Senin, 24 Mei 2010

Usul Perda AIDS yang Ngawur

Tanggapan terhadap Berita di Harian “Duta Masyarakat”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 15/1-2004. Berita “Digagas, Perda Penanggulangan HIV/AIDS” yang dimuat Harian “Duta Masyarakat” edisi 14 Januari 2004 sangat mengewewakan karena di saat kita mendengung-dengungkan diri sebagai negara hukum yang berbudaya, beragama dan ber-Pancasila, eh, koq ada yang justru mengusulkan perda yang mengangkangi hak-hak asasi manusia (HAM).

Dalam berita itu disebut “Bagi Pekerja Seks Komersial (PSK) yang posisit terinfeksi HIV/AIDS jangan harap bisa menjajakan tubuhnya. Demikian juga masyarakat yang juga tertular penyakit HIV/AIDS tidak bisa berkeliaran seenaknya”.

Pernyataan di atas jelas ngawur karena yang paling berperan sebagai jembatan pada mata rantai penyebaran HIV adalah orang-orang yang berperilaku berisiko tinggi tapi tidak teridentifikasi dan tidak terdeteksi karena mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular. Hal ini terjadi karena tidak ada gejala yang khas HIV/AIDS.

Dalam dunia kedokteran ada ketentuan yang mewajibkan dokter menyimpan data pasien sebagai rekam medis (medical record) yang diatur oleh UU dan Permenkes. Bukan hanya bagi pasien AIDS tetapi semua pasien dengan semua macam penyakit wajib dilindungi kecuali, al. ada perintah hakim.

Pengalaman Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta menangani Odha (orang yang hidup dengan HIV/AIDS) menunjukkan semua Odha memegang teguh amanah untuk melindungi diri dan orang lain agar tidak tertular HIV. Jadi, kekhawatiran itu hanya asumsi yang tidak didukung fakta empiris.
Kalau Perda itu kelak hanya mengatur hal-hal yang naïf dan ngawur jelas tidak akan ada hasilnya. Hanya menggantang asap. Jika ingin membuat Perda rancanglah yang logis dan manusiawi dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta HAM.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar