Sabtu, 29 Mei 2010

Menyikapi Kasus HIV/AIDS di Palu

Oleh Syaiful W. Harahap
Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro”, Jakarta

Dua berita di harian ini yaitu “Selain PSK, Polisi Pengidap AIDS Hasil Pendataan Dinkes” (11/4-2008) dan “Tangkal AIDS Tak Cukup Lewat Penyuluhan” (12/4-2008) menunjukkan pemahaman yang tidak akurat di banyak kalangan. Kondisi inilah yang memicu penyebaran HIV/AIDS secara horizontal antar penduduk karena banyak yang tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.


Terkait dengan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kalangan pekerja seks komersial (PSK) ada dua fakta yang tidak dipahamai banyak orang.

Pertama, PSK yang terdeteksi HIV-positif di Palu tertular HIV dari laki-laki penduduk Palu atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka sudah ada penduduk Palu yang HIV-positif. Ini juga menunjukkan tingkat angka prevalensi HIV (perbandingan penduduk laki-laki dewasa yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kurun waktu tertentu) di Palu. Kalau fakta ini ditarik ke realitas sosial maka laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, remaja, duda, atau lajang yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, buruh, petani, nelayan, pelajar, mahasiswa, sopir, maling, perampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Mata Rantai

Penyebaran HIV terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya HIV-positif karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, pada rentang waktu itu sudah bisa terjadi penularan HIV melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang dipakai secara bergantian, dan (d) air susu ibu/ASI melalui proses menyusui.

Kedua, PSK yang terdeteksi HIV-positif di Palu itu sudah mengidap HIV ketika tiba di Palu. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV. Laki-laki yang kemudian tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Bagi yang beristri maka dia akan menularkan HIV kepada istrinya atau kepada perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandung istrinya kelak, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI (vertikal).

Dua hal di ataslah yang sering luput dari perhatian sehingga penyebaran HIV terus terjadi tanpa kita sadari. Dalam berita disebutkan “ … jika faktor penyebab munculnya penyakit yang paling mematikan tersebut berada dari para Wanita Tuna Susila (WTS). Maka yang harus dilakukan adalah bagaimana menghilangkan praktik-praktik prostitusi di Kota Palu.” (12/4-2008). Yang menjadi mata rantai penyebaran HIV bukan WTS atau PSK, tapi laki-laki yang mengidap HIV.

Maka, yang perlu ditangani adalah laki-laki yang perilakunya berisio tertular atau menularkan HIV yaitu: (a) laki-laki yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti di Palu, di luar Palu atau di luar negeri, dan (b) laki-laki yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti WTS atau PSK di Palu, di luar Palu atau di luar negeri. Orang-orang inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Begitu pula dengan pengguna narkoba. Tidak bisa dipastkan apakah mereka tertular melalui penggunaan jarum suntik atau seks karena mereka pun melakukan hubungan seks. Pengguna narkoba yang terdeteksi HIV-positif pun akan menjadi mata rantai pula dalam penyebaran HIV. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, pacarnya atau PSK. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau PSK.

Dalam berita disebutkan terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS di Palu. Disebutkan dari 2001-2007 sudah terdeteksi 32 kasus yang terdiri atas 25 AIDS dan 7 HIV. Perlu diingat angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang muncul ke permukaan hanya bagian kecil.
Mencegah HIV

Kasus-kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi tahun 2007 merupakan insiden penularan yang terjadi beberapa bulan atau tahun sebelumnya. Kalau seseorang terdteksi HIV maka miminal dia sudah tertular tiga bulan sebelum tes HIV. Jika seseorang terdeteksi HIV sudah pada masa AIDS maka minimal dia sudah tertular lima tahun sebelumnya.

Peningkatan jumlah kasus yang terdeteksi terjadi karena ada kegiatan survailans tes HIV (tes tanpa nama untuk mendapatkan angaka prevalensi di kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu), orang-orang yang tertular HIV sudah mencapai masa AIDS sehingga memerlukan pengobatan. Ketika berobat dokter akan melihat riwayat pasien. Dari diagnisis ada yang terdeteksi HIV-positif. Pada masa AIDS mulai muncul berbagai penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, TB, dll. Infeksi ini terjadi karena sistem kekebalan tubuh orang yang tertular HIV sudah sangat rendah. Kekebalan menurun karena HIV merusak sel-sel darah putih ketika HIV menggandakan diri di dalam darah.

Perihal cara mencegah HIV dalam berita disebutkan “ …. berpuasa berhubungan seks.” Ini tidak akurat karena cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah adalah jangan melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang HIV-positif. Ini fakta medis.

Berita polisi yang terdeteksi HIV-positif terlalu dibesar-besarkan sehingga menjadi sensasi. Padahal, di kalangan lain tidak tertutup kemungkinan ada juga kasus HIV/AIDS. Hanya saja belum terdeteksi. Yang menularkan HIV kepada WTS atau PSK di Palu tentulah penduduk Palu dari berbagai kalangan.

Dalam berita juga ada pernyataan “….sangat prihatin karena Palu yang dikenal sebagai kota religius ini dengan sarana-sarana keagamaan, justru penderita HIV terus meningkat ….” Tidak ada kaitan langsung antara norma, moral, dan agama dengan penularan HIV karena penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV pun bisa terjadi melalui transfusi darah. Di Malaysia seorang perempuan guru mengaji tertular HIV melalui transfusi darah di rumah sakit pemerintah. Arab Saudi, yang memakai Alquran sebagai UUD, sudah melaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS.

Banyak kepala daerah seperti ‘kebakaran jenggot’ kalau di daerahnya ditemukan kasus HIV/AIDS. Ini reaksi negatif yang sangat merugikan penanggulangan HIV/AIDS karena kemudian temuan kasus-kasus itu disembunyikan. Padahal, penemuan kasus HIV/AIDS justru baik karena mulai dari orang-orang yang terdeteksi HIVitu mata rantai penyebaran HIV diputus.

Makin banyak kasus yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai yang diputus. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar