Sabtu, 29 Mei 2010

Mengendalikan Penyebaran HIV/AIDS di Bogor

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Radar Bogor”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita “390 Warga Kota Bogor Terdeteksi HIV/AIDS” di Harian “Radar Bogor” edisi 4 Agustus 2008 menunjukkan pemahaman yang belum komprehensif di banyak kalangan. Akibatnya, informasi yang sampai ke masyarakat sering kali tidak akurat karena hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yang mengemuka.

Dalam berita disebutkan “Ia (Wakil Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Daerah/KPAD Indra M Roesli) mengatakan titik awal masalah sosial ini bermula dari seks bebas dan narkoba.” Pernyataan ini mitos karena tidak ada kaitan lansung antara seks bebas dan narkoba dengan penularan HIV.

Istilah seks bebas sendiri ngawur karena merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak dikenal dalam kosa kasa Bahasa Inggris. Kalau seks bebas dimaksudkan sebagai hubungan seks dengan pelacur atau hubungan seks di luar nikah maka pernyataan itu kian ngawur. Soalnya, penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif (mengidap HIV) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melalukan sanggama. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif (tidak mengidap HIV) maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks di lakukan di luar nikah, melacur, selingkuh, jajan, seks bebas,seks menyimpang, seks oral dan seks anal, serta homseksual.

1:100

Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan).

Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang ditransfusikan mengandung HIV. Bisa pula melalui pemakaian jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani atau cairan vagina yang megandung HIV masuk ke dalam tubuh ketika terjadi hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Risiko penualran melalui hubungan seks adalah 1:100. Artinya, dari 100 kali hubungan seks dengan yang HIV-positif ada 1 kali risiko tertular. Tapi, tidak bisa diketahui pada hubungan seks yang ke berapa terjadi penularan sehingga setiap hubungan seks dengan yang HIV-positif berisiko tinggi tertular HIV. Penularan melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui proses menyusui.

Penularan HIV melalui narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) bisa terjadi kalau narkoba dipakai dengan cara disuntikkan ke dalam tubuh melaluii pembuluh darah jika jarum suntik dipakai secara bersama-sama dengan bergiliran. Risiko penularan terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari yang memakai jarum suntik itu HIV-positif sehingga darahnya masuk ke dalam jarum dan tabung suntik ketika disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Kalau jarum dan tabung jarum yang sudah berisi darah yang mengandung HIV disuntukkan orang lain ke pembuluh darahnya maka ada risiko tertular HIV. Tingkat risiko tertular melalui darah (jarum suntik) adalah 89,5 persen.

Disebutkan pula “ …. 40 warga meninggal akibat penyakit yang hingga kini belum ditemukan penawarnya itu.” AIDS bukan penyakit tapi kondisi (kesehatan) seseorang yang sudah tertular HIV yang ditandai dengan lebih 70 macam penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, TBC, dll. Karena bukan penyakit tentulah tidak ada obatnya. Yang menyebabkan kematian bukan AIDS tapi penyakit infeksi oportunistik

Tes HIV

Seseorang yang tertular HIV akan mencapai masa AIDS jika sel-sel darah putihnya sudah banyak yang dirusak HIV. Di slaam tubuh HIV akan menggandakan diri di sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih yang dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’ akan rusak. HIV yang baru diproduksi akan mencari sel-sel darah putih lain. Begitu seterusnya. Secara statistik masa AIDS terjadi antara 5-10 tahun setelah tertular HIV. Yang bisa dilakukan adalah menekan penggandaan HIV di dalam darah yaitu dengan obat antriretroviral (ARV). Obat ini tersedia gratis di rumah-rumah sakit rujukan.

Ada fakta yang luput dari perhatian yaitu perihal Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang sudah meninggal. Ketika meninggal mereka sudah pada masa AIDS. Ini menunjukkan pada kurun waktu antara 5-10 tahun sejak tertular mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV sehingga mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain juga tanpa mereka sadari melalui: (a) hubungan seks (di dalam atau di luar nikah), (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alam-alat kesehatan yang dipakai bersama dengan bergatian, dan (d) ASI.

Jika 40 Odha yang sudah meninggal itu laki-laki dan mempunyai istri maka ada 40 perempuan yang berisiko tertular HIV dari suaminya (horizontal). Kalau istri-istri ini tertular maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI (vertikal).

Terkait dengan program pertukaran jarum suntik dan pemberian metadon yang perlu dipahami adalah filosofinya. Sampai sekarang belum ada cara yang efektif untuk menghentikan penyalahgunaan narkoba. Karena pengguna narkoba merupakan jembatan penyebaran HIV ke masyarakat maka perlu diputus penyebaran HIV di kalangan pengguna narkoba. Caranya, al. dengan penggantian jarum suntik dan pemberian metadon.

Memutus mata rantai penyebaran HIV antar penduduk adalah menganjurkan agar yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, untuk menjalani tes HIV. Makin banyak kasus HIV yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar