Sabtu, 29 Mei 2010

Menanggulangi Epidemi HIV/AIDS di Lampung

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Lampung Post”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 18/12-2007. Berita “Pengidap AIDS 5.000-an Orang” di Harian “Lampung Post” edisi 16/11-2007 menggelitik. Biar pun angka itu estimasi atau perkiraan, tapi signifikan dengan realitas sosial. Dengan angka 144 yang terdeteksi sudah saatnya Pemprov. Lampung meningkatkan penyuluhan agar masyarakat memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.

Selama ini informasi tentang HIV/AIDS yang sampai ke masyarakat tidak akurat karena dibumbui dengan norma, moral, dan agama sehingga banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina di pelacuran. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun zina, pelacuran, jajan, selingkuh, waria, dan homoseksual.

Fakta di ataslah yang sering tidak sampai ke masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV karena mereka tidak melakukan zina di pelacuran tapi dengan ’perempuan baik-baik’, ’anak sekolah’, dan ’ayam kampus’ di hotel, rumah, apartemen, dll.

Dalam berita juga disebutkan estimasi berdasarkan ’ .... faktor peredaran narkoba serta seks bebas.’ Penggunaan kata ’seks bebas’ ini rancu dan ngawur karena merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak ada dalam kosa kata bahasa Inggris. Lagi pula kalau yang dimaksud dengan ’seks bebas’ adalah zina atau melacur maka lagi-lagi salah kaprah karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan zina dan pelacuran.

Di bagian lain disebutkan pula "Sedikitnya jumlah orang dengan HIV/AIDS yang tercatat disebabkan kini masih banyaknya stigma yang salah dari masyarakat terhadap para penderita." Pernyataan ini tidak pas. Jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi kecil karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Pada kurun waktu inilah terjadi penularan horizontal antar penduduk tanpa disadari. Orang-orang inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV melalui (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) air susu ibu.

Pemberitaan di media massa tidak sepenuhnya kesalahan wartawan karena sumber berita pun sering menyampaikan informasi yang salah. Misalnya, penggunaan istilah atau terminologi terkait HIV/AIDS yang tidak pas. Contohnya, penggunaan kata seks bebas. Yang benar adalah seks yang tidak aman yaitu hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti tanpa kondom. Begitu pula dengan angka kasus. Sering terjadi hasil survailans tes HIV di kalangan tertentu dipublikasikan sebagai kasus HIV/AIDS padahal hasil survailans dipakai untuk prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif di kalangan tertentu pada kurun waktu yang tertentu pula). Angka prevalensi diperlukan untuk keperluan epidemiologis, misalnya, untuk merangcang langkah-langkah penanggulangan, penyediaan obat, dll.

Upaya mendekatkan fasilitas tes HIV melalui voluntary counseling test/VCT (tes HIV secara sukarela dengan konseling) kepada masyarakat juga tidak akan bermanfaat kalau pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS tidak akurat. Pengalaman di banyak daerah menunjukkan target VCT lebih ditujukan kepada pekerja seks. Padahal, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV bukan pekerja seks tapi laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks.

Yang menularkan HIV kepada pekarja seks justru laki-laki. Kalau ada pekerja seks yang tertular HIV maka laki-laki lain yang mengencani pekerja seks tadi berisiko pula tertular HIV. Kalau laki-laki tadi tertular HIV maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya. Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandung istrinya kelak. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacaranya, pasangan seksnya atau pekerja seks lain.

Disebutkan pula ” .... nantinya kami membuka klinik-klinik mobile di mal-mal agar masyarakat bisa secara dekat dan nyaman untuk memeriksakan .....” Tes HIV tidak semudah tes gula darah atau hepatitis karena menyangkut stigma dan diskriminasi. Orang-orang yang mendatangi klinik itu akan menjadi tontonan.

Risiko penularan HIV pada pengguna narkoba suntikan terjadi karena mereka memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran. Kalau ada di antara mereka yang HIV-positif maka yang lain akan berisiko tertular HIV karena darah yang memakai jarum suntik bisa masuk ke dalam jarum suntik dan tabungnya.

Belakangan ini banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi dari kalangan pengguna narkoba suntikan. Hal ini terjadi karena pengguna narkoba, terutama remaja, diwajibkan menjalani tes HIV jika hendak mengikui program rehabilitasi. Sebaliknya, orang-orang yang tertular melalui hubungan seks tidak bisa dideteksi karena tidak ada mekanisme yang membuat mereka wajib menjalani tes HIV.

Selain itu karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV maka banyak di antara mereka yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Untuk itulah penyuluhan denan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) HIV/AIDS yang akurat harus digencarkan agar masyarakat menyadari perilakunya: berisiko atau tidak berisiko.

Orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV adalah yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks. Mereka inilah yang perlu dibujuk agar mau menjalani tes HIV secara sukarela.

Semakin banyak orang yang terdeteksi HIV-positif maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. Pada gilirannya angka kasus baru infeksi HIV pun dapat ditekan.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar