Senin, 24 Mei 2010

Menyikapi Epidemi HIV/AIDS di Sumatera Barat

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 22/11-2002. Berdasarkan data kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL Depkes maka jumlah kasus HIV/AIDS di Sumatara Barat sampai 30 September 2001 hanya 9 yaitu 8 HIV dan 1 ADIS serta 1 meninggal . Angka yang kecil ini bukan gambaran realitas karena eepidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Selain itu epidemi HIV pun dipicu oleh penggunaan narkoba suntikan.

Dengan jumlah kasus tersebut maka prevalensi AIDS per 100.000 penduduk hanya 0,02. Namun, angka-angka yang muncul di Sumatara Barat, juga di Indonesia, merupakan puncak dari suatu fenomena gunung es (iceberg phenomenon) sehingga angka yang tidak terdeteksi jauh lebih besar. Lagi pula sistem surveilans di Indonesia tidak dijalankan dengan sistematis dan konsisten. Selain itu banyak pula kasus HIV/AIDS, terutama di rumah sakit swasta, yang tidak malaporkan temuan kasus ke Depkes. Bisa juga terjadi penduduk Sumatera Barat menjalani tes HIV di Jakarta atau daerah lain, bahkan di luar negeri sehingga angkanya tidak masuk ke dalam data Sumatera Barat.

Kalau dibandingkan dengan Malaysia angka kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia tampak tidak realistis. Sampai 30 September 2001 di Indonesia yang berpenduduk 200 juta baru tercatat angka 2.313 (angka ini termasuk orang asing yang terdeteksi di Indonesia yaitu 277, tidak diketahui 68 dan tidak disebut 47, serta tes surveilans terhadap pekerja seks dan waria sehingga jumlah itu tidak semuanya positif). Sedangkan di Malaysia yang berpenduduk 20-an juta sampai akhir tahun 1999 saja sudah dilaporkan 31.126 kasus HIV/AIDS ke Departemen Kesehatan negara itu yang terdiri atas 25.796 HIV, 3.003 AIDS dan 2.327 meninggal.

Yang perlu diingat angka-angka yang kecil itu terjadi karena survielans tes HIV yang dilakukan di Indonesia tidak sistematis sehingga angka yang muncul pun tidak mendekati realitas. Surveilans hanya dilakukan secara sporadis dan ditujukan pula pada kalangan tertentu, khususnya pekerja seks dan waria. Berbeda dengan Malaysia yang sudah menjalankan surveilans tes HIV secara sistematis, seperti terhadap pasien klinik IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, kencing nanah/GO, hepatitis B dll.), pengguna narkoba suntikan (injecting drug user/IDUs), wanita hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB secara rutin sehingga angkanya pun mendekati angka yang sebenarnya. Surveilans terhadap pasien klinik IMS dan wanita hamil sangat realistis karena mereka jelas sudah melakukan hubungan seks yang tidak aman sehingga ada risiko tertular karena mereka jelas tidak memakai kondom.

Surveilans yang sistematis diperlukan untuk mendapatkan angka yang realistis. Jadi, angka-angka yang disebut sebagai kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL Depkes itu jauh dari realitas. Maka, biar pun angka prevalensi di negeri ini rendah, bahkan di tiga provinsi belum ada laporan kasus HIV/AIDS, tetapi hal itu bukan jaminan di daerah itu tidak ada kasus HIV/AIDS karena surveilans tes tidak dijalankan dengan sistematis. Lagi pula biar pun di satu daerah tidak ada tercatat kasus HIV/AIDS penduduk setempat bisa saja tertular di daerah lain. Bisa pula sebaliknya ada penduduk dari daerah lain yang HIV-positif berkunjung ke daerah yang tidak ada angka HIV/AIDS-nya dan di daerah itu dia melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan penduduk setempat sehingga ada kemungkinan penularan secara horizontal.

Belakangan ini ada pula pernyataan yang menyebutkan secara nasional masalah prevalensi HIV/AIDS di Indonesia terkonsentrasi pada sub populasi tertentu, misalnya pada pekerja seks dan pengguna narkotik. Hal ini terjadi karena pekerja seks menjadi sasaran utama surveilans yang dilancarkan pemerintah secara sporadis dan sering pula melanggar asas standar prosedur operasi tes HIV (misalnya tanpa konseling, mencantumkan identitas pada contoh darah, membeberkan hasil tes dll.). Dari 53 surveilans antara tahun 1989 sampai 1997, umpamanya, 33 sasaran yang dibidik justru pekerja seks (Syaiful W. Harahap dalam Pers Meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation, Jakarta, 2001: hlm. 107).

Di kalangan wanita hamil, misalnya, dari 3.914 sampel wanita yang diteliti di berbagai pusat pelayanan kesehatan di 13 provinsi di seluruh Indonesia ditemukan 27 ibu rumah tangga yang positif HIV (Media Indonesia, 6/7-2000). Di Malaysia sejak tahun 1998 tes HIV rutin dilakukan terhadap wanita hamil yang dimulai dengan proyek percontohan di Kelantan, Johor, Perak dan Sabah antara September-Desember 1997. Sampai akhir Agustus 1999 dari 324.769 wanita yang dites terdeteksi 100 yang HIV-positif. Penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI), Jakarta, terhadap 537 wanita hamil melalui tes sukarela dengan konseling di rumah sakit, klinik bersalin, klinik keluarga dan puskesmas di Jakarta (2000) menunjukkan 6 di antaranya positif HIV (Media Indonesia, 2/12-2000).

Probabilitas Tertular

Sedangkan penemuan kasus yang banyak pada pengguna narkoba suntikan terjadi karena pengguna narkoba diharuskan menjalani tes HIV di beberapa pusat rehabilitasi. Di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Suroso, Sunter, Jakarta Utara, misalnya, 21 kasus HIV/AIDS yang didiagnosis di rumah sakit itu tidak satu pun datang dengan keluhan yang terkait HIV/AIDS. Status HIV mereka diketahui melalui tes sukarela. Mereka menjalani tes karena penyakit infeksi mereka sudah kronis, yang menjadi alasan berobat ke rumah sakit tersebut, seperti kandidiasis, TB, hepatitis, dll. (Newsletter WartaAIDS No. 88, 18/3-2001). Kasus HIV yang terdeteksi secara cepat dan banyak di kalangan IDUs terjadi karena penyakit mereka yang terkait dengan penggunaan narkoba memerlukan pemeriksaan darah.

Berbeda dengan infeksi HIV melalui hubungan seks yang tidak bisa segera terdeteksi karena gejala-gejala penyakit yang terkait dengan infeksi HIV baru mulai muncul setelah seseorang yang terinfeksi HIV mencapai masa AIDS yaitu antara 7-12 tahun. Inilah yang membuat kasus HIV dengan faktor risiko hubungan seks (heteroseks, homoseks, seks anal dan oral) tidak terdeteksi secara cepat. Sebelum mencapai masa AIDS tidak ada gejala-gejala yang khas yang terkait dengan infeksi HIV. Penurunan berat badan, misalnya, bisa terjadi karena faktor-faktor lain. Begitu pula dengan demam dan batuk bisa pula terjadi karena penyakit lain.

Dalam kaitan inilah KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) perlu digencarkan tetapi dengan materi yang akurat, objektif dan fair sehingga yang dikemukakan fakta bukan mitos (anggapan yang keliru) dan tidak perlu dibalut dengan moral dan agama. Dengan mengemukakan fakta-fakta seputar HIV/AIDS secara objektif seseorang akan mengkaji-kaji dirinya: apakah perilakunya berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Jika ya, maka kalau ada gejala-gejala minor dan mayor AIDS maka dia pun akan menjalani tes HIV secara sukarela.

Tetapi, selama ini kita selalu menyangkal fakta tentang perilaku berisiko tinggi di antara kita serta menyebutkan moral dan agama sebagai pelindung. Hal ini jelas tidak akurat karena agama dan moral jelas tidak bisa melindungi seseorang dari kemugkinan tertular HIV melalui transfusi darah. Seorang wantia guru mengaji di Malaysia, misalnya, tertular HIV melalui transfusi darah di sebuah rumah sakit tanggal 28 April 2000. Wanita itu menuntut pemerintah Malaysia sebesar 100 juta ringgit (setara dengan Rp 2,5 miliar) dan pengobatan gratis selama hidupnya. Akibatnya, pemerintah Malaysia menerapkan standar baku laboratorium melalui ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of testing and calibration laboratories) yang dikeluarkan ISO (International Organization for Standardization) yaitu badan internasional yang menelurkan standar mutu.

Probabilitas (kemungkinan) tertular HIV (human immunodeficiency virus) yaitu virus penyebab kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom atau cacat kekebalan tubuh dapatan yang ditandai 70 jenis penyakit) melalui hubungan seks (heteroseks, homoseks, seks oral dan seks anal) dapat terjadi jika: (1) hubungan seks dilakukan tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar nikah, dan (2) hubungan seks dilakukan tanpa kondom dengan seseorang yang berganti-ganti pasangan di dalam atau di luar nikah. Tingkat kemungkinan tertular kian besar jika prevalensi (angka yang menunjukkan persentase HIV di kalangan tertentu pada waktu tertentu) tinggi.

Probabilitas penularan HIV dari wanita ke pria melalui hubungan seks (seks vagina) tanpa kondom antara 0,03-5,6 per kontak, tetapi karena hubungan seks sering dilakukan maka kemungkinan terinfeksi pun meningkat pula. Apalagi kalau angka prevalensi HIV sudah ada tentulah risiko tertular sangat mungkin terjadi.

Jika seseorang mengidap IMS maka risiko tertular HIV akan lebih besar karena sudah ada luka-luka di alat kelamin. Luka-luka itulah, yang ukurannya mikroskopis (artinya hanya dapat dilihat dengan mikroskop), yang menjadi pintu masuk bagi HIV. Jadi, pada hubungan seks yang tidak terlindung dengan seseorang yang mengidap IMS maka risiko tertular atau menularkan HIV akan jauh lebih besar karena ada luka-luka. Ini terjadi tentu saja kalau salah satu di antaranya HIV-positif.

Perilaku Berisiko

Jika seorang pria tertular IMS atau HIV maka dia pun akan menjadi bagian dari mata rantai penyebaran IMS dan HIV. Kalau pria tadi sudah beristri maka istrinya pun akan tertular jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan suami-istri. Jika istrinya tertular maka anak yang dikandungnya pun kelak akan tertular pula. Celakanya, kalau pria tadi mempunyai pasangan lain selain istrinya tentulah pasangannya itu pun akan tertular pula. Siapa tahu pasangannya itu pun mempunyai pasangan pula. Begitu seterusnya sehingga penyebaran secara horizontal akan menambah angka-angka infeksi HIV dan IMS.

Namun, biar pun angka prevalensi HIV di suatu daerah tinggi tetapi tingkat risiko tertular dapat ditekan dengan menghindarkan perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu (1) melakukan hubugnan seks (sanggama) tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, (2) melakukan hubugnan seks (sanggama) tanpa kondom dengan seseorang yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama dengan bergantian. Sebaliknya, biar pun angka prevalensi HIV di satu daerah rendah, seperti di Sulewesi Selatan ini, rendah tetapi risiko tertular HIV justru bisa tinggi jika ada penduduk yang melakukan perilaku-perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV.

Dalam kaitan epidemi HIV setiap orang dapat secara aktif melindungi dirinya sendiri agar tidak tertular HIVdengan menghindarkan perilaku-perilaku berisiko tinggi. Inilah hal utama yang perlu disampaikan kepada masyarkat bukan slogan, ceramah atau
pidato yang dibalut dengan moral dan agama karena sama sekali tidak ada kaitan langsung antara moral dan agama dengan penularan HIV.

Sebagai fakta medis, artinya bisa diuji di laboratorium, HIV yang hanya bisa hidup di dalam darah, sperma dan cairan vagina hanya menular melalui cara-cara yang sangat spesifik yaitu (1) melalui hubungan seks (sanggama) tanpa kondom dengan
seseorang yang HIV-positif di dalam dan di luar nikah yang sah, (2) melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (4) dari seorang wanita yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui.

Seseorang bisa melakukan tes HIV sukarela dengan konseling (HIV voluntary counselling and testing) jika dia pernah ber perilaku berisiko tanpa harus menunggu masa AIDS, yang ditandai gejala-gejala minor dan mayor terkait AIDS, karena rentang waktu sejak tertular sampai masa AIDS antara 7-12 tahun. Lagi pula jika diagnosis sudah pada masa AIDS maka secara medis tidak akan banyak lagi yang dapat dilakukan. Jika diketahui lebih dini maka tindakan medis dapat meningkatkan daya hidup yang bersangkutan, misalnya dengan memberikan obat-obatan antiretroviral yang dapat menekan laju percepatan penggandaan HIV dalam darah.

Penggandaan HIV ini mempercepat kerusakan sel-sel darah putih yang menjadi pertanahan imunitas diri. Semakin banyak sel darah putih yang dirusak HIV maka kekebalan tubuh pun kian menurun. Pada suatu saat kekebalan tubuh benar-benar hancur sehingga muncullah masa AIDS yang membuat seseorang sangat mudah terkena penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik, seperti diare, TBC dll. Penyakit-penyakit infeksi oportunistik inilah yang dapat mempercepat kematian seseorang yang sudah mencapai masa AIDS. Pengobatan yang bisa dilakukan terhadap seseorang yang sudah mencapai masa AIDS adalah mengatasi infeksi-infeksi oportunistik dengan pengobatan medis sehingga yang bersangkutan tetap dapat hidup layak dan bekerja seperti biasa dan produktif.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar