Rabu, 18 Agustus 2010

Tidak Ada Benteng untuk Membendung Penyebaran HIV

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 18/08-2010. “Aceh ‘benteng’ HIV/AIDS Indonesia bisa jebol.” Ini judul berita di Harian “WASPADA”, Medan (25/06-2010).

Dalam berita disebutkan: “Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, mengatakan provinsi Aceh yang diharapkan bisa menjadi "benteng" penahan penularan HIV/AIDS di Indonesia, namun kini bisa "jebol" menyusul ditemukan sebanyak 47 kasus penyakit tersebut.” Tidak dijelaskan apa yang dimaksud sebagai ‘benteng’ terhadap HIV/AIDS. Kalau ‘benteng’ yang dimaksud adalah penerapan syariat Islam di Prov. Aceh maka hal itu tidak akurat karena penularan HIV tidak kasat mata.

Arab Saudi yang menjadikan Alquran sebagai UUD juga ’jebol’ (meminjam istilah Wagub Aceh-pen.). Data terahir menunjukkan kasus AIDS yang dilaporkan mencapai 13,926. Dari jumlah ini terdapat 3,538 penduduk asli Arab Saudi.

Secara de jure tidak ada lokalisasi pelacuran dan industri hiburan malam di Arab Saudi. Tapi, mengapa ada penduduknya yang tertular HIV? Ya, mereka tertular di luar Arab Saudi. Ketika mereka kembali ke negaranya mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Ada lagi pernyataan: “Wagub memperkirakan masih ada ratusan warga tertular penyakit yang dapat menurunkan kekebalan tubuh itu dan pada akhirnya bisa mengakibatkan kematian bagi penderitanya. HIV/AIDS tertular akibat seks bebas dan penggunaan jarum suntik narkoba.” Lagi-lagi penularan HIV dikaitkan dengan ‘seks bebas’.

Kalau ‘seks bebas’ dimaksudkan sebagai zina, maka ini mitos (anggapan yang salah). Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau dua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama.

Sedangkan penularan HIV pada penyalahguna bisa terjadi jika narkoba dipakai dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Jika ada di antara mereka yang HIV-positif maka yang lain berisiko tertular HIV. Tidak ada risiko penularan HIV kalau penyalahguna narkoba memakai sendiri atau bersama-sama tapi dengan jarum suntik dan tabung yang steril atau baru.

Di bagian lain disebutkan: “Saya perkirakan masih ada ratusan warga daerah ini yang tertular, namun tidak berani melaporkan kepada petugas kesehatan atau merasa malu jika diketahui mengidap penyakit tersebut." Persoalan besar pada epidemi HIV adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.

Begitu pula dengan orang-orang yang sudah tertular mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada keluhan penyakit yang khas AIDS sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Mereka bukan ‘tidak berani melapor’, tapi mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Mereka inilah yang kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Disebutkan pula: "Kami telah melakukan tindakan pencegahan melalui pemberian pemahaman tentang bahaya penyakit tersebut. Kegiatan sosialiasasi bahaya penyakit ini sering diberikan kepada masyarakat dan pelajar di Provinsi Aceh," Pertanyaannya adalah: Apakah materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang disosialisasikan akurat?

Kalau jawabannya YA, maka masyarakat akan memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV secara benar. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka masyarakat hanya menangkap mitos terkait dengan penularan dan pencegahan HIV. Akibatnya, penyebaran HIV terus terjadi tanpa disadari.

Yang bisa dilihat kelak hanyalah ledakan kasus AIDS karena infeksi HIV pada penduduk yang tidak terdeteksi menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar