Selasa, 01 Juni 2010

HIV Ditularkan Laki-laki kepada PSK

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Radar Mojokerto”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 8/5-2008. Berita “Empat PSK Positif HIV, Biasa Mangkal di Klubuk dan Tunggorono” di Harian “Radar Mojokerto” edisi 8/5-2008 menggelitik untuk ditanggapi karena dalam berita itu tidak tergambar realitas sosial terkait dengan penyebaran HIV yaitu laki-laki sebagai mata rantai penyebaran HIV.

Empat PSK yang terdeteksi HIV-positif itu merupakan hasil survailans tes HIV sehingga belum bisa dinyatakan positif sebelum ada hasil tes konfirmasi. Hasil tes HIV empat PSK itu bisa positif palsu (dalam contoh darah sebenarnya tidak ada HIV). Sebaliknya, PSK yang terdeteksi HIV-negatif bisa saja hasil tes itu negatif palsu (dalam contoh darah sudah ada HIV tapi tidak terdeteksi karena ada kemungkinan ketika darah diambil pada masa jendela yaitu tertular HIV di bawah tiga bulan).

Standar prosedur tes HIV yang baku menyaratkan sebelum dan sesudah tes HIV harus ada konseling (bimbingan). Konseling prates yaitu penjelasan tentang HIV/AIDS agar yang akan menjalani tes HIV memahami HIV/AIDS. Yang akan menjalani tes pun harus memberikan persetujuan (informed concent). Sedangkan post test yaitu upaya untuk membimbing yang terdeteksi positif dan negatif terkait dengan masa depan mereka.

Materi KIE

Jika tes survailans yang dilakukan oleh Dinkes Jombang terhadap PSK itu tidak didahului dengan konseling prates dan tidak pula ada persetujuan dari PSK maka hal itu sudah melanggar asas tes HIV serta merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM. Pada tes HIV ada lagi asas anonimitas yaitu pada contoh darah tidak ada tanda atau kode yang bisa menunjukkan pemilik darah. Tapi, dalam berita itu disebutkan “ …. pihaknya akan tetap aktif menggali mendampingi penderita.” Ini menunjukkan pemilik darah diketahui. Jika ini yang terjadi maka hal itu merupakan pelanggaran terhadap asas tes HIV.

Selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama maka yang muncul hanya mitos (angapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, jajan, selingkuh, seks pranikah, ‘seks menyimpang’, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu ata kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks tanpa kondom dilakukan dengan zina, melacur, jajan, selingkuh, seks pranikah, ‘seks menyimpang’, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual.

Terkait dengan fakta ada empat PSK yang terdeteksi HIV-positif maka ada dua kemungkinan.

Pertama, PSK itu tertular HIV dari laki-laki bisa penduduk lokal maupun pendatang. Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, duda, lajang, pacar gelap, selingkuhan, atau remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, wartawan, pelajar, mahasiswa, petani, nelayan, sopir, perampok, dll. Mereka inilah yang merupakan mata rantai penyebaran HIV. Mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular HIV).

Kedua, PSK itu sudah tertular HIV ketika ’buka praktek’ di Jombang. Laki-laki yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK tadi berisiko tertular HIV. Laki-laki inilah yang kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Perilaku Berisiko

Selama ini selalu saja ada penyangkalan terhadap kasus HIV/AIDS dan pelacuran. Dalam berita disebutkan ” .... keduanya bukan warga Jombang, melainkan pendatang dari Malang dan Jawa Tengah.” Dalam dunia pelacuran PSK dari daerah X akan ’praktek’ di daerah Y. Dalam kaitan ini yang menjadi pelanggan PSK yang terdeteksi HIV-positif tentulah lebih banyak laki-laki tempatan (lokal). Laki-laki lokal inilah kemudian yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Pemahaman terhadap epidemi HIV/AIDS di banyak kalangan tetap saja dangkal. Dalam berita disebutkan ” .... diperlukan penggalian pencarian sejak dini, dengan mendatangi tempat dan komunitas yang berpotensi menyebarkan virus.” Tidak ada tempat dan komunitas yang menyebarkan virus karena HIV tidak menular melalui air, udara dan pergaulan sosial sehari-hari. Biar pun hiburan malam dan lokalisasi pelacuran dibasmi hal itu tidak bisa menghentikan penyebaran HIV karena tanpa disadari HIV berada dalam darah orang per orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Di negara-negara yang secara de jure dan de facto tidak ada (lokalisasi) pelacuran, seperti di Arab Saudi, tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Data terakhir menunjukkan sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS di negara itu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ya, karena bisa saja penduduk Arab Saudi tertular HIV di luar negaranya karena melakukan perilaku berisiko.

Perilaku berisiko adalah (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan karena ada kemungkinan salah satu pasangan mereka HIV-positif, (c) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (d) memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan ala-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran.

Penanggulagan HIV dimulai dengan menganjurkan agar orang-orang yang perilakunya berisiko mau menjalani tes HIV. Semakin banyak orang yang terdeteksi HIV-positif maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar