Senin, 24 Mei 2010

Menyikapi Peringkat Kasus AIDS Jawa Barat

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 22/11-2008. Berdasarkan laporan Depkes terakhir Jawa Barat (Jabar) menempati urutan kedua secara nasional dalam jumlah kasus AIDS. Sampai 30 Juni 2008 kasus AIDS di Jabar 2.042. Dari jumlah ini 1.638 terdeteksi di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik, serta 357 kematian. Laporan lain menyebutkan 2.106 kasus AIDS dan 1.674 kasus HIV (”Pikiran Rakyat”, 30/10-2008).

Angka-angka itu sendiri tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat karena epidemi HIV terkait dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular).

Namun, para kurun waktu itu sudah bisa terjadi penularan HIV melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan yang dipakai bersama, (d) cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (e) air susu ibu (ASI) pada proses menyusui.

Penularan secara horizontal antar penduduk terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

’Afrika Kedua’

Fakta inilah yang sering tidak sampai ke masyarakat sehingga banyak orang yang tidak menyadari perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Kapan, sih, seseorang berisiko tertular HIV melalui hubungan seks?

Setiap orang, laki-laki dan perempuan, akan berisiko tinggi tertular HIV jika dia pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Jika penyebaran HIV tidak segera ditanggulangi, maka Jabar bisa menjadi ’Afrika Kedua’ karena banyak faktor yang mendorong penyebaran HIV secara horizontal di Jabar. Di Afrika sudah banyak desa yang tidak ada lagi penduduknya karena semua sudah mati akibat penyakit terkait AIDS.

Salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV di Jabar, juga beberapa daerah lain di Indonesia, adalah perempuan yang bekerja, maaf, sebagai pekerja seks komersial (PSK) atau tenaga kerja wanita (TKW). Sebuah berita di ”Pikiran Rakyat” (11/11-2005) menyebutkan ”6.300 Wanita Indramayu Jadi PSK di Pulau Batam”.

Pulau Batam sendiri merupakan ’surga’ bagi wisatawan dari Singapura dan Malaysia, serta negara lain untuk melampiaskan hasrat seksual karena tarifnya murah dan tidak ada risiko ditangkap polisi. ’Gadis Priangan’ menjadi incaran mereka di Batam. Bahkan, ada ’klinik’ yang menyiapkan ’surat keterangan keperawanan’. Dengan tarif antara Rp 3 – Rp 5 juta mereka sudah mendapatkan ’perawan’ dan hotel dua malam. PSK di Batam banyak yang menderita penyakit menular seksual lebih dar satu jenis. Ada yang mengidap sekaligus penyakit sifilis, GO, klamidia, herpes, dll.

Andaikan sepuluh persen saja dari PSK asal Indramayu di Batam tertular HIV, maka ketika mereka pulang kampung maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Bagi yang bersuami akan menularkan HIV kepada suaminya. Ketika istrinya kembali ke Batam suaminya pun akan menularkan HIV kepada perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya. Yang tidak bersuami akan menularkan HIV kepada laki-laki jika dia ’praktek’ di kampugnya atau di tempat lain.

Fakta inilah yang luput dari perhatian banyak pihak. Yang terdata baru perempuan dari Indramayu dan hanya di Batam. Tentu saja masih ada perempuan dari daerah lain di Jabar yang juga menjadi PSK di Batam atau daerah lain.

Menulari Istri

Penyebaran HIV di Jabar khususnya dan Indonsia umumnya kian runyam karena laki-laki tidak mau memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti dengan PSK. Akibatnya, jika ada laki-laki yang tertular HIV, jika dia seorang suami, maka dia akan menularkan HIV kepada istirnya (horizontal). Jika istrinya tertular maka ada risiko penularan kepada bayi yang dikandungnya, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI (vertikal). Ini fakta dan terbukti sudah terjadi di Jabar, seperti pada berita ”48 Balita di Bandung Terpapar HIV/AIDS” (”Pikiran Rakyat”, 17/8-2008).

Fakta di atas menunjukkan sudah ada 48 laki-laki (baca: suami) yang sudah tertular HIV. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Selain kepada istrinya mereka pun bisa menularkan HIV kepada perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya atau kepada PSK. Kalau ada PSK yang tertular HIV dari suami-suami tadi maka laki-laki lain yang mengencani PSK itu akan berisiko pula tertular. Laki-laki ini pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.

Di Tasikmalaya disebutkan ”24 Penderita HIV/AIDS Meninggal” (”Pikiran Rakyat”, 29/8-2008). Karena pemahaman HIV/AIDS yang tidak komprehensif di banyak kalangan di Indonesia maka fakta itu seakan-akan tidak ada dampaknya. Padahal, sebelum meninggal ada kemungkinan mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Soalnya, rentang waktu antara tertular HIV sampai masa AIDS dan akhirnya meninggal secara statistik bisa mencapai antara 5-15 tahun. Maka, pada rentang waktu itulah bisa terjadi penularan baik kepada istrinya bagi yang beristri atau kepada perempuan lain, seperti PSK atau pasangan gelapnya.

Anadaikan 24 penderita yang meninggal itu sudah beristri maka ada 24 perempuan yang berisiko tertular HIV. Selanjutnya, ada pula 24 bayi yang berisiko tertular HIV. Setelah suaminya meninggal jika ada yang menikah lagi maka laki-laki yang menikahinya pun berisiko pula tertular HIV. Inilah mata rantai penyebaran HIV yang tidak dipahami oleh banyak orang.

Celakanya, semua terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Mabuk Perda

Sejak tahun 2001 Indonesia sudah diingatkan oleh Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB yang menangani AIDS), ketika itu Dr Peter Piot, di Kongres AIDS International Asia Pasifik di Melbourne, Australia, tentang percepatan kasus HIV. Tapi, pejabat kita yang juga banyak hadir di sana menganggapnya sebagai ’anjing menggonggong kafilah berlalu’. Maka, tidak mengherankan kelau kemudian sekarang Indonesia menjadi negara tercepat pertambahan kasus infeksi HIV baru di Asia.

Di banyak daerah epidemi HIV ditanggapi dengan cara-cara yang tidak realistis, misalnya, dengan membuat peraturan daerah (Perda). Sampai sekarang sudah ada 11 daerah mulai dari tingkat kabupaten, kota dan provinsi yang membuat perda peaanggulangan AIDS.

Hasilnya? Nol besar karena pasal-pasal di perda tidak menyentuh akar persoalan penyebaran dan pencegahan tapi sarat dengan pesan-pesan moral. Perda AIDS Riau, umpamanya, menyebutkan bahwa HIV/AIDS dapat dicegah dengan meningkatkan ’iman dan taqwa’. Bagaiman mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah HIV? Lagi pula penularan HIV tidak ada kaitannya secara langsung dengan moral, seperti melalui jarum suntik, alat-alat kesehatan, atau tranfusi darah.

Jika Jabar atau daerah lain tetap ngotot mau membuat Perda AIDS maka perlu ada pasal untuk mencegah infeksi HIV baru yang berbunyi ”Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubugnan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di wilayah Jabat atau di luar Jabar.”

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV maka ada pula pasal yang berbunyi ”Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di wilayah Jabat atau di luar Jabar wajib menjalani tes HIV dengan konseling.”

Makin banyak kasus HIV yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran yang diputus. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar