Thailand) sehingga 15 kasus pada penduduk lokal. Pada 30 November 1995 sudah tercatat 38 kasus HIV (angka pada laporan 88, tetapi 50 nelayan Thailand) dan 8 AIDS. Per 30 November 1999 tercatat 128 HIV dan 90 AIDS serta 79 kematian. Per 30 Juni 2000 tercatat 166 HIV dan 101 AIDS serta 82 kamatian.

Mobilitas penduduk Indonesia selalu diabaikan dalam masalah HIV. Kita selalu melihat orang luar yang akan menularkan HIV di Indonesia. Kasus HIV/AIDS di Papua merupakan salah satu bentuk penyangkalan dengan menyalahkan orang lain dan membela diri dengan moral dan agama sebagai pelindung. Dalam kaitan ini sudah saatnya materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) seputar HIV/AIDS disampaikan dengan objektif dan akurat dengan mengedepankan fakta (medis).

Pencegahan HIV dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat realistis yaitu menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan yang berisiko tertular HIV. Upaya pemda setempat yang akan menerapkan aturan pemakaian kondom 100% pada transaksi seks komersial juga bisa menjadi bumerang karena penduduk hanya akan melihat hubungan seks dengan pekerja seks saja yang berisiko tertular HIV. Padahal, dengan prevalensi HIV/AIDS di Papua seperti kondisi sekarang ini penularan secara horizontal melalui hubungan seks yang tidak aman di dalam dan di luar nikah antar penduduk sangat potensial.

Namun, karena penduduk menganggap hubungan seks antar mereka, baik di dalam maupun di luar nikah, tidak berisiko tertular dan menularkan HIV karena bukan dengan pekerja seks komersial maka mereka pun tidak memakai kondom. Hal ini terjadi karena selama ini materi KIE menyebutkan penularan HIV melalui hubungan seks dengan pekerja seks, di luar nikah, zina, dll. Jadi, selama informasi seputar HIV/AIDS tetap dibalut dengan moral dan agama sehingga fakta tentang HIV/AIDS hilang maka penyebaran HIV di Papua akan terus terjadi secara horizontal antara penduduk.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar