Rabu, 25 November 2009

Sebagai Alat Kontrasepsi Kondom Juga Mencegah HIV/AIDS

Home Berita Berita Utama

CATATAN KESEHATAN

Oleh Syaiful W. Harahap

KASUS HIV dan AIDS yang terus terdeteksi di negeri ini men-dorong kalangan yang peduli me-mikirkan upaya untuk mencegah penyebaran HIV, khususnya melalui hubungan seks, secara konkret. Angka resmi yang dike-luarkan oleh Depkes RI sampai 30 Juni 2009 adalah 17.699 kasus AIDS. Dari jumlah itu ternyata 48,8 persen tertular melalui hubungan seks.

Estimasi kasus antara 90.000 – 120.000. Untuk itulah pencegahan melalaui hubungan seks menjadi salah satu prioritas utama dalam penanggulangan epidemi HIV di Indonesia.Apakah ada negara yang berhasil menurunkan infeksi HIV melalui hubungan seks? Thailand berhasil menurunkan insiden kasus infeksi HIV baru melalui hubungan seks di kalangan dewasa. Jika di tahun 1991 kasus infeksi HIV baru terdeteksi 142.819, maka di tahun 2003 kasus baru yang terdeteksi 23.676. Ini artinya terjadi penurunan 83,42 persen.

Apa yang dilakukan Thailand untuk menurunkan kasus infeksi HIV? Thailand menjalankan program wajib memakai kondom 100 persen pada hubungan seks di lingkungan industri seks, seperti lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sejak tahun 1989.

KONSUMSI KONDOM

Program itu memaksa laki-laki memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko, yaitu hubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK). Kalau di awal program pemakaian kondom secara nasional di Thailand hanya 14 persen, maka pada tahun 1992 meningkat menjadi 90 persen. Sedangkan di Indonesia diperkirakan ada 3,3 juta laki-laki yang menjadi pelanggan PSK, tapi hanya 1,3 persen dari mereka yang memakai kondom pada saat melakukan hubungan seks dengan PSK.

Diperkirakan penggunaan kondom yang meningkat di Thailand mencegah lima juta infeksi HIV baru. Kasus IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, dll.) di Thailand juga turun berkat peningkatan pemakaian kondom di industri seks dari 400.000 kasus/tahun menjadi di bawah 15.000 kasus/tahun sejak tahun 2000.

Kontrol ketaatan terhadap pemakaian kondom dilakukan melalui survailans tes IMS rutin terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan ada laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan PSK. Ada sanksi untuk pengelola lokalisasi atau rumah bordir mulai dari peringatan sampai penutupan usaha.

Keengganan memakai kondom pada hubungan seks berisiko dapat dilihat dari kasus infeksi HIV yang tinggi. Ini terjadi di Cina. Penelitian Durex (2003) menunjukkan 70 persen laki-laki tidak memakai kondom pada hubungan seks berisiko. Maka, jangan heran kalau kemudian kasus HIV/AIDS di Cina terbesar kedua di Asia setelah India.

Sedangkan di Prancis hanya sembilan persen laki-laki yang enggan memakai kondom. Sedangkan di Jepang 70 persen laki-laki memakai kondom sebagai alat kontrasepsi. Kebiasaan laki-laki di Negeri Mata Hari Terbit ini pun membuat kasus HIV/AIDS di Negeri Sakura itu kecil. Di Indonesia dari 50 juta peserta Keluarga Berencana (KB) hanya 0,9 persen yang menggunakan kondom. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian kasus infeksi HIV mulai banyak dideteksi di kalangan ibu-ibu rumah tangga.Fakta yang menunjukkan penurunan risiko terinfeksi HIV melalui hubungan seks jika memakai kondom mendorong banyak orang di beberapa negara untuk memakai kondom pada hubungan seks berisiko.

Kesadaran ini meningkatkan penjualan kondom. Dengan penduduk 90 juta jiwa Thailand menghabiskan 200 juta kondom/tahun (2,2 kondom per kapita/tahun), sedangkan di Malaysia dengan jumlah penduduk 30 juta jiwa terjual 100 juta kondom/tahun (3,3 kondom per kapita/tahun). Sedangkan di Indonesia dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa ’konsumsi’ kondom hanya 100 juta/tahun (0,43 konom per kapita/tahun). Program wajib kondom 100 persen itu kemudian diterapkan pula oleh Kamboja, Vietnam, Cina, Myanmar, Filipina, Mongolia, dan Republik Laos.

Mengapa tingkat pemakaian kondom untuk mencegah HIV dan alat kontrasepsi di Indonesia sangat rendah? Selama ini ada mitos (angapan yang salah) yang berkembang di masyarakat yang mengait-ngaitkan kondom dengan zina dan pelacuran. Akibatnya, pasangan suami-istri enggan memakai kondom. Selain itu ada pula mitos yang menyebutkan kondom berpori-pori. Kondom yang berpori-pori adalah kondom yang terbuat dari usus binatang dan tidak dipasarkan di Indonesia. Sedangkan kondom yang beredar di Indonesia terbuat dari getah lateks sehingga tidak ada berpori-pori.

Ketika program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia mengedepankan kondom sebagai salah satu alat mencegah penularan HIV mulailah muncul penolakan besar-besaran dari berbagai kalangan. Protes keras kembali berkumandang ketika kondom dipromosikan sebagai alat untuk mencegah penularan HIV pada hubungan seks berisiko, dalam bahasa moral zina atau pelacuran. Target sosialisasi kondom itu pas dan realistis. Tapi, karena selama ini masyarakat sudah dijejali dengan informasi HIV/AIDS yang ngawur (dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama) sehingga yang dipahami masyarakat luas hanya mitos tentang HIV/AIDS.

Akibatnya, yang muncul justru protes terhadap promosi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV.

LEDAKAN PENDUDUK

Promosi kondom itu pun ternyata diadopsi dari program nasional penanggulangan HIV/AIDS Thailand. Dalam program penanggulangan AIDS yang komprehensif di Thailand ternyata promosi kondom itu merupakan program terakhir. Thailand menjalankan program penanggulangan terpadu yang dijalankan secara konsisten. Dimulai dengan penyebarluasan informasi HIV/AIDS yang akurat melalui media massa secara terus-menerus yang diikuti dengan program lain secara bersamaan.

Sedangkan di Indonesia program terakhir di Thailand itu dijadikan program utama di saat masyarakat belum memahami cara-cara penanggulangan epidemi HIV secara akurat. Penyebarluasan informasi HIV/AIDS yang akurat pun tidak dilakukan secara konsisten melalui media massa. Begitu pula program lain juga dijalankan secara parsial dan tidak terpadu.

Program-program penanggulangan HIV/AIDS yang dijalankan di Indonesia selalu diwanti-wanti agar memperhatikan norma, budaya dan agama. Padahal, pencegahan HIV merupakan fakta medis yang realistis yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, budaya dan agama. Penularan HIV melalui hubungan seks dapat terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta. Tapi, karena selama ini informasi tidak akurat maka yang diketahui masyarakat secara luas adalah HIV menular melalui zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, seks menyimpang, dan homoseksual maka sosialisasi kondom pun dikhawatirkan akan mendorong orang untuk berzina, melacur, ’jajan’, selingkuh, seks menyimpang, dan homoseksual.

Di Thailand sasaran program wajib kondom 100 persen sangat jelas yaitu laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seks dengan PSK di lingkungan industri seks. Nah, ketika program itu ’dijalankan’ di Indonesia, al. melalui peraturan daerah (Perda), hasilnya tidak efektif karena sasarannya tidak jelas dan mekanisme kontrolnya pun tidak akurat. Selain itu muncul pula gelombang penolakan yang sangat kuat. Soalnya, di Indonesia tidak ada lokasi pelacuran yang ’resmi’ sehingga orang beranggapan memasyaratkan kondom berarti ’menyuruh’ orang berzina atau melacur. Promosi kondom juga dianggap sebagai legalisasi pelacuran.

Biar pun anggapan itu tidak benar karena laki-laki ‘hidung belang’ justru enggan memakai kondom, tapi penolakan kian keras karena kondom dipromosikan secara umum kepada masyarakat luas tanpa sasaran yang jelas. Begitu pula ketika ‘ATM Kondom’ mulai dioperasikan sebagai upaya mendekatkan alat pencegahan kepada masyarakat muncul protes yang sangat keras dengan membawa-bawa moral dan agama.

Ketika lokalisasi pelacuran ditutup di negeri ini muncullah anggapan yang moralistik bahwa negeri ini bersih dari maksiat (baca: pelacuran, zina). Padahal, secara empiris praktek pelacuran terus terjadi kapan saja (siang dan malam) dan di mana saja (rumah, losmen, hotel, dll.). Kegiatan yang luput dari perhatian inilah yang kemudian menjadi pemicu penyebaran HIV secara horizontal.

Salah satu bukti bahwa biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran tapi tetap terjadi praktek pelacuran dapat dilihat dari jumlah ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi tertular HIV. Ini menunjukkan suami mereka melakukan hubungan seks berisiko dengan pasangan seks mereka yang lain, seperti PSK atau selingkuhan.

Karena kondom merupakan alat yang berfungsi ganda yaitu sebagai alat kontrasepsi dan mencegah penularan IMS dan HIV maka akan lebih baik kalau program KB secara nasional mengedepankan kondom untuk kontrasepsi. Soalnya, tanpa KB Indonesia akan mengalami ledakan jumlah penduduk, dikenal sebagai baby booming. Tanpa KB jumlah penduduk di tahun 2015 mencapai 247,5 juta, tahun 2025 melonjak menjadi 273 juta. Jumlah penduduk yang besar ini akan berdampak terhadap pengeluaran pemerintah untuk beras, pendidikan dasar, imunisasi, kesehatan, dll. yang akan menyedot anggaran belanja negara. Pengeluaran negara akan bertambah untuk membeli obat antiretroviral (ARV) jika banyak penduduk yang tertular HIV.

Maka, dengan memakai kondom sebagai alat kontrasepsi angka kelahiran dapat ditekan sekaligus juga mencegah penularan IMS dan HIV.(penulis, koresponden khusus kesehatan SKH Swara Kita di Jakarta)

[Sumber: Harian “Swara Kita”, Manado, Rabu, 25 November 2009]

Selasa, 24 November 2009

Laporan Kasus Kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sd. 30 September2009

Berikut adalah laporan situasi perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia sampai dengan 30 Juni 2009, yang diterima dari Ditjen PP & PL, berdasarkan surat Direktur Jenderal P2PL, Prof. dr. Tjandra Y Aditama, SpP(K), DTM&H:

1. Laporan Kasus AIDS

a. Sampai dengan 30 September 2009 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan adalah sebagai berikut:

Kasus AIDS : 18.442

Provinsi yang melaporkan AIDS: 32 provinsi
Kabupaten/Kota yang melaporkan AIDS: 300 kab/kota

Ratio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1

b. Cara penularan kasus AIDS kumulatif yang dilaporkan melalui Heteroseksual 49,7%, IDU 40,7%, dan Lelaki Seks Lelaki 3,4%.

c. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun (49,57%), disusul kelompok umur 30-39 tahun (29,84%) dan kelompok umur 40-49 tahun (8,71%).

d. Kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Papua, Bali, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau.

e. Rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 30 September 2009 adalah 8,15 per 100,000 penduduk (berdasarkan data BPS 2006, jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa).

f. Rate kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan dari provinsi Papua (17,9 kali angka nasional), Bali (5,3 kali angka nasional), DKI Jakarta (3,8 kali angka nasional), Kep. Riau (3,4 kali angka nasional), Kalimantan Barat (2,2 kali angka nasional), Maluku (1,8 kali angka nasional), Papua Barat (1,3 kali angka nasional), Kep. Bangka Belitung (1,4 kali angka nasional), Riau (1,0 kali angka nasional), DI Yogyakarta dan Sulawesi Utara (1,0 kali angka nasional) DI Yogyarta, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Utara (1,0 kali angka nasional).

g. Proporsi kasus AIDS yag dilaporkan telah meninggal adalah 20,1%.

h. Infeksi oportunistik yang terbanyak dilaporkan adalah:
* TBC: 9.849
* Diare kronis: 5.477
* Kandidiasis oro-faringeal: 5.395
* Dermatitis generalisata: 1.406
* Limfadenopati generalisata: 667

i. Pada triwulan ini penambahan kasus AIDS adalah sebanyak 743kasus.

2. Laporan Monitoring VCT

a. Laporan ini didapatkan dari layanan VCT. Persentase kumulatif infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 30-39 tahun (16,49%), disusul kelompok umur 20-29 tahun (15,41%) dan kelompok umur kurang dari 1 tahun (13,61%).

b. Kelompok resiko pada kumulatif infeksi HIV pada layanan VCT dilaporkan pada kelompok IDU (52,18%), pada kelompok waria (25,89%) dan Pasangan resiko tinggi (15,83%).

c. Rate kumulatif infeksi HIV positif tertinggi dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta (40,3), Banten (29,0), Kepri (22,9), Bali (20,2), Papua Barat (19,7), Jawa Barat (19,2), Jawa Timur (13,2), Papua (11,8), Riau (11,6), DI Yogyakarta (11,1).

3. Laporan Monitoring CST

a. Perawatan HIV di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2005 dengan jumlah yang masih dalam pengobatan ARV pada tahun 2005 sebanyak 2.381 (61% dari yang pernah menerima ARV). Kemudian sampai dengan September 2009 terdapat 13.858 ODHA yang masih menerima ARV (60% dari yang pernah menerima ARV). Jumlah ODHA yang masih dalam pengobatan ARV tertinggi dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta (6.135), Jawa Barat (1.724), Jawa Timur (1.145) , Bali (811), Jawa Tengah (436), Papua (433), Sumatera Utara (442), Kalimantan Barat (382), Kepulauan Riau (335), dan Sulawesi Selatan (314).

b. Kematian ODHA menurun dari 46% pada tahun 2006 menjadi 17% pada tahun 2008.

c. Sampai dengan September 2009 79% masih menggunakan rejimen lini pertama, 18% telah substitusi (salah satu ARV nya diganti dengan obat ARV lain tapi masih pada kelompok lini pertama yang original) dan 2,5% switch (1 atau 2 jenis ARV nya diganti dengan obat ARV lini kedua).

4. Laporan Estimasi dan Proyeksi

Estimasi populasi rawan tertular HIV di Indonesia tahun 2006 sebesar 193.000. Pada tahun 2014 diproyeksikan jumlah infeksi baru HIV usia 15-49 tahun sebesar 79.200, dan proyeksi untuk ODHA usia 15-49 tahun sebesar 501.400 kasus.

[Catatan:

1. Laporan mengenai faktor risiko tidak mencatat jumlah mutlak, melainkan hanya mencatat persentase kasus AIDS yang dilaporkan berasal dari masing-masing faktor risiko. Namun untuk Transfusi Darah/Hemofila, persentase dicatat dalam laporan adalah 0,1%, jadi saya bingung mengenai kasus ini. Pada laporan sd September 2008, persentase untuk faktor risiko ini 0,3%, atau kurang lebih sama dengan 46 kasus.

2. Nanti kami akan menyebarkan informasi hasil ART dari laporan ini. Kami masih mempertimbang cara menyebarkan informasi VCT, yang masih melapokan sejumlah 28.260 pengunjung 135 layanan VCT di 19 provinsi ditemukan HIV-positif s.d. Juni 2009.

3. File statistik lengkap dalam format HTML, MS-Excel dan PDF sudah di-upload ke bagian Statistik di situs web Spiritia: http://spiritia.or.id/Stats/Statistik.php

Senin, 23 November 2009

Wartawan Tasikmalaya Ikuti Pelatihan LiputanAIDS



Jumat, 06 Maret 2009

Tasikmalaya (ANTARA News) - Hampir seluruh wartawan di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat ,mengikuti Pelatihan Peliputan HIV/AIDS Bagi Wartawan yang digelar Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Info Kespro pada 3-5 Maret 2009.


"Pelatihan yang bekerja sama dengan Komisi Penganggulangan AIDS (KPA) Jawa Barat serta KPA Kota Tasikmalaya dan dari berbagai komunitas peduli AIDS itu juga dihadiri pengidap HIV Aids atau ODHA (Orang Dengan HIV AIDS)," kata Direktur Eksekutif Info Kespro, Syaiful W. Harahap, Kamis (5/3).


Setelah penutupan pelatihan itu, ia mengatakan pelatihan itu mengajak wartawan dan masyarakat untuk bersama-sama menanggulangi permasalahan HIV/AIDS di Tasikmalaya.


"Kami mengajak rekan wartawan dan LSM serta instansi bisa menjalin kerja sama, sehingga ada sinergi dalam menanggulangi HIV AIDS di Tasikmalaya," katanya.


Ia berharap penyebaran HIV AIDS di Tasikmalaya maupun secara global bisa ditekan dengan cara bekerja sama memberikan pemahaman bagi penderita HIV maupun bukan penderita, untuk melakukan perilaku hidup yang benar.


"Penyebaran HIV AIDS, katanya, terjadi karena perilaku manusia yang kurang benar seperti sering berhubungan intim dengan berganti-ganti pasangan, penggunaan narkoba dengan jarum suntik serta tidak peduli menggunakan kontrasepsi," katanya.


Sementara itu, peserta pelatihan yang juga wartawan Taz TV (Televisi lokal Tasikmalaya), Toni Santoni, mengaku pelatihan tersebut sangat menafaat untuk memahami masalah penanggulangan HIV AIDS dan juga mengetahui bagaimana cara mewawancarai ODHA.


"Ya menarik dalam acara ini, bisa menambah wawasan," katanya.


Dalam pelatihan itu, Syaiful W Harahap, menyarankan kepada LSM yang peduli penanggulangan AIDS serta para pengidap AIDS, agar jangan merasa takut jika didatangi wartawan, karena wartawan bertugas memberikan informasi manfaat kepada masyarakat.


Ia menambahkan, nara sumber (ODHA atau instansi dan LSM bidang HIV AIDS) dan wartawan mempunyai tugas masing-masing dan mempunyai hak bertanya atau menjawab.


"Wartawan mempunyai hak untuk meminta data atau informasi, dan nara sumber juga mempunyai hak untuk tidak menjawab jika pertanyaan wartawan tidak menyangkut masalah kepentingan publik. Jadi, nggak usah takut karena masing-masing punya hak," katanya menambahkan. (*)

[Sumber: http://pwi.or.id/index.php/Berita-PWI/Wartawan-Tasikmalaya-Ikuti-Pelatihan-LiputanAIDS.html]

Sabtu, 21 November 2009

Buruk Pemberitaan Tentang HIV/AIDS

The Globe Journal Senin, 09 November 2009

Banda Aceh – Tingkat perhatian media massa terhadap isu penyakit HIV / AIDS terutama untuk mengangkatnya sebagai berita dinilai masih sangat rendah dan buruk. “Selain itu tingkat pemahaman sebagian besar wartawan terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis juga masih rendah. Maka diperlukan pelatihan wartawan secara sistematis sebagai bagian dari kritik media,” ujar Direktur Eksekutif LSM InfoKespro Jakarta, Syaiful W Harahap, dalam seminar HIV/AIDS yang berlangsung di Banda Aceh, Senin (9/11).

Ia mencontohkan, Thailand telah berhasil menanggulangi epidemic HIV yang salah satunya adalah dengan program peningkatan peran media massa sebagai media pembelajaran masyarakat.

“Sementara itu, program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia justru tidak memanfaatkan peran media massa secara optimal. Demikian juga dengan berita AIDS yang sensasional justru hanya mengedepankan aspek moral yang merupakan mitos belaka,” timpal syaiful.

Berita HIV /AIDS di Indonesia, ungkap dia, hanya reaktif yang selalu menunggu kejadian atau peristiwa seperti pembeberan hasil survailans tes HIV di kalangan pekerja seks dan waria, kasusHIV terdeteksi di Palang Merah Indonesia (PMI), pasien meninggal dan lainnya.

Psikolog dan Aktivis AIDS terkemuka, Baby Jim Aditya mengatakan, masih banyak isu-isu yang terlupakan dalam penanggulangan AIDS. “Karena HIV dan AIDS masih dipandang sebagai masalah yang banyak menimbulakan dampak yang serius seperti mengikis produktivitas manusia, kualitas SDM menurun dan lainnya,” kata Baby.

Maka dari itu, sebut dia, yang harus di miliki saat ini adalah rasa berempati dengan mencoba memahami suatu keadaan seolah kita telah mengalaminya. “Bisa juga dengan memikirkan jalan keluar atau solusi yang tepat,” jelas Baby.

Bagi para jurnalis, menurut Baby, sikap mepati yang harus ditunjukkan adalah mengabarkan fakta yang terjadi seputar HIV/AIDS. selain itu, bagaimana membuat esensi buian hanya sekedar untuk mencari sensasi dari sebuah informasi yang disampaikan kepada masyarakat.[003]


http://www.v2.theglobejournal.com/kategori/kesehatan/buruk-pemberitaan-tentang-hivaids.php















Jumat, 06 November 2009

Patriarkhat Menghadang Peran Perempuan

Oleh Syaiful W Harahap, Koresponden Khusus SKH Swara Kita di Jakarta

PERGESERAN paham patriarkhat yaitu tata kekeluar-gaan yang sangat me-mentingkan garis tu-runan bapak sebagai budaya di dunia Barat dan Timur mulai ber-geser ke arah kesama-an peran antara laki-laki dan perempuan di ranah domestik dan publik. Ini terjadi ka-rena masyarakat du-nia melihat dampak buruk dari partiarkhat yang mendorong kesenjangan gender (perbedaan peran berdasarkan jenis kelamin pada struktur sosial). Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan belahan bumi lain patriarkhat mulai terkikis seiring dengan perkembangan zaman.

Ini terjadi karena perkembangan yang sangat pesat di berbagai sektor kehidupan, seperti politik, teknologi, pemerintahan, moneter, industri, dll. tidak lagi monopoli laki-laki. Masyarakat tidak lagi melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari di ranah domestik dan publik. Laki-laki dan perempuan berperan sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya.

Hal itu bisa terjadi karena ada kritik terhadap pemahaman partiarkhat seperti yang terjadi selama ini. Semula ada anggapan bahwa partriarkhat sebagai budaya sehingga merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat. Padahal, kebudayaan adalah seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar (Koentjaraningrat, 1974). Maka, partiarkhat sebagai hasil kerja manusia tentu saja bisa diperbaiki atau dibuang.

KETIMPANGAN GENDER

Biar pun angin reformasi global sudah meniupkan kesetaraan gender dan mengikis paham patriarkhat, tapi di Indonesia dan beberapa negara berkembang wacana kesetaraan gender tetap mendapat perlawanan. Ini terjadi karena peran antara laki-laki dan perempuan dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, perempuan selalu berada di pihak yang dirugikan karena tetap dianggap sebagai sub-ordinat dari laki-laki.

Bahkan, di beberapa daerah sebagai laki-laki seorang suami bagaikan ‘raja’ sehingga ‘haram’ melakukan pekerjaan domestik, seperti mencuci, memasak dan mengasuh anak. Sama sekali tidak ada celah untuk berbagai peran antara laki-laki (suami) dengan perempuan (istri) dalam relasi sebagai suami-istri di ranah domestik. Ini lagi-lagi terjadi karena pemahaman yang hanya berdasarkan sudut pandang (memandang sesuatu berdasarkan prasangka) laki-laki sebagai ‘pemimpin’.

Kesetaraan gender akan mendorong kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan di semua sektor kehidupan. Tapi, di Indonesia kesenjangan atau ketimpangan gender terus terjadi baik di ranah domestik maupun publik. Kondisi ini seakan-akan sah karena dilihat dari sudut pandang budaya dan agama.

Karena budaya merupakan karya dan karsa manusia tentu saja bisa berubah sejalan dengan perembangan zaman yang juga mempengaruhi pola pikir dan pandang manusia di komunitasnya terhadap sektor kehidupan sebagai bagian dari budaya. Persoalan muncul jika kesetaraan gender dilihat dengan sudut pandang agama. Maka, kesenjangan tidak menjadi persoalan karena ada dogma (pokok ajaran tentang kepercayaan, dsb. yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan) yang ’membenarkan’ hal itu.

Terkait dengan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan di ranah domestik dan publik ada pemahaman yang keliru di masyarakat yaitu tidak ada pemahaman yang komprehensif tentang perbedaan antara kodrat dan gender. Padahal, kodrat adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara fisik sebagai sifat atau kondisi yang dibawa sejak lahir dan tidak akan berubah. Sedangkan gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari konstruksi sosial yang berbeda di setiap komunitas sosial. Tapi, karena selama ini peran antara perempuan dan laki-laki selalu dilihat dari sudut pandang (angle) budaya dan agama maka yang terjadi adalah perbedaan peran berdasarkan fisik secara kodrati. Untuk membuka wawasan tentang kesetaraan gender dipakai perspektif yaitu melukiskan sesuatu yang berpijak pada fakta empiris sebagai realitas sosial di social settings.

Sudut pandanglah yang membuat perempuan kian terpuruk karena selalu melihat perbedaan peran dari segi fisik. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian tingkat partisipasi aktif perempuan di dunia pendidikan formal di bawah laki-laki. Persentase perempuan yang menyandang gelar sarjana, misalnya, diperkirakan tidak lebih dari lima persen. Kesenjangan di dunia pendidikan formal pun dapat dilihat dari persentase buta huruf di kalangan perempuan yang jauh lebih besar daripada laki-laki. Tahun 2007 prosentase perempuan yang buta huruf hampir dua kali lebih banyak daripada laki-laki, yaitu 9,47 persen untuk perempuan dan 5,2 persen laki-laki.

Sejak otonomi diberlakukan berdarakan UU tahun 2001 kekuasaan pun berpindah dari pusat ke daerah. Ketika itu ditiupkan angin sorga bahwa otonomi akan membawa perubahan. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Partiarkhat dan dominasi budaya lokal kian kental yang berujung pada peminggiran perempuan dan penolakan terhadap pendatang. Muncullah PAD yaitu putra asli daerah. Padahal, Rasullullah pun ’merantau’ dari Mekkah ke Madinah yang kemudian dikenal sebagai hijrah. Dalam napas otonomi sekrang ini tidak ada lagi celah bagi kalangan pendatang di satu daerah untuk berperan di banyak sektor kehidupan, terutama di sektor eksekutif.

DISKRIMINASI DAN STIGMATISASI

Pemasungan terhadap hak-hak perempuan dalam konteks kesetaraan gender dilegalkan melalui peraturan daerah (Perda) di banyak daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Perda-perda itu ’berlindung’ di balik syariat (Islam). Di Sumatara Barat, misalnya, ada perda anti maksiat yang melarang perempuan keluar malam. Ini terjadi karena sudut pandang yang hanya melihat perempuan sebagai biang keladi kemaksiatan. Ini menyesatkan karena sudah terjadi pemberian cap buruk (stigmatisasi) terhadap perempuan.

Begitu pula dengan di Kota Tangerang, Prov. Banten, ada perda yang menohok perempuan. Pasal 4 ayat (1) disebutkan: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, disudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah.

” Maka, seorang istri yang menunggu suami di tepi jalan pun ditangkap. Tuduhan terhadap perempuan ini kian kuat karena ditemukan alat kosmetik di dalam tasnya.Posisi perempuan kian terpuruk ketika mereka mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) yang berujung pada aborsi. Yang disalahkan selalu perempuan yang melakukan aborsi padahal mereka melakukannya karena ulah laki-laki yang menghamili serta dorongan atau paksaan dari pihak lain. Hal yang sama terjadi pada pelajar, pegawai atau karyawan perempuan yang hamil. Yang dipecat selalu perempuan yang hamil sedangkan laki-laki yang menghamili tidak dipecat. Ini terjadi karena perempuan dianggap sebagai makhluk yang harus menjaga kehormatan. Di kitab suci tidak ada ayat yang eksplisit mengatur perkosaan. Akibatnya, perkosaan dianggap sebagai perzinaan yang justru merugikan perempuan yang diperkosa karena dia dipaksa melakukannya tapi mendapat hukuman sebagai pezina.

Indonesia sendiri sudah meratifikasi Konvensi CEDAW yaitu penghapusan diskriminasi terhadap perempuan melalui UU No. 7/1984. Tapi, realitas sosial menunjukkan perempuan tetap mengalami diskriminasi dan stigmatisasi di berbagai sektor kehidupan baik di ruang domestik maupun ruang publik.

Seorang perempuan dianggap tidak mampu menghidupi keluarga jika dia seorang diri, misalnya, sebagai janda. Tapi, laki-laki dengan penghasilan yang sama dianggap mampu menghidupi keluarga dengan status kepala keluarga. Bahkan, ketika laki-laki beristri lebih dari satu tidak pernah dipersoalkan apakah dia mampu menghidupi istri-istri dan anak-anaknya. Sebaliknya, seorang janda akan menerima cibiran sebagai penggoda suami ketika dia memilih untuk menjalani hidup sendiri.

Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) do Indonesia tertinggi di Asia. Tahun 2002 kematian ibu melahirkan mencapai 307 per 100.000 kelahiran. Angka ini 65 kali angka kematian ibu di Singapura, 9,5 kali dari Malaysia, serta 2,5 kali lipat dari Filipina.
AKI yang tinggi di Indonesia terkait pula dengan partiarkhat yang menempatkan perempuan tidak mempunyai hak atas dirinya, terutama kesehatan reproduksi. Perempuan tidak bisa menentukan kapan dia hamil dan berapa anak yang akan dilahirkannya. Begitu pula dengan program keluarga berencana (KB) yang memakai alat kontrasepsi juga perempuan.

Celakanya, semua yang terjadi terhadap perempuan selalu dianggap sebagai bagian dari ’nasib’ mereka. Untuk itulah diperlukan terobosan yaitu mereduksi budaya patriarkhat, mengikis budaya feodal, dan memandang perempuan dengan perspektif dalam khazanah kehidupan bernegara.(*)

[Sumber: Harian “Swara Kita”, Manado, 7 November 2009]

Selasa, 03 November 2009

Seminar AIDS di Banda Aceh

Untuk rekan-rekan wartawan di NAD

SEMINAR SEHARI

Informasi HIV dan AIDS sebagai Bahan Berita dalam Penanggulangan Epidemi HIV di Aceh

Kegiatan ini Insya Allah akan dilaksanakan pada:
Hari/Tgl : Senin, 9 November 2009
Pukul : 09.00 – 16.00 WIB
Tempat : Hermes Palace Hotel, Banda Aceh

Pembicara:
KPA Prov. Aceh
Dinas Kesehatan Prov. Aceh
Departemen Agama
NAD SupportGroup
Syaiful W. Harahap, dan
Baby Jim Aditya

Peserta: Wartawan media cetak, elektronik dan online, pejabat di lingkungandinas kesehatan, rumah sakit, poliklinik, laboratorium, PMI, MUI, Ormas Islam,dai, LSM, serta humas dari instansi.

Tempat terbatas untuk 100 peserta

Pendaftaran ditutup 5 November 2009

Free Konstribusi (Peserta mendapatkan: snack, lunch dan sertifikat)

Untuk Pendaftaran dan keterangan lebih lanjut hubungi:
Aceh Journalist For AIDS (AJFA):
Rika Fitri 0852 6000 9756, dan
Mounaward 0812 690 6237