Senin, 24 Mei 2010

Mitos dalam Materi Informasi dan Berita AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 24/11-2003. “Presiden Minta Masyarakat Hilangkan Diskriminasi terhadap ODHA”. Itulah judul berita “Media Indonesia” edisi 20/11-2003. Imbauan ini terasa hambar karena, maaf, lagi-lagi yang disalahkan masyarakat. Padahal, yang paling banyak melakukan diskriminasi terhadap Odha justru jajaran aparat pemerintah, mulai dari jajaran Depkes, rumah sakit, pemerintahan daerah sampai kepala desa.

Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Pernyataan ini lagi-lagi menunjukkan presiden hanya mendapat ‘bisikan’ yang bersifat ‘AIS’ karena yang dikemukakan tidak sesuai dengan kenyataan. Fakta menunjukkan banyak kasus diskriminasi dilakukan oleh jajaran pemerintah. Perlakuan terhadap pekerja seks yang mengambil darah dengan semena-mena, pemulangan pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif pada survailans dari satu daerah ke daerah asalnya, penolakan rumah sakit terhadap Odha, dll. Perlakuan-perlakuan itu merupakan perbutan yang melawan hokum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Pengambilan darah dengan paksa tanpa konseling dan informed consent (persetujuan lisan atau tertulis setelah mendapat penjelasan yang objektif dan akurat tentang HIV/AIDS). Rekam medis merupakan rahasia (diatur dalam UU Kesehatan dan Permekes), tapi selalu saja terjadi pembeberan identitas Odha.

Di Karawang, Jawa Barat, umpamanya, petugas dari Dinas Kesehatan dan Puskesmas menggiring paksa seorang pekerja seks yang dipulangkan dari Riau dengan bantuan aparat Koramil setempat. Perempuan tadi pun menjadi bulan-bulanan aparat setempat dengan cara meminta uang jika pacarnya, WN Singapura, menjenguknya. Bahkan, ketika dia memeriksakan kehamilannya ke dokter di puskemas dia malah ‘diinterogasi’. Rupanya, dokter itu ingin mengetahui riwayat seksnya. “Ah, ini bukan janin tapi penyakit.” Itulah pernyataan dokter puskesmas itu. Obat yang diberikan kepadanya pun membuat dia mual dan muntah-muntah.

Mitos

Diskriminasi merupakan salah satu perlakuan buruk yang dialami Odha di negeri ini. Di Makassar, misalnya, seorang Odha yang menikah resmi di KUA setempat tiga kali diusir Ketua RT dari tempat kosnya karena penduduk mengetahui mereka sebagai ‘pasangan AIDS’. Rupanya, ada penduduk menyimpan foto perkawinan mereka yang dimuat koran setempat di halaman satu.

Diskriminasi dan stigmatisasi terjadi karena informasi HIV/AIDS yang sampai ke masayarakat tidak akurat. HIV/AIDS merupakan fakta medis (dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran) tetapi dibahas dari aspek moral dan agama. Akibatnya, yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, HIV/AIDS dikait-kaitkan dengan zina dan pelacuran. Padahal, tidak ada hubungan langsung antara penularan HIV dengan zina dan pelacuran karena penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi kalau salah satu pasangan itu HIV-positif. Jadi, di dalam dan di luar nikah penularan HIV bisa terjadi kalau hubungan seks dilakukan tidak memakai kondom.

Dalam berita itu sendiri sudah ada mitos yaitu pernyataan Menkes Achmad Sujudi yang mengatakan “Hal ini terlihat dari makin meningkatnya kasus penularan, baik melalui perilaku seksual menyimpang ….” Ini jelas mitos karena penularan terjadi bukan karena sifat hubungan seksual tapi kondisi hubungang seksual. Kalau kedua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan apa pun bentuk dan sifat hubungan seksual yang mereka lakukan.

Analisis terhadap berita HIV/AIDS di media massa nasional pada kurun waktu 1987-2000 juga menunjukkan mulai dari pejabat, pakar, dokter, dll. selalu membalut lidahnya dengan moral dan agama ketika membicarakan HIV/AIDS (Pers Meliput AIDS, 2000). Bahkan, menteri kesehatan yang berpijak pada medis pun membicarakan HIV/AIDS dari aspek moral dan agama.

Perilaku Berisiko

Pernyataan Menkes “….merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki penderita terendah” sangat naïf karena angka yang dipublikasikan Depkes (3.924) tidak menggambarkan realitas. Secara epidemiologi angka itu merupakan puncak dari fenomena gunung es. Kasus yang sebenarnya yang belum atau tidak terdeteksi bisa lebih banyak dari kasus yang terdeteksi. Angka itu banyak yang diperoleh dari survailans terhadap pekerja seks. Bahkan, ada kemungkinan seorang pekerja seks menjalani tes beberapa kali di tempat lain karena mobilitas mereka yang tinggi.

Di Malaysia ada survailans yang sistematis dan rutin terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil sehingga angka kasus yang terdeteksi merupakan gambaran yang realistis. Jadi, sangat wajar kalau angka di Malaysia jauh dari angka di Indonesia. Sedangkan di Indonesia survailans hanya sporadis dan banyak dokter yang tidak melaporkan kasus HIV/AIDS yang ditanganinya. Di saat epidemi HIV sudah di pelupuk mata tapi kita tetap membusungkan dada dengan membanggakan angka semu.

Kalau pembahasan HIV/AIDS tetap berpijak pada moral dan agama maka tidak akan pernah terjadi pemahaman yang komprehensif terhadap HIV/AIDS. Di saat penemuan kasus baru di kalangan dewasa di banyak negara di Afrika, Amerika dan Eropa Barat mulai menunjukkan grafik yang mendatar di kawasan Asia Pasifik justru sebaliknya. Hal ini terjadi karena penduduk di sana sudah menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Sedangkan di kawasan Asia Pasifik penduduk, pejabat dan pemuka agama terlibat debat kusir tentang seks aman (baca: kondom).

Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Jadi, dengan menghindarkan diri dari perilaku-perilaku berisiko maka probabilitas tertular HIV bisa ditekan sampai nol persen.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar