Senin, 24 Mei 2010

Menyikapi Temuan HIV di Prabumulih, Sumatera Selatan

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 27/4-2004. Berita “Temuan HIV Hantui Warga Prabumulih” yang dimuat di Harian “Sriwijaya Post” edisi 26 April 2004 perlu disikapi dengan arif karena banyak hal yang terkait dengan masalah itu. Sampai saat ini banyak berita tentang HIV/AIDS di media massa nasional masih dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan zina, pelacuran dan gay. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara zina, pelacuran dan gay dengan penularan HIV.

Berkaitan dengan penularan melalui hubungan seks, sebagai virus, HIV hanya menular melalui hubungan seks penetrasi yang tidak aman atau tidak memakai kondom (kondisi hubungan seks) di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seks) antara seorang yang HIV-positif dengan pasangannya. Jadi, kalau kedua pasangan itu negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV apa pun jenis dan sifat hubungan seks yang mereka lakukan.

Dalam berita itu ‘keresahan’ penduduk dikaitkan dengan pekerja seks komersial (PSK). Ini jelas menyesatkan karena di negara-negara yang tidak ada pelacuran pun tetap banyak kasus HIV/AIDS. Seseorang berisiko tinggi tertular HIV jika ybs. melakukan hubungan seks penetrasi tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah atau ybs. melakukan hubungan seks penetrasi tanpa kondom dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar nikah, seperti PSK.

Menghitung Risiko

Jadi, kekhawatiran penduduk seperti yang disebutkan dalam berita itu tidak perlu terjadi kalau saja materi KIE (komunikasi, informasi, edukasi) tentang HIV/AIDS akurat dan objektif. Tapi, karena selama ini KIE HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama maka masyarakat hanya menangkap mitos. Misalnya, masyarakat melihat zina, pelacuran dan gay sebagai biang keladi HIV/AIDS. Padahal, belakangan ini banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi dari kalangan pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik. Mereka tidak melakukan zina. Mereka bukan gay.

Jadi, pernyataan dalam berita yang menyebutkan “ ….sejak menjadi kota otonom, jumlah WTS dan waria di Prabumulih meningkat” tidak perlu dirisaukan kalau penduduk tidak melakukan perilaku berisiko. Sebaliknya, epidemi HIV di Prabumulih bisa menjadi bencana kalau ada penduduk Prabumulih yang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV di luar daerah. Jika ybs. tertular maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di Prabumulih.

Persoalan kian pelik karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada gejala-gejala medis yang khas jika seseorang sudah tertular HIV. Tapi, biar pun tidak ada gejala namun yang bersangkutan sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain melalui kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi, seperti hubungan seks yang tidak aman, mendoronorkan darah atau melalui jarum suntik, jarum tindik dan tattoo.

Seseorang dapat menimbang-nimbang dirinya apakah sudah tertular HIV dari perilakunya. Jika seseorang sering melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan pasangan yang berganti-ganti maka ybs. berisiko tinggi tertular HIV. Risiko tertular kian besar kalau hubungan seks dilakukan di daerah atau negara yang prevalensi HIV (perbandingan antara yang HIV-positif dengan yang HIV-negatif) di kalangan PSK tinggi.

Jadi, kalau di Prabumulih sudah ditemukan PSK yang HIV-positif maka hal ini merupakan lampu kuning bagi penduduk karena penduduk yang pernah melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan PSK sudah berada pada risiko tinggi tertular HIV. Jika ada penduduk yang HIV-positif maka penduduk tadi pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Sampai 31 Maret 2004 kasus kumulatif HIV/AIDS di Sumatera Selatan tercatat 10 dengan perincian 5 HIV-positif dan 5 AIDS. Secara nasional kasus HIV/AIDS mencapai 4.159 yang terdiri atas 2.746 HIV-positif dan 1.413 AIDS dengan 493 kematian. Sumatera Selatan berada di urutan 14 secara nasional.

Memutus Mata Rantai

Tapi, perlu diingat angka-angka yang kecil itu terjadi karena tidak ada survielans tes HIV yang rutin dilakukan di Sumatera Selatan. Angka itu tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi merupakan bagian terkecil dari jumlah kasus yang sebenarnya.

Hal itu dapat dilihat dari 5 kasus AIDS di Sumatera Selatan yang terdeteksi dari kalangan pengguna narkoba suntikan. Seorang pengguna sering memakai narkoba beramai-ramai dengan temannya. Andaikan 1 dari 5 kasus AIDS tadi berteman dengan 10 orang, maka sudah ada 50 orang yang berisiko tertular HIV. Pengguna yang 50 tadi juga memakai narkoba pula dengan temannya yang lain. Andaikan yang 50 tadi menggunakan narkoba dengan 5 teman maka sudah ada tambahan 250 lagi yang berisiko tertular HIV. Begitu seterusnya sehingga epidemi HIV di kalangan pengguna narkoba bagikan deret ukur.

Di Indonesia surveilans hanya dilakukan secara sporadis dan hanya ditujukan pada kalangan tertentu, khususnya pekerja seks dan waria. Surveilans yang sistematis diperlukan untuk mendapatkan angka yang realistis. Jadi, angka-angka yang disebut sebagai kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL Depkes itu jauh dari realitas.

Maka, biar pun angka kasus HIV/AIDS di Sumatera Selatan rendah, tapi hal itu bukan jaminan bahwa di Sumatera Selatan hanya ada 10 kasus HIV/AIDS.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal dapat dilakukan dengan menganjurkan tes HIV sukarela kepada laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan PSK, baik yang dilakukan di Prabumulih, di luar Prabumulih atau di luar negeri.

Begitu pula kepada pengguna narkoba suntikan dianjurkan tes HIV sukarela jika mereka menggunakan narkoba dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar