Oleh Syaiful W. Harahap
Jakarta, 14/1-2003. Laporan Ditjen PPM&PL Depkes tanggal 6/10-2002 tercatat kasus HIV/AIDS di Jawa Barat 197. Harian ”Pikiran Rakyat” menyebutkan 395. Kasus nasional tercatat 3. 374 sedangkan global 40 juta. Pemulangan pekerja seks asal Jawa Barat dari Riau bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV di Jawa Barat.
Angka kasus HIV/AIDS yang kecil di satu daerah atau negara tidak banyak berarti karena HIV merupakan epidemi global. Penularan HIV tidak bisa dibentengi dengan batas administratif kota, kecamatan, keresidenan, kabupaten, provinsi bahkan negara atau benua. Biar pun di satu daerah tidak ada laporan kasus HIV/AIDS hal itu tidak menjamin penduduk di daerah itu semuanya HIV-negatif.
Hal itu terjadi karena beberapa faktor.
Pertama, seseorang yang terinfeksi HIV tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Kedua, orang-orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas.
Ketiga, yang terinfeksi HIV tetap hidup seperti biasa tanpa gangguan kesehatan sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun).
Keempat, banyak yang tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada keluhan kesehatan.
Kelima, bisa saja satu daerah tidak melaporkan kasus HIV/AIDS, al. karena ditutup-tutupi, dokter dan rumah sakit enggan melaporkan atas permintaan pasien, tidak pernah dilakukan survailans tes HIV, dll.
Keenam, penduduk menjalani tes HIV di daerah lain, terutama di Jakarta karena fasilitas tes HIV dengan konseling tersedia dan kerahasiaan terjamin. Beberapa daerah sering membeberkan identitas penduduk yang HIV-positif sehingga mereka dikucilkan masyarakat.
Biar pun orang-orang yang tertular HIV tidak menunjukkan gejala-gejala AIDS tetapi mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi yaitu (1) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi (penis dimasukkan ke dalam vagina) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan yang sah, serta hubungan seks anal dan seks oral pada homoseks (laki-laki dengan laki-laki) yang tidak aman; (2) mendonorkan darah; dan (3) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.
Mitos
Sebelum mencapai masa AIDS justru seseorang yang HIV-positif lebih potensial menularkan HIV. Potensi terbesar pada masa window period (masa jendala) yaitu rentang waktu sejak tertular sampai enam bulan. Pada rentang waktu ini tes HIV dengan rapid test dan ELISA tidak bisa mendeteksi apakah seseorang sudah tertular HIV. Transfusi darah berisiko tinggi sebagai media penularan HIV karena kalau donor menyumbangkan darahnya pada masa jendela maka hasil skrining bisa menunjukkan negatif palsu. Kalau sudah mencapai masa AIDS maka mulai ada gangguan kesehatan yaitu infeksi-infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll. sehingga aktivitas (seks) pun menurun.
Banyak yang tidak menyadari dirinya berisiko tinggi tertular atau menularkan HIV karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang. Yang muncul adalah mitos (anggapan yang salah), misalnya, HIV menular melalui zina, pelacuran, homoseks, jajan, selingkuh, dll.
Padahal, sama sekali tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan zina, pelacuran, dll. Sebagai fakta medis HIV hanya menular melalui: (1) hubungan seks penetrasi yang tidak terlindungi (tidak memakai kondom) baik heteroseks, biseks, seks oral dan seks anal di dalam dan di luar nikah serta homoseks dengan seseorang yang HIV-positif; (2) menerima transfusi darah yang tercemar HIV; (3) melalui jarum suntik, semprit, jarum tindik, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV; dan (4) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada anak yang dikandungnya terutama pada saat persalinan dan melalui air susu ibu (ASI). Di negara yang tidak ada lokalisasi pelacuran pun, seperti Arab Saudi, tetap ada kasus HIV/AIDS. Sampai Agustus 2002 tercatat 1.285 kasus HIV/AIDS di Arab Saudi (Republika, 11/8-2002).
Akan lebih arif kalau daerah melakukan survailans tes HIV rutin untuk mendapat prevalensi (angka perbandingan antara yang HIV-positif dengan yang HIV-negatif pada kalangan tertentu pada kurun waktu tertentu). Angka inilah yang memberikan gambaran kondisi HIV di suatu daerah. Provinsi Bengkulu, misalnya, baru tahun ini melaporkan kasus HIV/AIDS. Padahal, tahun-tahun sebelumnya ada penduduk Bengkulu yang HIV-positif ditangani oleh sebuah LSM di Jakarta.
Dalam berita “Jumlah Pengidap HIV/AIDS Makin Meningkat” (Pikiran Rakyat, 5/11-2002) disebutkan “ …. kaum muda merupakan kontributor utama pengidap HIV/AIDS ….”. Ini tidak akurat karena kasus HIV pada remaja banyak terdeteksi pada pengguna narkoba suntikan (injecting drug use/IDU) yaitu menyuntikkan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) ke dalam tubuh melalui urat nadi. Mereka diwajibkan menjalani tes sebelum masuk ke pusat rehabilitasi sehingga banyak kasus terdeteksi di kalangan remaja. Peningkatan 340% terjadi karena pengguna narkoba diwajibkan menjalani tes HIV.
Mata Rantai
Infeksi HIV di kalangan dewasa, pria dan wanita, yang tertular melalui hubungan seks tidak bisa dideteksi secara cepat karena gejalanya baru diketahui 5-10 tahun kemudian. Tidak bisa dipastikan apakah seorang pengguna narkoba tertular melalui jarum suntik. Bisa saja tertular melalui hubungan seks karena pengguna narkoba pun biasanya sering sanggama dengan pasangan yang berganti-ganti.
Infeksi HIV di kalangan pria dan wanita dewasa bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal dan vertikal. Seorang pria yang tertular HIV tanpa disadarinya akan menularknn HIV kepada istrinya bagi yang sudah beristri atau kepada pacar dan pasangannya bagi yang belum beristri. Kalau istrinya tertular maka akan terjadi penularan kepada bayi yang dikandungnya (mother-to-child-transmission/MTCT).
Epidemi (penularan suatu penyakit yang cepat) HIV di Jawa Barat dan di daerah lain di Pulau Jawa juga dipicu oleh pekerja seks yang dipulangkan dari Riau karena mereka terdeteksi HIV-positif. Biar pun status HIV mereka belum dikonfirmasi dengan tes Western blot tetapi karena mereka melakukan kegiatan berisiko maka kemungkinan (probabilitas) tertular HIV besar. Risiko tertular melalui hubungan seks antara 0,03-5,6 persen per kontak tetapi karena sanggama sering dilakukan maka risiko pun otomatis meningkat.
Ketika menjalani tes mereka tidak dikonseling sehingga mereka tidak mengetahui faktor-faktor yang dapat mendorong penularan HIV dan mengubah perilaku agar tidak menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV melalui pekerja seks yang dipulangkan dari Riau ada baiknya kalau pemerintah provinsi menjalin kerja sama dengan Riau untuk memberikan bimbingan bagi pekerja seks yang dipulangkan.
Satu hal yang perlu dijaga adalah kerahasiaan identitas pekerja seks agar mereka tidak mendapat perlakuan buruk, seperti stigmatisasi dan diskriminasi. Tidak ada gunanya membeberkan identitas orang-orang yang HIV-positif karena di tengah-tengah masyarakat puluhan, ratusan bahkan puluhan ribu orang yang HIV-positif tanpa mereka sadari.
* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar