Rabu, 18 Agustus 2010

Menyoal ‘Pembelian’ Darah di PMI

Oleh Syaiful W. Harahap*

“PMI Kekurangan 1,5 Juta Kantong Darah.” Ini informasi di newsticker TVOne (18/8-2010). Ini merupakan ironi karena secara teoritis persediaan darah di unit-unit transfusi darah (UTD) PMI tidak akan habis kalau filosofi transfusi diberlakukan secara konsekuen.

Darah diganti dengan darah. Itulah landasan transfusi. Artinya, kalau ada yang mengambil darah ke PMI maka dia harus menggantinya dengan darah. Bisa darah anggota keluarga atau kerabat. Misalnya, seseorang mengambil tiga kantong darah maka dia harus membawa tiga donor untuk mengganti darah yang diambil.

Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Darah diganti dengan uang. Ini tentu saja jual darah. Tapi, PMI berkelit: ” .... pengenaan biaya selama ini hanya untuk mengganti ongkos produksi pengolahan darah.” Ini pernyataan Ketua PMI Cabang Makassar, Syamsu Rizal (FAJAR, 3/8-2010).

Yang mengambil darah di PMI membayar biaya produksi, tapi tidak menganti darah yang dia ’beli’. Di Makassar, misalnya, ongkos produksi Rp 250.000/kantong darah. Jika bertolak dari pernyataan tadi maka uang ini habis untuk biaya produksi, seperti pembelian kantong, uji saring, dll.

Jika PMI menerapkan filosofi transfusi maka tidak ada kemungkinan persediaan darah habis atau menipis di PMI. Ya, karena darah diganti uang maka persediaan darah pun bisa habis. Apalagi di bulan puasa donor berkurang.

Memang, terkadang yang datang ke PMI untuk ’membeli’ darah dipaksa membawa donor. Tapi, apakah ini diberlakuka secara adil terhadap semua yang mengambil darah ke PMI?

Kalau jawabannya YA, maka pernyataan JK tidak masuk akal. Maka, pernyataan JK yang disiarkan TVOne itu menunjukkan keharusan darah diganti darah tidak berlaku umum di PMI.

Sudah rahasia umum rumah-rumah sakit swasta hanya menyuruh kurir mengambil darah ke PMI dengan membawa ongkos produksi.

Himbauan untuk menjadi donor sukarela terus berkumandang, tapi pengambilan darah dengan imbalan ’ongkos produksi’ terus berlangsung.

Menurut Ketua PMI Makassar ’biaya produksi’ yang harus dibayar masyarakat bisa berkurang jika ada bantuan dan dana sosial yang dikumpulkan melalui ’bulan dana’. Biar pun ada bantuan dana dan dana sosial jika darah diganti darah diterapkan maka persediaan darah di UTD PMI akan terjaga.

Dana yang ada dipakai untuk meningkatkan mutu uji saring darah terutama terhadap HIV karena skrining HIV yang dilakukan PMI sangat lemah. Reagent ELISA tidak efektif mendeteksi antibody HIV jika donor menyumbangkan darahnya pada masa jendela. Kalau ada donor yang tertular HIV di bawah tiga bulan ketika dia mendonorkan darahnya maka hasil tes HIV dengan ELISA bisa negatif palsu atau positif palsu.

Kalau darah hasil skrining di PMI positif maka tidak ada persoalan karena darah itu tidak dipakai. Tapi, kalau hasilnya negatif palsu maka ini yang membuat celaka. Hasil tes negatif tapi HIV sudah ada di dalam darah.

Kalau saja PMI mau menerapkan tes awal kepada calon donor maka masa jendala bisa dihindari. Dalam formulir isian harus ada pertanyaan: Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berhganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan? Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka donor ditolak karena hasil skrining bisa negatif atau positif palsu.

Sayang, yang ditanya PMI ke calon donor adalah: Kapan Anda terakhir ke luar negeri? Kalau pertanyaan ini masih ada di formulir isian calon donor maka PMI sudah menyuburkan mitos (anggapan yang salah) yang mengesankan semua penyakit, khususnya HIV/AIDS, berasal dari luar negeri.

Pemerintah Malaysia terpaksa membayar dengan RM 100 juta kepada seorang perempuan guru mengaji yang tertular HIV dari transfusi di rumah sakit kerajaan. Untuk menghindari kejadian serupa Malaysia menerapkan standar ISO untuk laboratorium transfusi. Apakah PMI sudah mempunyak standar baku sekelas ISO?

Ternyata untuk urusan kemanusiaan pun kita tidak bisa konsekuen dan konsisten. Kewajiban darah diganti darah tidak berlaku umum. Ini salah satu bentuk diskriminasi.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar