Senin, 24 Mei 2010

Menjauhi Penyalahgunaan Narkoba

Tanggapan terhadap Berita Harian ”SIB”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 11/5-2006. Berita “Seratusan Warta Terpaksa Masuki Panti Rehabilitasi di P. Sidimpuan karena Narkoba” di harian “SIB” edisi 4 Mei 2006 menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap fakta empiris pada realitas sosial.

Tema seminar “Narkoba, Aborsi dan Seks Bebas”, misalnya, sudah mengundang pertanyaan yang sangat mendasar.

Pertama, apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’? Kalau ‘seks bebas’ merupakan terjemahan bebas dari ‘free sex’ maka terminologi ini ngawur karena dalam kamus-kamus bahasa Inggris tidak ada entry ‘free sex’.

Kedua, kalau ‘seks bebas’ hanya diartikan sebagai hubungan seks pra nikah maka ini pun tidak adil karena hanya memojokkan remaja. Kalau ‘seks bebas’ dikaitkan dengan penularan HIV juga tidak akurat karena sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dengan narkoba. Penularan HIV melalui hubungan seks terjadi karena salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif biar pun hubungan seks dilakukan di dalam nikah dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun mereka melakukan ‘seks bebas’, zina, melacur atau gay.

Ketiga, dalam berita disebutkan “ …. barang haram narkoba ….”. Pernyataan ini tidak akurat karena tidak ada zat yang haram (misalnya, menurut Islam) dalam narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Dalam berbagai ceramah tentang narkoba ada fakta yang digelapkan. Ini menyesatkan. Yang dijauhi atau dihindari adalah penyalahgunaan narkoba bukan menjauhkan atau menghindari narkoba karena di dunia kedokteran narkoba sangat diperlukan, seperti morfin. Dalam kegiatan operasi (bedah) morfin dipakai sebagai obat anestesi (bius). Tanpa narkoba maka akan puluhan, ratusan bahkan ribuan orang yang mati di meja operasi karena tidak kuat menahan sakit.

Keempat, tidak ada kaitan langsung antara religius dengan penyalahgunaan narkoba karena penyalanggunaan narkoba erat kaitannya dengan kondisi psikologis orang per orang. Di negara-negara yang menjadikan agama sebagai dasar negara pun tetap ada kasus penyalahgunaan narkoba, bahkan kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi.

Kelima, saya khawatir ada pemahaman yang salah terhadap aborsi. Selama ini pengertian aborsi dipahami masyarakat dari berita di media massa. Celakanya, informasi tentang aborsi di media massa tidak akurat dan banyak yang ngawur. Dari aspek medis abrosi adalah penghentian kehamilan sebelum janin bisa hidup di luar kandunga. Nah, kalau ada kasus janin yang sudah berwujud manusia dikeluarkan secara paksa dari rahim maka ini bukan aborsi tapi infanticide (pembunuhan) yang tidak dikenal dalam dunia medis. Dalam UU Kesehatan tindakan aborsi dibenarkan jika ada indikasi medis untuk menyelematkan jiwa si ibu. Banyak negara, termasuk negara-negara Islam, yang membolehkan (regulasi) aborsi, seperti karena incest (hubungan seks antar saudara) atau perkosaan.

Keenam, ada salah kaprah yang sangat bear di negeri ini. Banyak orang, mulai dari pejabat, pakar dan tokoh yang mengatakan bahwa kasus aborsi paling banyak dilakukan remaja. Ini salah. Karena dari beberapa penelitian fakta menunjukkan justru perempuan yang terikat dalam pernikahan yang sah lebih banyak melakukan aborsi. Tapi, karena yang berbicara orang dewasa maka mereka memojokkan remaja. Ini salah satu bentuk kemunafikan.

Selama materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS, narkoba dan seks tidak disampaikan dengan akurat maka penularan HIV, penyalahgunaan narkoba dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) akan terus terjadi.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar