Jumat, 14 Mei 2010

Masyarakat Kota Santri Jombang Tersentak karena AIDS

Tanggapan terhadap Berita di Harian “Surya”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 8/11-2001. Informasi yang akurat dan objektif tentang HIV/AIDS sebagai fakta medis sudah banjir, tetapi tetap saja ada yang membicarakan HIV/AIDS di luar konteks medis. Akibatnya, yang berkembang justru mitos (anggapan yang salah) dan stigma (cap negatif). Padahal, untuk membendung epidemi HIV diperlukan kepedulian setiap orang dengan melindungi diri sendiri secara aktif. Hal ini hanya dapat dicapai jika materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) disampaikan secara jujur, objektif, fair dan akurat.

“MASYARAKAT Jombang benar-benar tersentak, tatkala ada lima orang warganya postif terjangkit HIV. Indikasi itu terungkap setelah ada gerakan donor darah. Menyentak, lantaran Jombang dikenal sebagai kota santri. Memprihatinkan pula tentunya, betapa masih ada saja orang yang mencoba-coba mendekati marahabaya.” Inilah lead berita “Kaget ada AIDS, Pemda Jombang bersihkan PSK” di Harian “Surya” edisi 7/11-2001.

Pernyataan ini tidak akurat karena epidemi HIV tidak mengenal batas daerah, negara, agama, status sosial, dll. Sebagai virus, HIV (human immunodeficiency virus) yang menyebabkan kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) yaitu sindrom cacat kekebalan tubuh dapatan hanya menular melalui cara-cara yang sangat khas (spesifik), yaitu (1) melalui hubungan seks (sanggama), baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) melalui transfusi darah yang tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (4) dari seorang wanita yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui.

Bertolak dari fakta medis di atas maka tidak ada kaitan langsung antara kota santri dengan epidemi HIV karena bisa saja penduduk Jombang tertular di luar daerah atau di luar negeri. Kemungkinan tertular HIV dapat terjadi jika seseorang melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian di negara-negara yang secara de facto dan de jure tidak ada (lokalisasi) pelacuran pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS.

Dalam laporan WHO/UNAIDS (Report on global HIV/AIDS epidemic, Juni, 1998), misalnya, sampai akhir tahun 1997 saja Arab Saudi sudah melaporkan 334 kasus AIDS, Bahrain 37, Brunei 10, Irak 104, Iran 154, Kuwait 24, Mesir 153, Qatar 85, dan Uni Emirat Arab 8. Hal ini bisa saja terjadi karena penduduk negara yang bersangkutan bisa saja melakukan kegiatan-kegiatan berisiko tinggi tertular HIV di luar negaranya. Jika mereka tertular HIV maka mereka pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di negaranya. HIV ditularkan kepada istri atau pasangan seksnya secara horizontal. Si istri pun akan menularkan HIV secara vertikal kapada anak yang dikandungnya.

Jadi, hanya karena ada lima penduduk Jombang yang terdeteksi HIV-positif melalui transfusi darah lalu “Pemerintah Kabupaten (Pemkab) bertekad membersihkan kota Jombang dari praktek prostitusi yang berdampak menyebarnya penyakit mematikan tersebut.” Tindakan ini jelas sia-sia dan gegabah karena penyebaran epidemi HIV tidak hanya terjadi melalui prostitusi. Lagi pula hasil HIV-positif melalui uji saring darah di PMI tidak bisa dijadikan patokan karena tes yang dilakukan hanya untuk menyaring darah agar darah yang akan ditransfusikan bebas HIV. Hasil dengan rapid tes atau ELISA harus dikonfirmasi lagi dengan tes lain. Dalam kaitan ini PMI Jombang pun sudah melanggar asas unlinked anonymous yang menjadi standar prosedur operasi skrining darah yang baku di PMI. Dalam prakteknya PMI hanya melakukan uji saring HIV terhadap darah bukan terhadap donor. Jadi, apa pun hasilnya hanya untuk keperluan administrasi PMI.

“ …. penyebaran pamflet dan pemasangan puluhan spanduk tentang bahaya penularan HIV melalui seks bebas.” Pernyataan ini juga ngawur karena tidak ada makna dan arti seks bebas. Kalaulah seks bebas merupakan terjemahan dari free sex maka hal ini pun tidak akurat karena dalam kosa kata bahasa Inggris istilah free sex tidak dikenal. Jadi, jangan heran kalau dalam banyak kamus bahasa Inggris tidak ada free sex. Istilah yang ada hanya free love (The Random House Dictionary, TIME, 1980) yang disebutkan sebagai kebiasaan yang mengizinkan hubungan seks tanpa ikatan nikah yang sah. Jadi, jika seks bebas diartikan sebagai hubungan seks di luar nikah, maka seharusnya hubungan seks pada PIL (pria idaman lain), WIL (wanita idaman lain), kumpul kebo, gundik, selir, jajan, serong, perselingkuhan dan hubungan seks lain di luar nikah, juga harus dikategorikan sebagai seks bebas.

Namun, lepas dari bebas atau tidak bebas penularan HIV melalui hubungan seks bukan karena sifat hubungan seksnya tetapi kondisi hubungan seks tersebut. Artinya, kalau pasangan yang melakukan hubungan seks tersebut HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV walaupun hubungan seks dilakukan di luar nikah, zina, dengan pekerja seks, dll. Sebaliknya, kalau salah satu dari pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif maka ada risiko penularan jika hubungan seks dilakukan tanpa memakai kondom walaupun di dalam ikatan pernikahan yang sah. Buktinya, dari 3.914 sampel wanita yang diteliti di berbagai pusat pelayanan kesehatan di 13 propinsi di Indonesia ditemukan 27 ibu rumah tangga yang positif HIV. Penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI), Jakarta, terhadap 537 wanita hamil melalui tes sukarela dengan konseling di rumah sakit, klinik bersalin, klinik keluarga dan puskesmas di Jakarta (2000) menunjukkan 6 di antaranya positif HIV. Ini menunjukkan suami mereka melakukan kegiatan berisiko tinggi.

Tidak ada satu pasal pun dalam perundangan-undangan nasional dan internasional yang membenarkan PSK langsung menjalani tes karena ada standar prosedur operasi tes HIV yang baku secara internasional dan sudah disepakati semua anggota WHO (Badan Kesehatan Sedunia), termasuk Indonesia. Selain itu kalau ada PSK yang terdeteksi HIV-positif pun tidak ada pula dasar hukumnya untuk mengkarantina mereka. Jika hal ini dilakukan maka cara-cara itu merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Jadi, operasi terhadap PSK dengan alasan untuk mencegah penyebaran HIV tidak akan banyak bermanfaat kalau penduduk Jombang sendiri melakukan kegiatan berisiko, baik di luar daerahnya atau dengan orang luar daerah yang datang ke Jombang.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar