Sabtu, 29 Mei 2010

Gelombang Epidemi HIV vs Moral

Oleh Syaiful W. Harahap

Sebuah harian di Denpasar, Bali, mem-blow up berita seputar pelacuran terkait dengan epidemic HIV/AIDS di Pulau Dewata. Ada usul agar pelacuran dilokalisir. Muncul pro dan kontra. Diperkirakan akan ada ‘gelombang epidemi HIV yang mengancam Bali’ terkait peningkatkan penularan HIV melalui hubungan seks. Yang menjadi persoalan bukan lokalisasi dan PSK, tapi perilaku (seks) penduduk lokal yang menjadi pelanggan PSK di Bali atau di luar Bali.

Menurut Koordinator Kelompok Kerja Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi KPAD Prov. Bali, Dewa N. Wirawan, terjadi peningkatan kasus penularan HIV melalui hubungan seksual (KOMPAS, 12/10/07). Yang dikhawatirkan ada asusmi hal itu terjadi karena pelacuran di Bali.

Selama informasi HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka selama itu pula penularan akan terus terjadi karena masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.

Selama ini penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks pranikah, waria, seks menyimpang, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, seks pranikah, waria, seks menyimpang, dan homoseksual.

Orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenal dari fisiknya. Maka, sanggama yang aman dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya adalah dengan menghindarkan pergesekan langsung antara penis dan vagina pada hubungan seks di dalam atau di luar nikah.

Praktek Pelacuran

Ada kemungkinan PSK yang beroperasi di Bali justru tertular HIV di Bali. Mereka bisa saja ditulari penduduk asli (lokal) atau wisatawan. Kalau ini yang terjadi maka di masyarakat lokal sudah ada penduduk yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Bisa juga terjadi PSK yang beroperasi di Bali sudah tertular HIV sebelum ke Bali. Kalau ini yang terjadi maka penduduk Bali yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV.

Dalam kehidupan sehari-hari mereka itu bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, sopir, petani, nelayan, pencopet, perampok, dll.

Tidak ada kaitan langsung antara (lokalisasi) pelacuran dengan penularan HIV. Yang menjadi persoalan adalah ‘praktek pelacuran’ yaitu hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di semua tempat karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif.

Di Arab Saudi tidak ada industri hiburan malam dan tidak pula ada lokalisasi pelacuran tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Sampai awal tahun ini sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Hal itu bisa terjadi karena penduduk Arab Saudi melakukan hubungan seks berisiko, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di luar negaranya. Sebaliknya, di negara-negara yang ada lokalisasi pelacuran kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa justru mulai menunjukkan grafik yang mendatar karena penduduknya sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindari hubungan seks berisiko.

Melokalisir PSK (membuat lokalisasi pelacuran) erat kaitannya dengan (kesehatan) masyarakat. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa ada laki-laki penduduk lokal yang pernah atau sering melakukan hubungan seks dengan PSK. Dengan mengontrol (kesehatan) PSK maka masyarakat dapat diselamatkan dari kemungkinan tertular penyakit. Secara rutin kesehatan PSK diperiksa dan mereka dididik agar bisa menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom.

Memupus Mitos

Yang menjadi persoalan bukan PSK tapi penduduk (lokal) karena pelanggan PSK tentulah kebanyakan penduduk lokal. PSK yang terdeteksi HIV-positif minimal mereka sudah tertular tiga bulan sebelum tes. Sedangkan yang sudah terdeteksi pada masa AIDS mereka sudah tertular antara 5 sampai 15 tahun sebelumnya. Pada rentang waktu itu sudah berapa laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan mereka. Dalam tiga bulan mereka ‘praktek’ 75 hari. Jika satu malam ada dua tamu maka sebelum mereka terdeteksi sudah 4.500 (90 x 25 x 2) laki-laki yang berisiko tertular HIV. Laki-laki yang 4.500 inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Yang beristri akan menulari istirnya atau perempuan lain atau PSK lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya, pasangannya, atau PSK.

Ada yang menyebutkan ‘PSK perlu surat bebas HIV/AIDS’. Ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS. Misalnya, hari ini pukul 08.00 semua PSK di Bali menjalani tes HIV. Andaikan 100 persen negatif. Tapi, ada kemungkinan di antara PSK pada masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan) ketika dites sehingga hasilnya negatif palsu (mereka sebenarnya sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi).

Tes HIV bukan vaksin. Setelah dites bisa saja ada di antara mereka yang tertular HIV. Maka, surat bebas HIV/AIDS tidak ada manfaatnya karena setiap saat setiap orang yang perilaku seksnya berisiko bisa tertular HIV. Apakah Pemprov Bali akan mengetes setiap PSK setiap saat?

Yang perlu dilakukan adalah memupus mitos AIDS dengan cara mengedepankan fakta (medis) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIVserta menganjurkan penduduk yang perilakunya berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Mata rantai penyebaran HIV akan diputus mulai dari penduduk yang terdeteksi HIV-positif.

[Sumber: Newsleter “infoAIDS” edisi No. 8/Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar