Senin, 24 Mei 2010

Pengguna Narkoba Suntikan Mendorong Epidemi HIV di Indonesia

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 24/11-2003. Laporan UNAIDS (Badan PBB Urusan AIDS) dalam AIDS Epidemic Update December 2003 yang dirilis akhir November 2003 kembali mengingatkan epidemi HIV di Indonesia. Padahal, dua tahun lalu Direktur Eksekutif UNAIDS, Dr. Peter Piot, sudah menyoroti epidemi HIV yang dipicu oleh pengguna narkoba suntikan di Indonesia pada pembukaan Kongres Internasional AIDS Asia Pasifik (ICAAP) VI di Melbourne, Australia (Suara Pembaruan, 6/10-2001).

UNAIDS melaporkan di negara-negara yang selama ini tidak terdeteksi kasus HIV/AIDS atau kasus HIV/AIDS yang terdeteksi rendah, seperti di Cina, Indonesia dan Vietnam (dengan penduduk lebih dari 1,5 miliar) menunjukkan kasus HIV sudah menyebar ke berbagai kawasan pedesaan dan perkotaan.

Perlakuan-perlakuan buruk yang dialami oleh Odha (orang yang hidup dengan HIV/AIDS) menyulitkan penangangan HIV/AIDS. Untuk itulah melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap Odha karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Jembatan Penularan

Di saat penemuan kasus baru pada penduduk dewasa di kawasan Amerika Utara, Australia, Eropa Barat dan Afrika mulai menunjukkan grafik yang mendatar, tapi di kawasan Asia Pasifik justru sebaliknya. Kasus baru di kalangan penduduk dewasa meroket. Estimasi UNAIDS menunjukkan pada tahun 2003 sekitar lebih dari 1 juta penduduk di kawasan Asia Pasifik tertular HIV, sehingga di kawasan ini diperkirakan 7,4 juta penduduk hidup dengan HIV/AIDS. Tahun ini diperkirakan 500.000 di antara 7,4 juta itu akan meninggal.

Sorotan UNAIDS dua tahun lalu mulai menunjukkan bukti. Sampai 30/9-2003 laporan kasus HIV/AIDS dari kalangan pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) suntikan terus meroket. Penularan HIV di kalangan pengguna narkoba tercatat 846 yang terdiri atas 543 HIV-positif dan 303 AIDS. Jumlah ini berarti 21,56 persen dari kasus nasional (3.924). Pengguna narkoba suntikan berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV karena mereka memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian dan bergiliran.

Karena jarum disuntikkan ke dalam urat nadi maka ada kemungkinan darah akan masuk melalui jarum suntik ke semprit. Pemakai berikutnya akan berisiko tertular HIV karena darah yang ada di dalam jarum dan semprit akan terdorong ke aliran darah ketika narkoba disuntikkan. Selain sebagai mata rantai penyebaran HIV di kalangan sesama pengguna narkoba suntikan seorang pengguna narkoba yang HIV-positif juga menjadi ‘jembatan’ penularan HIV dari kalangan pengguna narkoba ke populasi melalui hubungan seks yang tidak aman. Mereka menulari istrinya bagi yang sudah beristri atau menular pasangan seksnya bagi yang berlum beristri. Bisa juga menularkannya kepada pekerja seks yang pada gilirannya laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks berisiko pula tertular HIV.

Peringatan UNAIDS dua tahun lalu hanya bagaikan angin lalu bagi pemerintah. Buktinya, selama dua tahun ini tidak ada kegiatan yang berarti untuk mengurangi dampak buruk (penularan HIV) antar pengguna narkoba suntikan. Dalam laporan UNAIDS disebutkan lebih dari 90 persen pengguna narkoba suntikan di tiga kota besar di Indonesia memakai jarum suntik dan semprit yang tidak steril. Di salah satu kota dari tiga kota itu pengguna narkoba suntikan melakukan hubungan seks yang tidak aman (tidak pakai kondom) dengan pekerja seks. Kondisi ini akan memicu penyebaran HIV secara horizontal.

Pengurangan dampak buruk merupakan salah satu usaha yang sangat berarti di kalangan pengguna narkoba suntikan sehingga penyebaran HIV di antara mereka dan penyebaran secara horizontal ke masyarakat dapat dicegah. Pengurangan dampak buruk adalah upaya untuk mengajak pengguna narkoba suntikan memakai jarum suntik dan semprit yang steril dan mereka pun diminta agar tidak memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Yang dilakukan di Indonesia justru pembangunan lembaga pemasyarakatan (LP) khusus narkoba yang sudah lama ditinggalkan di banyak negara di dunia, seperti di Amerika Serikat, karena tidak bermanfaat dalam mengurangi dampak buruk. Biaya yang diperlukan untuk LP sangat besar sedangkan yang dibutuhkan pengguna narkoba adalah rehabilitasi. Dalam UU Narkotika juga disebutkan bahwa pengguna narkoba sebagai korban berhak mendapatkan rehabilitasi.

Selain didorong oleh pengguna narkoba epidemi HIV di Indonesia pun terkait dengan pekerja seks. Kasus HIV/AIDS di kalangan pekerja seks di beberapa daerah di Indonesia juga menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Di Sorong, Papua, misalnya, tahun 2002 prevalensi HIV di kalangan pekerja seks mencapai 17 persen. Prevalensi HIV di kalangan pekerja seks di wilayah-wilayah pedesaan di Kalimantan dan Papua, serta di kawasan industri seperti di Riau, juga menunjukkan peningkatan besar. Celakanya, penggunaan kondom secara konsisten pada hubungan seks dengan pekerja seks sangat rendah. Dari 7-10 juta penduduk Indonesia yang sering melakukan hubungan seks dengan pekerja seks hanya di bawah 10 persen yang selalu memakai kondom.

Tes HIV Sukarela

Pemasaran sosial kondom dan peningkatan kepedulian masyarakat terhadap HIV/AIDS melalui KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tidak berjalan mulus karena dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Akibatnya, yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan kondom bisa ditembus HIV. Ini ngawur karena HIV tidak bisa melepaskan diri dari air mani. Jika air mani bisa ditampung di dalam kondom ketika hubungan seks maka HIV juga tertampung di kondom. Ada maha guru yang selalu mengatakan kondom berpori. Padahal, uji laboratorim menunjukkan kondom yang terbuat dari lateks (getah pohon karet) tidak berpori-pori.

Begitu pula dengan penularan HIV disebut-sebut terkait dengan zina, hubungan seks di luar nikah, pelacuran, dll. Padahal, tidak ada hubungan langsung antara zina, seks di luar nikah dan pelacuran dengan penularan HIV. Di negara-negara yang tidak ada (lokalisasi) pelacuran pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Sebagai virus, HIV hanya menular melalui (1) hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) antara seseorang yang HIV-positif dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) transfusi darah, (3) jarum suntik yang tecemar HIV, dan (4) dari ibu yang HIV-positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Jadi, jelas tidak ada kaitan moral dan agama dengan penularan HIV. Persoalan yang mendasar adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV melalui perilaku berisiko (melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan pekerja seks atau memakai jarum suntik secara bersama-sama pada penggunaan narkoba). Hal ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala klinis yang khas terkait dengan HIV/AIDS. Gejala yang ditandai dengan infeksi oportunistik, seperti diare, TB, jamur, dll. baru muncul setelah mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun).

Tapi, biar pun belum mencapai masa AIDS seseorang yang HIV-positif sudah bisa menularkan virus ke orang lain melalui cara-cara penularan di atas.

Untuk itulah diperlukan materi KIE yang objektif agar masyarakat dapat menimbang-nimbang perilakunya: berisiko atau tidak. Bagi yang pernah melakukan perilaku berisiko dianjurkan untuk menjalani tes HIV sukarela sesuai dengan standar prosesur operasi tes HIV yang baku (ada konseling sebelum dan sesudah tes, informed consent, serta dengan asas anonimitas dan konfidensialitas)

Deteksi dini status HIV dapat memutus mata rantai penyebaran HIV dengan menganjurkan kepada yang terdeteksi HIV-positif agar tidak menulari orang lain. Selain itu dapat pula dilakukan penangangan medis, seperti pemberian obat antiretroviral (obat yang dapat menekan pertumbuhan HIV di dalam darah) serta dukungan psikologis.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar