Senin, 24 Mei 2010

Pelanggan Pekerja Seks Komersial Menjadi Mata Rantai Penyebaran HIV

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 24/11-2003. Dengan 472 kasus HIV/AIDS (282 HIV-positif dan 190 AIDS) Jawa Timur berada pada peringkat tiga secara nasional. Angka ini sendiri tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya. Perlakuan buruk terhadap Odha (orang yang hidup dengan AIDS) menyulitkan penanggulangan epidemi HIV/AIDS.

Maka, melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Selama ini di Surabaya sering dilakukan razia untuk menangkap pekerja seks. Yang tertangkap diambil darahnya untuk tes HIV tanpa melalui standar prosedur tes HIV yang baku (konseling sebelum dan sesudah tes, pernyataan kesediaan, asas anonimitas dan konfidensialitas). Hal ini dilakukan seakan-akan sebagai cara untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS karena pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif akan ‘diawasi’.

Perlakuan itu membuat Odha mengalami stigmatisasi dan diskriminasi sehingga ada kemungkinan orang-orang yang terinfeksi HIV ‘menyembunyikan’ diri di masyarakat. Padahal, penanganan pasca tes HIV sangat penting untuk mendorong orang tersebut agar tidak berperilaku berisiko.

Perilaku Berisiko

Mengawasi pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif tidak ada manfaatnya karena yang lebih ‘berbahaya’ justru laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang tidak aman dengan pekerja seks karena mereka berisiko tinggi tertular HIV. Jika ada laki-laki yang tertular HIV maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Dia akan menulari istrinya (horizontal). Jika istrinya tertular maka ada pula risiko penularan dari-ibu-ke-bayi (vertikal), terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Surabaya umumnya terdeteksi di kalangan pekerja seks.

Jadi, ada risiko tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan pekerja seks. Celakanya, banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada keluhan yang khas. Tidak ada pula gejala-gejala klinis yang khas HIV/AIDS. Gejala baru mulai muncul jika sudah mencapai masa AIDS (5-10 tahun). Tapi, perlu diingat bahwa biar pun belum mencapai masa AIDS seseorang yang HIV-positif sudah dapat menularkan HIV melalui cara-cara yang sangat spesifik.

Sebagai virus HIV hanya dapat menular melalui (1) hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) transfusi darah, (3) jarum suntik, dan (4) dari ibu yang HIV-positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Karena tidak ada gejala-gejala klinis yang terkait dengan HIV/AIDS maka yang diperlukan adalah kesadaran setiap orang untuk menimbang-nimbang: Apakah dirinya berperilaku berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Jika jawabannya “ya” maka orang tersebut berisiko tertular HIV. Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian

Materi KIE

Setiap orang dapat melindungi dirinya sendiri dengan aktif agar tidak tertular HIV yaitu dengan menghindari perilaku berisiko. Tapi, hal itu tidak mudah karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat. Materi KIE (komunikasi, informasi, edukasi) selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui zina, seks di luar nikah, ‘seks bebas’ (istilah ini rancu) seks menyimpang, pelacuran, dll.

Padahal, tidak ada hubungan langsung antara penularan HIV dengan zina, seks di luar nikah, seks menyimpang atau pelacuran. HIV menular melalui hubungan seksual yang tidak aman jika salah satu dari pasangan itu HIV-positif di dalam dan di luar nikah.Informasi yang menyesatkan itulah kemudian yang membuat masyarakat tidak waspada. Banyak yang merasa tidak akan tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seks di luar lokalisasi. Ada pula yang merasa aman karena kencan dengan ‘anak sekolah’.

Kalau hubungan seksual yang tidak aman dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti, baik ‘anak sekolah’, ‘orang baik-baik’, dll, tetap berisiko tertular HIV. Soalnya, bisa saja di antara teman kencan ada yang HIV-positif.

Di saat epidemi HIV sudah menjadi ancaman yang nyata terhadap kesehatan masyarakat maka langkah yang perlu ditempuh adalah menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Salah satu informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Selain itu ada pula anjuran agar orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi mau menjalani tes HIV sukarela sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Dengan mengetahui status HIV lebih dini sebelum mencapai masa AIDS maka orang tersebut dapat diajak kompromi agar tidak menulari orang lain. Selain itu yang bersangkutan pun mendapat perawatan medis, misalnya, pemberian obat antiretroviral (obat yang dapat menahan laju perkembangan HIV di dalam darah) sehingga kondisi kesehatan sampai ke masa AIDS tetap baik.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar