Jumat, 14 Mei 2010

Memutus Mata Rantai Penyebaran HIV di Sulawesi Selatan

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 24/111-2003. Data kasus kumulatif HIV/AIDS di Sulawesi Selatan sampai 30 September 2003 tercatat 33 yang terdiri atas 32 HIV+ dan 1 AIDS. Angka ini memang kecil tapi bisa menjadi bumerang karena kasus HIV terdeteksi di kalangan pekerja seks. Laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks menjadi jembatan pada mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat.

Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hokum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Angka yang dipublikasikan Depkes itu tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebernanya karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya merupakan bagian kecil (puncak dari gunung es) dari kasus yang sebenarnya ada di masayakat. Hal ini terjadi karena tidak ada survailans tes HIV yang sistematis.

Survailans sebagai salah satu cara untuk mendapat angka prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif di kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu pula) dijalankan secara sporadis oleh pemerintah dan hanya terbatas pada kalangan pekerja seks. Bandingan dengan Malaysia yang menjalankan survailans dengan rutin dan sistematis terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil. Itulah sebabnya kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia jauh lebih besar daripada kasus HIV/AIDS di Indonesia. Sampai 30/9-2003 Depkes mencatat 3.924 kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mendekati angka 40.000.

Yang perlu diingat angka di Malaysia mendekati kasus ril dan lebih banyak hasil diagnosis (hasil tes sudah dikonfirmasi dengan tes lain) sedangkan di Indonesia kasus hanya merupakan puncak dari fenomena gunung es. Bahkan, sebagian besar hanya hasil survailans yang belum tentu positif. Sebagian lagi dari kasus HIV adalah nelayan asing yang sudah kembali ke negaranya.

Kegiatan Berisiko

Namun, biar pun kasus HIV/AIDS sedikit dan terdeteksi di kalangan pekerja seks maka hal itu sudah menjadi masalah besar karena banyak laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang tidak aman dengan pekerja seks. Kegiatan ini berisiko tertular HIV. Tingkat risiko seseorang tertular HIV tergantung pada kegiatannya. Kegiatan-kegiatan yang berisiko tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Beberapa penelitan menunjukkan setiap malam rata-rata seorang pekerja seks melayani dua sampai tiga laki-laki. Jadi, satu bulan ada 40-60 laki-laki yang berisiko tertular HIV. Andaikan sepuluh persen saja yang tertular HIV atau 4-6 orang maka hal itu sudah menjadi jembatan pada mata rentai penyebaran HIV di masyarakat. Jika yang tertular itu sudah beristri maka mereka akan menulari istrinya (penularan horizontal). Kalau istrinya tertular maka akan terjadi pula penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi terutama ketika persalinan dan menyusui dnegan ASI.

Celakanya, banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada gejala-gejala klinis yang khas HIV/AIDS. Gejala yang terkait dengan HIV/AIDS baru mulai muncul ketika seseorang yang tertular HIV mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun). Tapi, perlu dingat bahwa biar pun belum ada gejala AIDS seseorang yang sudah tertular HIV sudah pula bisa menularkannya kepada orang lain melalui (1) hubungan seksual yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) transfusi darah, (3) jarum suntik, dan (4) dari ibu yang ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Tes HIV Sukarela

Jadi, tidak ada manfaat membeberkan identitas Orang dengan HIV/AIDS (Odha) karena sebelum menjalani tes HIV mereka sudah menerima konseling (bimbingan) tentang HIV/AIDS serta anjuran agar mereka tidak mencelakai orang lain. Membeberkan identitas Odha merupakan perbuatan yang melawan hokum dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena dalam UU Kesehatan dan Permenkes disebutkan data dalam rekam medis (medical record) merupakan hak pasien. Pembeberannya hanya bisa dilakukan atas izin ybs. atau atas perintah hakim.

Yang perlu diperhatikan adalah orang-orang yang pernah melakukan kegiatan berisiko. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masayarakat. Karena epidemi HIV sudah ada di pelupuk mata maka sudah saatnya digencarkan himbauan agar orang-orang yang pernah melakukan kegiatan berisiko agar menjalani tes HIV sukarela.

Kegiatan yang dapat mengajak orang-orang yang berperilaku risiko tinggi mau menjalani tes HIV dapat dilakukan melalui KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang akurat dan jujur. Soalnya, selama ini materi KIE selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui zina, hubungan seksual di luar nikah, pelacuran. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan zina, seks di luar nikah dan pelacuran.

Dengan mengetahui status HIV seseorang dapat melakukan langkah-langkah yang berarti dalam hidupnya. Misalnya, memutuskan untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain dengan cara menghindari kegiatan berisiko. Selain itu ybs. pun dapat ditangani secara medis karena sekarang sudah ada obat antiretroviral (untuk menekan laju pertumbuhan HIV di dalam darah) yang terjangkau.

Kesediaan Odha untuk tidak mencelakai orang lain merupakan salah satu cara untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar