Sabtu, 29 Mei 2010

Pemahaman AIDS yang Tidak Akurat

Tanggapan terhadap Berita di Harian ” Lampu Hijau”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 13 Juni 2009. Berita “Katanya Kota Bebas Pelacuran, Tangerang Kok Jadi Sarang AIDS, 3 Pelacur, 1 Bencong Positif HIV (Kumaha Atuh pak Wali …..?)” yang dimuat harian ini tanggal 12 Juni 2009 menunjukkan pemahaman yang sangat dangkal terhadap HIV/AIDS.

Pertama, tidak ada kaitan langsung antara pelacuran dengan penularan HIV. Risiko penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Kedua, yang menularkan HIV kepada pekerja seks justru penduduk lokal dan pendatang yang sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, remaja, atau duda. Selanjutnya kalau laki-laki penduduk lokal yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan ada pekerja seks yang tertular HIV maka laki-laki ini pun berisiko tertular HIV. Maka, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk adalah laki-laki bukan pekerja seks.

Ketiga, biar pun tidak ada pelacuaran, seperti di Tangerang, tapi praktek-praktek hubungan seks yang berisiko tertular HIV tetap ada. Bisa terjadi di rumah, kos-kosan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, di alam terbuka, dll. Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti (risiko terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif), (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, perempuan panggilan, pelacur kelas atas, waria pekerja seks, ‘siswa atau mahasiswi’ yang menjadi pekerja seks, dll. (risiko terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif)

Keempat, di negara-negara yang menjadikan kita suci sebagai UUD sehingga secara de facto dan de jure tidak ada pelacuran tetap saja ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Arab Saudi, misalnya, sudah melaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Ini bisa terjadi karena penduduk negara itu melakukan hubungan seks berisiko dengan pendatang atau di luar negeranya. Yang tertular akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di negaranya. Hal yang sama bisa terjadi di Tangerang. Biar pun tidak ada pelacuran tapi bisa saja penduduk Tangerang melakukan perilaku berisiko tertular HIV di luar Tangerang atau di luar negeri. Penduduk Tangerang yang tertular HIV di luar kota akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Tangerang melalui (a) hubungan seks tanpa kodom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, dll., (d) cangkok organ tubuh, (e) air susu ibu/ASI (perempuan).

Dalam berita disebut “ ….. ditemukan empat pengidap AIDS“. Ini tidak akurat karena tes HIV bukan menemukan penderita AIDS tapi orang-orang yang sudah tertular HIV. Patus pula dipertanyakan apa jenis tes HIV yang dilakukan terhadap pekerja seks yang tertangkap. Kalau yang dipakai hanya rapid test dengan ELISA maka hasil tes itu belum akurat karena standar prosedur operasi tes HIV yang baku mengharuskan setiap hasil tes diuji lagi dengan tes lain. Tes HIV kepada pekerja seks hanya untuk menentukan angka prevalensi dalam kaitannya dengan epidemi.

Jika informasi tertang HIV tidak akurat maka inilah yang justru akan menyuburkan epidemi HIV. Soalnya, banyak orang yang tidak memahami cara-cara penularna dan pencegahan HIV yang akurat. Jika penanganan HIV/AIDS tidak komprehensif maka kita tinggal menunggu ‘bom waktu’ ledakan kasus AIDS. Pada gilirannya kondisi itu kelak akan menguras APBD untuk biaya pengobatan dan perawatan penduduk yang sakit karena penyakit yang terkait AIDS.

Sampai saat ini sudah ada 28 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menelurkan Perda Penanggulangan AIDS. Tapi, semuanya tidak menyentuh akar persoalan epidemi HIV karena cara-cara pencegahan yang ditawarkan hanya dari aspek norma, moral, dan agama. Akibatnya, kasus-kasus infeksi HIV baru tetap saja terjadi karena masyarakat tidak mengetahui cara pencegahan yang realistis. Teknologi kedokteran bisa dipakai untuk mencegah penularan HIV.

Jika ingin membuat Perda yang bisa menanggulangi penyebaran HIV maka pasal yang perlu ada adalah “Setiap penduduk, laki-laki dan perempuan, diwajibkan memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.” Lalu pasal berikutnya berbunyk ““Setiap penduduk, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.”

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar