Selasa, 04 Mei 2010

PMI Makassar Perlu Menerapkan ‘Alat Deteksi Dini’ pada Calon Donor Darah

Tanggapan terhadap Berita “Tempo Interaktif”

PMI Makassar Perlu Menerapkan ‘Alat Deteksi Dini’ pada Calon Donor Darah

Oleh Syaiful W. Harahap*

Dua berita di “Tempo Interaktif” 31 Maret 2010, yaitu (1) 36 Kantong Darah Makassar Terinfeksi HIV/AIDS, dan (2) Masyarakat Diminta Tak Khawatir Kantong Darah Terinfeksi HIV mengandung informasi yang tidak akurat. Ini menunjukkan pemahaman HIV/AIDS yang belum komprehensif di banyak kalangan.

Sampai sekarang skrining HIV terhadap darah donor di PMI bersifat unlinked anonymous. Yang ‘dites’ (baca: diskrining) di PMI adalah darah donor bukan donor darah. Dalam berita disebutkan “Muchtar mengaku pihaknya masih mengantongi nama-nama pendonor yang positif HIV/AIDS itu.” Fakta ini menunjukkan yang dilakukan PMI adalah melakukan skrining terjadap donor darah.

PMI Makassar melaporkan ada 36 dari 3.000 kantong darah (1,2 persen) yang terdeteksi HIV melalui skrining pada tahun 2009. Fakta ini menunjukkan kasus HIV/AIDS sudah ada di kalangan donor. Mereka itu adalah bagian dari masyarakat Makassar sehingga kasus HIV/AIDS pun sudah ada di masyarakat Makassar.

Pendonor yang darahnya terdeteksi HIV-positif dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pedagang, sopir, penjahat, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat.

Semua terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV, termasuk pendonor di PMI Makassar yang darahnya terdeteksi HIV-positif, tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5 -15 tahun setelah tertular HIV).

Disebutkan pula Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Makassar, Supomo Guntur, meminta PMI lebih selektif mendistribusikan kantong darahnya ke rumah sakit. Ia khawatir darah yang diberikan kepada pasien malah terinfeksi HIV/AIDS. Ada persoalan yang sangat mendasar dalam skrining HIV di PMI yaitu jika donor menyumbangkan darah pada masa jendela yaitu kurun waktu sejak tertular HIV sampai tiga bulan.

Pada masa jendela tubuh belum memproduksi antibodi terhadap HIV sehingga tidak bisa dideteksi dengan rapid test atau ELISA. Akibatnya, skrining HIV di PMI terhadap darah donor bisa menghasilkan positif palsu (tidak ada HIV di dalam darah) tau negatif palsu (HIV ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi).

Yang bisa membawa celaka adalah darah donor yang diskrining HIV menunjukkan negatif karena bisa saja hasil itu negatif palsu. Maka, 36 kantong darah yang terdeteksi HIV-positif pada skrining di PMI Makassar itu bisa saja ada yang positif palsu, sedangkan sisanya bisa saja negatif palsu.

Ketua KPA Makassar mengatakan: "Itu sangat berbahaya bagi masyarakat. Saya minta pengawasannya bisa diperketat. Sebaiknya ada alat pendeteksi secara dini," Kalau saja PMI objektif maka ada ’alat pendeteksi dini’ yaitu melalui pertanyaan pada formulir. Sayang, yang ditanya kepada calon donor adalah ”Kapan terakhir ke luar negeri?” Ini mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitan antara penularan HIV dengan bepergian ke luar negeri. Lagi pula banyak orang ke luar negeri untuk menunaikan ibadah.

Pertanyaan yang bisa menjadi ’alat pendeteksi dini’ adalah: ”Kapan terakhir Anda melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperi pekerja seks (PSK)?” Nah, kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka darahnya tidak perlu diskrining karena hasilnya kelak bisa positif atau negatif palsu.

Ada pula pernyataan Ketua PMI Makassar, Syamsu Rizal, agar masyarakat tidak panik dengan adanya temuan kantong darah yang terinfeksi HIV karena: "Kami memiliki laboratorium khusus untuk memeriksa darah sebelum dibawa ke rumah sakit. Ketepatan pemeriksaan laboratorium 99,9 persen.” Tapi, risiko tetap ada yaitu melalui pemeriksaan laboratorium yang lolos sebesar 0,01 persen. Biar pun kecil tetap saja berisiko.

Dalam berita disebutkan cara yang dilakukan untuk ’menjamin’ darah bebas HIV adalah: ” .... pihaknya telah melakukan proses pendonoran darah secara ketat. Warga yang ingin mendonorkan darah harus menjalani pemeriksaan teknis berupa tekanan darah, berat badan dan usia. Setelah dinyatakan tidak ada masalah warga memasuki proses pendonoran darah. Darah yang sudah berada dalam kantong kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa, supaya bebas dari penyakit kelamin, hepatitis, dan HIV/AIDS.”

Sayang dalam berita tidak disebutkan reagent yang dipakai untuk mendeteksi HIV terhadap darah donor. Soalnya, kalau yang dipakai rapid test atau ELISA maka tetap saja ada kemungkinan darah donor yang diskrining menunjukkan negatif palsu. Padahal, dalam darah itu sudah ada HIV. Jika ini yang terjadi tentulan penerima darah melalui transfusi berada pada risiko tertular HIV.

Disebutkan pula: “ .... PMI Makassar tidak lepas tangan terhadap pendonor yang terinfeksi HIV/AIDS. Sebab alamat lengkap yang sudah tercatat sebelum mendonor diberikan kepada Komisi Penanggulangan HIV/AIDS untuk ditangani.” Sesuai dengan asas unlinked anonymous yang diberlakukan pemerintah terhadap skrining darah PMI, maka sikap PMI Makassar ini perlu dipertanyakan karena sudah melanggar asas.

Pertama, apakah PMI Makassar menjelaskan kepada para calon donor bahwa darah mereka akan dites untuk mengetahui HIV? Kalau jawabannya TIDAK, maka PMI Makassar sudah melanggar asas anonimitas. Kalau jawabannya YA, maka sebelum donor menyumbangkan daranya harus ada konseling.

Kedua, kalau calon donor setuju dilakukan tes terhadap darahnya dan hasilnya akan diberitahukan maka calon donor harus menerima konseling (bimbingan) sebelum dan sesudah skrining. Apakah hal ini dilakukan PMI Makassar? Kalau tidak maka PMI Makassar sudah melanggar asas informed consent.

Ketiga, karena disebutkan alamat lengkap pendonor ada di PMI Makassar maka patut dipertanyakan: Apakah diterapkan asas kerahasiaan terhadap identitas mereka? Jika tidak maka PMI Makassar pun sudah melanggar asas kerahasiaan.

Jika PMI Makassar tetap melakukan tes HIV terhadap donor tanpa melalui standar prosedur operasi yang baku dalam tes HIV maka dikhawatirkan orang akan takut mendonorkan darah. Soalnya, masyarakat khwatir identitas mereka akan dibeberkan oleh PMI Makassar.

Sejak awal epidemi HIV di Tanah Air banyak kalangan yang menampik kemungkinan HIV/AIDS ’berkembang’ di Indonesia karena dikatakan masyarakat kita adalah orang-orang yang beragama, berbudaya, dll. Inilah yang menjadi bumerang terhadap penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia karena sejak awal masyarakat sudah dininabobokkan dengan mitos-mitos seputar HIV/AIDS.

Fakta yang ditemukan PMI Makassar ini merupakan ’lampu merah’ bagi masyarakat Makassar karena sudah ada penduduk yang tertular HIV tapi belum terdeteksi. Orang-orang ini akan menjadi mata rantai penyebaran HIV yang kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS.

Sayang, tanggapan terhadap epidemi HIV di banyak daerah di Indonesia dilakukan dengan cara-cara yang tidak realistis. Antara lain membuat peraturan darah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS. Sudah ada 33 Perda AIDS mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota di Tanah Air. Hasilnya? Nol besar karena cara-cara pencegahan yang diatur dalam perda-perda itu tidak menyentuh akar persoalan. Yang dikedepankan adalah norma, moral, dan agama sehingga tidak bisa menanggulangi HIV/AIDS yang merupakan fakta medis.

Tanpa langkah konkret maka epidemi HIV tidak menunggu waktu menjadi ledakan AIDS di Indonesia. Untuk itulah diharapkan Pemkot Makassar meningkatkan penyuluhan melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dnegan materi HIV/AIDS yang akurat.

Misalnya, PMI Makassar menganjurkan agar donor yang merasa pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV mau menjelani tes HIV karena sudah ada darah yang mereka donorkan terdeteksi mengandung HIV.

Jika PMI Makassar ingin agar masyarakat tidak khawatir menerima transfusi darah maka PMI Makassar harus bisa mengajukan pertanyaan sebagai ’alat deteksi dini’ dan menganjurkan donor agar menjalani tes HIV sukarela. ***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati berita HIV/AIDS di media massa nasional melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar