Senin, 24 Mei 2010

Menyikapi Peningkatan Kasus HIV/AIDS di Riau

Tanggapan terhadap Berita Harian “Riaua Mandiri”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 15/2-2002. “Penderita AIDS di Riau Meningkat”. Inilah judul berita di Harian ”Riau Mandiri” edisi 13 Februari 2002. Angka-angka itu sendiri tidak menggambarkan situasi yang sebenarnya sehingga angka itu tidak bisa menjadi alasan untuk mengabaikan epidemi HIV karena ada mata rantai penyebaran HIV yang tidak bisa dilihat.

Biar pun disebutkan kasus AIDS di Riau sampai Februari 2002 hanya 29, tetapi angka itu hanyalah merupakan puncak dari suatu fenomena gunung es (iceberg phenomenon) sehingga angka yang tidak terdeteksi jauh lebih besar. Bisa saja terjadi ada penduduk Riau yang menjalani tes HIV di Jakarta, daerah lai atau di luar negeri, sehingga angkanya tidak masuk ke dalam data di Riau. Bahkan, bisa saja terjadi dokter atau rumah sakit di Riau tidak melaporkan kasus HIV/AIDS pasiennya.

Sedangkan dalam laporan tribulanan yang diterbitkan Ditjen PPM&PL Depkes menunjukkan sampai 31 Desember 2001 kasus kumulatif HIV/AIDS di Riau mencapai 183 yang terdiri atas 198 HIV (12 di antaranya nelayan asing yang sudah kembali ke negaranya), 15 AIDS dan 7 meninggal. Sedangkan secara nasional sampai 31 Desember 2001 sudah tercatat angka 2.757 kasus HIV/AIDS. Namun, akan lebih arif kalau patokan yang dipakai adalah angka estimasi yaitu antara 80.000 – 120.000 kasus.

Tetapi, yang perlu diingat tidak berarti otomatis ada sekian lagi penduduk yang HIV-positif. Tidak ada rumus yang bisa menghitung dengan pasti berapa jumlah penduduk yang terinfeksi HIV hanya berpatokan pada kasus yang terdeteksi.

Angka yang kecil itu terjadi karena sistem surveilans (suveillance test yaitu tes HIV yang dilakukan dengan asas anomitas dan konfidensial terhadap kalangan tertentu pada waktu tertentu) di Indonesia tidak dijalankan dengan sistematis dan konsisten. Angka yang diperoleh dari survailans ini disebut prevalensi yaitu perbandingan antara yang HIV-positif dengan yang HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula. Angka ini menggambarkan besaran kasus HIV/AIDS di kalangan tersebut.

Survailans di Indonesia tidak sistematis sehingga angka yang muncul pun tidak realistis. Survailans hanya dilakukan secara sporadis dan hanya terhadap pekerja seks dan waria. Berbeda dengan Malaysia yang sudah menjalankan survailans secara sistematis, seperti terhadap pasien klinik IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, kencing nanah/GO, hepatitis B, dll.), pengguna narkoba dengan suntikan (injecting drug user/IDU), wanita hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB secara rutin sehingga angkanya pun mendekati angka yang sebenarnya. Survailans terhadap pasien klinik IMS dan wanita hamil sangat realistis karena mereka jelas sudah melakukan hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom).

Positif Palsu

Seperti disebutkan dalam berita itu “ …. Desember 2001 lalu pada beberapa lokalisasi yang ada di Riau, dari 3.162 sampel darah yang diperiksa, teridentifikasi 70 buah yang terjangkit virus ini.” Karena tes yang dilakukan bersifat survailans maka angka itu hanya menggambarkan prevalensi di kalangan pekerja seks. Perlu diingat ada kemungkinan di antara 70 sampel darah itu yang positif palsu, sebaliknya yang negatif (3.092) juga bisa negatif palsu. Hal ini terjadi karena ada masa window priod (masa jendela). Artinya, pada rentang waktu di bawah enam bulan setelah terinfeksi hasil tes dengan ELISA atau rapid test bisa positif palsu atau negatif palsu. Maka, untuk keperluan diagnosis, misalnya untuk pengobatan, dll., hasil tes itu harus dikonfirmasi dengan tes Western blot.

Dalam menyikapi hasil survailans itu maka dianjurkan kepada penduduk yang pernah melakukan hubungan seks (sanggama) tanpa kondom dengan pekerja seks untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Soalnya, risiko tertular HIV melalui hubungan seks (sanggama) tergantung kepada perilaku seseorang, yaitu (1) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar nikah.

Jadi, bagi yang pernah melakukan kegiatan berisiko tadi maka ada risiko tertular HIV. Soalnya, kita tidak tahu dan tidak perlu tahu siapa di antara pekerja seks itu yang HIV-positif karena seseorang dapat melindungi diri agar tidak tertular HIV secara aktif yaitu dengan mengindari perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Biar pun identitas pekerja seks itu dibeberkan di masyarakat sendiri ada penduduk yang HIV-positif sehingga kalau seseorang melakukan perilaku berisiko di luar lokalisasi pun tetap ada risiko tertular HIV.

Sebagai fakta medis, artinya dapat diuji di laboratorium, HIV yang hanya bisa hidup di dalam larutan darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI) hanya dapat menular melalui cara-cara yang sangat khas yaitu yaitu (1) melalui hubungan seks (sanggama), baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal di dalam dan di luar nikah serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki) tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif, (2) melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (4) dari seorang wanita yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan ASI

Mata Rantai

Epidemi HIV di Indonesia sudah masuk ke populasi yaitu pada penduduk yang berisiko rendah, seperti ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak. Di kalangan wanita hamil, misalnya, dari 3.914 sampel wanita yang diteliti di berbagai pusat pelayanan kesehatan di 13 provinsi di seluruh Indonesia ditemukan 27 ibu rumah tangga yang positif HIV (Media Indonesia, 6/7-2000). Penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI), Jakarta, terhadap 537 wanita hamil melalui tes sukarela dengan konseling di rumah sakit, klinik bersalin, klinik keluarga dan puskesmas di Jakarta (2000) menunjukkan 6 di antaranya positif HIV (Media Indonesia, 2/12-2000).

Seseorang yang terinfeksi HIV melalui hubungan seks tidak bisa segera terdeteksi karena gejala-gejala penyakit yang terkait dengan infeksi HIV baru mulai muncul setelah mencapai masa AIDS yaitu antara 5-10 tahun setelah terinfeksi. Penurunan berat badan sebagai salah satu gejala yang terkait dengan infeksi HIV, misalnya, bisa juga terjadi karena faktor-faktor lain. Begitu pula dengan demam dan batuk bisa pula terjadi karena penyakit lain.

Probabilitas (kemungkinan) tertular HIV (human immunodeficiency virus) yaitu virus penyebab kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom atau cacat kekebalan tubuh dapatan yang ditandai 70 jenis penyakit) dari wanita ke pria melalui hubungan seks (seks vagina) tanpa kondom antara 0,03-5,6 persen per kontak, tetapi karena hubungan seks sering dilakukan maka kemungkinan terinfeksi pun meningkat pula. Apalagi kalau angka prevalensi HIV besar maka risiko tertular pun besar pula.

Jika seseorang mengidap IMS maka risiko tertular HIV akan lebih besar karena sudah ada luka-luka di alat kelamin. Luka-luka itulah, yang ukurannya mikroskopis (artinya hanya dapat dilihat dengan mikroskop), yang menjadi pintu masuk bagi HIV. Jadi, pada hubungan seks yang tidak terlindung dengan seseorang yang mengidap IMS maka risiko tertular atau menularkan HIV akan jauh lebih besar karena ada luka-luka. Ini terjadi tentu saja kalau salah satu di antaranya HIV-positif.

Jika seorang pria tertular IMS atau HIV maka dia pun akan menjadi bagian dari mata rantai penyebaran IMS dan HIV. Kalau pria tadi sudah beristri maka istrinya pun akan tertular jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan suami-istri. Jika istrinya tertular maka anak yang dikandungnya pun kelak akan bisa tertular pula. Celakanya, kalau pria tadi mempunyai pasangan lain selain istrinya tentulah pasangannya itu pun akan tertular juga. Siapa tahu pasangannya itu pun mempunyai pasangan pula. Begitu seterusnya sehingga penyebaran secara horizontal akan menambah angka-angka infeksi HIV dan IMS.

Mata rantai penyebaran IMS dan HIV kian besar karena pekerja seks yang terdeteksi HIV-postiif di Riau dipulangkan ke daerah asalnya. Cara ini sangat naif karena tidak ada manfaatnya bagi Riau. Besar kemungkinan sudah ada penduduk setempat yang HIV-positif tetapi tidak terdeteksi sehingga akan terjadi penyebaran secara horizontal antara penduduk. Pemulangan pekerja seks itu pun akan membuat rasa aman yang semu sehingga penduduk mengabaikan perlindungan diri. Bisa saja mereka kembali melakukan perilaku berisiko dengan anggapan pekerja seks yang ada HIV-negatif. Padahal, bisa saja mereka negatif palsu yang sebenarnya justru positif. Pada kondisi seperti inilah, HIV-positif tanpa gejala, penularan yang efektif bukan pada saat seseorang sudah mencapai masa AIDS.

Dalam kaitan inilah KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) perlu digencarkan tetapi dengan materi yang akurat, objektif dan jujur sehingga yang dikemukakan fakta bukan mitos (anggapan yang salah) dan tidak perlu dibalut dengan moral dan agama. Dengan mengemukakan fakta-fakta seputar HIV/AIDS secara objektif seseorang akan mengkaji-kaji dirinya: apakah perilakunya berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Jika ya, maka kalau ada gejala-gejala yang terkait dengan AIDS maka dia pun dianjurkan menjalani tes HIV secara sukarela.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar