Senin, 24 Mei 2010

Pelanggaran HAM

Tanggapan terhadap Berita di “INDOSIAR”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 19/10-2003. Berita tentang penangkapan terhadap perempuan yang mangkal di warung di kawasan Pondok Aren, Tangerang, Banten, yang disiarkan “INDOSIAR” tanggal 19 Oktober 2003 pada acara “Patroli Minggu” tidak mengindahkan harkat dan martabat manusia serta melanggar hak asasi manusia (HAM).

Dalam berita itu disebutkan “wanita tuna susila”. Istilah ini merendahkan martabat perempuan sebagai manusia. Ada lagi pernyataan “menjajakan diri”. Masya Allah. Apakah tidak ada lagi empati wartawan terhadap mereka? Sebagai warga negara, biar pun mereka disebut pekerja seks, tapi mereka tetap mempunyai hak untuk mendapat perlindungan hukum.

Penangkapan perempuan-perempuan itu pun merupakan perbuatan yang melawan hukum karena mereka tidak tertangkap tangan sedang melakukan hubungan seks. Tidak ada UU yang melarang orang, termasuk perempuan, berdiri atau duduk-duduk di pinggir jalan, di warung atau di halte baik siang mau pun malam hari.

Sebagai media yang mengembang missi agent of change wartawan yang meliput peristiwa itu justru mempertanyakan perlakuan aparat terhadap perempuan yang ditangkap. Bahkan, mereka dipaksa dengan menyeretnya ke mobil.

Mereka, perempuan itu, merupakan orang-orang yang powerless dan voiceless. Dalam kaitan ini media massa seharusnya berada di pihak mereka, tetapi dalam berita itu media massa (baca: wartawan) justru berada di pihak aparat yang merupakan pihak yang power full dan voice full. Wartawan sudah bertindak sebagai aparat dan menjadikan orang-orang yang ditangkap semata-mata sebagai objek (berita).

Perlakuan aparat sudah melanggar HAM. Wartawan pun menyorot muka mereka dengan jelas. Ini merupakan pelanggaran HAM. Pemuatan foto dan gambar harus seizin ybs. Mereka jelas tidak mengizinkannya karena ada yang menutup muka tetapi dipaksa dibuka agar bisa disorot. Astagafirullah.

Dalam Kode Etik Jurnalistik-PWI dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) ada ‘asas praduga tak bersalah’. Mereka belum divonis pengadilan sehingga harus diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah. Tidak ada hak aparat, polisi dan pamong praja, menetapkan mereka bersalah karena negara ini adalah negara hukum sehingga vonis hanya bisa diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar