Jumat, 14 Mei 2010

Menanggulangi AIDS Jangan Memojokkan Remaja

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 24/11-2003. “10 Tahun Lagi, Pontianak Bebas HIV/AIDS?” Ini judul berita di Harian “Pontianak Post” edisi 10 November 2003. Pertanyaan ini menggelitik karena epidemi HIV tidak bisa dibendung dengan benteng yang kokoh atau dengan batas adminstratif kota, daerah, wilayah atau negara.

Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Penyakit yang bisa ‘dibendung’ adalah penyakit yang disebabkan oleh virus, kuman atau bakteri yang terdapat dalam benda, seperti air, makanan, buah-buahan, dll. Sedangkan HIV berada dalam aliran darah dan penularannya pun terjadi antar manusia melalui beberapa cara yang spesifik (khas). Yang membuat epidemi HIV menjadi masalah besar adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena sebelum mencapai masa AIDS, antara 5-10 tahun, tidak ada gejala-gejala klinis yang khas AIDS. Biar pun belum mencapai masa AIDS seseorang yang sudah tertular HIV (HIV-positif) sudah bisa menularkan virus kepada orang lain melalui beberapa cara.

Penularan HIV terjadi melalui (1) melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) antara seseorang yang HIV-positif dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) melalui transfusi darah yang tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik yang tecemar HIV, dan (4) dari ibu yang HIV-positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI. Penularan ini berdasarkan fakta medis. Jadi, tidak ada penularan HIV selain melalui empat cara di atas.

Yang bisa dilakukan adalah mencegah penularan HIV secara horizontal dan vertikal sehingga kasus baru dapat ditekan. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kesadaran masyarakat terhadap HIV/AIDS melalui penyuluhan dengan memanfaatkan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi). Celakanya, banyak materi KIE yang tidak akurat karena informasi HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama. Akibatnya, yang ditangkap masyarakat hanyalah mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, disebutkan HIV/AIDS menular melalui zina, hubungan seks di luar nikah, pelacuran, dll. Ini mitos karena sebagai fakta medis (dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran) penularan HIV tidak terkait secara langsung dengan zina, hubungan seks di luar nikah atau pelacuran. Jika sebuah pasangan berzina tidak akan pernah terjadi penularan HIV kalau kedua-duanya HIV-negatif. Sebaliknya, kalau salah satu pasangan HIV-positif ada risiko penularan biar pun hubungan seksual dilakukan di dalam ikatan pernikahan yang sah.

Karena tidak ada ciri-ciri khas orang yang sudah terinfeksi HIV maka yang perlu diperhatikan adalah melindungi diri secara aktif agar tidak tertular HIV dengan cara menghindari kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV. Kegiatan yang berisiko tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Dalam berita disebutkan bahwa penanggulangan HIV/AIDS akan dititikberatkan melalui pembinaan sebaya pada generasi muda (peer group). Hal ini akan memojokkan remaja karena seolah-olah hanya remaja yang berisiko tertular HIV. Data kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Depkes memang menunjukkan kasus HIV/AIDS lebih banyak di kalangan remaja (15-29 tahun) yaitu 596 (15,19 %)dari 3.924 kasus secara nasional. Tapi, perlu diingat bahwa penemuan kasus HIV/AIDS di kalangan remaja terjadi karena ada keharusan menjalani tes (mandatory test) HIV ketika hendak masuk ke pusat rehabilitasi narkoba.

Sedangkan kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa tidak bisa terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang ‘memaksa’ orang dewasa untuk menjalani tes HIV. Padahal, tidak sedikit orang dewasa yang memakai narkoba suntikan dan tidak sedikit pula orang dewasa yang melakukan kegiatan berisiko.

Selama ini survailans tes HIV hanya dilakukan terhadap pekerja seks. Padahal, yang bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV justru laki-laki pelanggan pekerja seks. Tapi, tidak ada mekanisme yang dapat memantau kasus HIV di luar pekerja seks. Di beberapa negara, seperti Malaysia, ada mekanisme yang dapat memantau epidemi HIV di berbagai kalangan yaitu melalui survailans rutin terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil. Cara ini akan menghasilkan gambaran kasus HIV/AIDS yang nyata di masyarakat.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Pontianak dan Kalbar yang saat ini mencapai 88 (75 HIV+ dan 13 AIDS) bisa merupakan puncak dari suatu fenomena gunung es karena kasus yang terdeteksi hanya di kalangan pekerja seks. Sedangkan penyebarannya sudah masuk ke masyarakat melalui laki-laki pelanggan pekerja seks.

Namun, tidak perlu semua penduduk Kalbar dianjurkan untuk menjalani tes karena tidak semua penduduk melakukan kegiatan berisiko tertular HIV. Jadi, untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk dapat dilakukan dengan menganjurkan agar laki-laki yang pernah melakukan kegiatan berisiko untuk menjalani tes sukarela dengan konseling (bimbingan), anonimitas (tidak pakai nama atau identitas) dan konfidensial (dijamin kerahasiannya).

Jika ada di antara yang menjalani tes HIV sukarela terdeteksi positif maka mereka diajak agar tidak menularkan HIV kepada orang lain, terutama kepada istrinya bagi yang sudah beristri. Mereka pun dapat pula ditangani secara medis.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar