Selasa, 01 Juni 2010

Memutus Mata Rantai Penyebaran HIV di Kalimantan Barat

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Equator”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 30/10-2003. “Penanggulangan HIV/AIDS Jangan Sekadar Diskusi”. Itulah judul berita di Harian “EQUATOR”, Pontianak, Kalbar, edisi 29/10-2003. Dalam berita ini disebutkan upaya untuk mencegah penularan HIV tidak bisa hanya sebatas diskusi tapi diperlukan action. Disebutkan bahwa salah satu tindakan ril yang dilakukan untuk mengatasi HIV/AIDS adalah melalui penyuluhan.

Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Memang, penyuluhan sangat penting karena pengetahuan yang akurat tentang HIV/AIDS dapat menjadi benteng bagi seseorang dalam melindungi diri agar tidak terular HIV. Penularan HIV dapat dicegah oleh setiap orang dengan cara-cara yang sangat realistis. Tapi, karena bahan penyuluhan tidak akurat maka penduduk pun tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV dengan benar.

Sebagai fakta medis (dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran) HIV hanya dapat menular melalui cara-cara yang sangat spesifik yaitu (1) melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) antara seseorang yang HIV-positif dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) melalui transfusi darah yang tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik yang tecemar HIV, dan (4) dari ibu yang HIV-positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Bahan penyuluhan dalam KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang beredar selama ini banyak yang tidak akurat. Informasi HIV/AIDS dibalut dengan mora dan agama sehingga yang muncul hanyalah mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, dll. Padahal, sama sekali tidak ada kaitan langsung antara zina dan pelacuran dengan penularan HIV.

Survailans HIV

Ada pula informasi yang menyesatkan yang mengatakan cara mencegah HIV adalah ‘jangan melakukan hubungan seks sebelum menikah’. Ini ngawur karena biar pun belum menikah kalau kedua-duanya HIV-negatif tidak akan pernah terjadi penularan HIV melalui hubungan seksual. Sebaliknya, biar pun dalam ikatan suami istri tapi kalau salah satu HIV-positif maka ada risiko penularan HIV di atara mereka jika hubungan seksual dilakukan tanpa memakai kondom.

Dalam berita itu sendiri sudah ada mitos yaitu pernyataan yang menyebutkan bahwa penularan HIV terjadi karena “….kebanyakan mereka yang selalu melakukan seks bebas atau seks di luar nikah ….” Pernyataan ini tidak benar karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan seks bebas dan seks di luar nikah. Istilah ‘seks bebas’ pun tidak benar karena merupakan terjemahan dari ‘free sex’ yang sama sekali tidak dikenal di Barat.

Indikasi kasus HIV/AIDS rupanya dilihat dari hasil survailans yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Pontianak. Sayang, tidak dijelaskan kalangan mana yang menjalani survailans. Soalnya, survailans tes HIV hanya untuk kepentingan epidemiologi yaitu untuk mengetahui perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan para kurun waktu yang tertentu pula. Jadi, biar pun ada hasil survailans pada tahun 2003 yang menunjukkan angka 17 ada kemungkinan hanya terdeteksi di kalangan tertentu, seperti pekerja seks.

Namun, hasil survailans itu dapat menjadi gambaran epidemi HIV di Kalbar umumnya dan di Pontianak khususnya. Deteksi kasus HIV-positif di kalangan pekerja seks menjadi penting karena terkait dengan laki-laki pelanggan mereka. Laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks tentu pernah melakukan hubungan seksual yang tidak aman sehingga mereka berisiko tertular HIV. Jika seorang pekerja seks melayani tamu rata-rata dua setiap malam maka setiap bulan ada 40 laki-laki yang berisiko tertular HIV.

Kalau di antara laki-laki yang menjadi pelanggar pekerja seks ada penduduk lokal maka ybs. akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Menulari istrinya bagi yang sudah beristri. Jika istrinya tertular maka istrinya pun akan menularkan HIV secara vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Gejala Klinis

Survailans yang dilakukan di Indonesia hanya bersifat sporadis sehingga tidak dapat memunculkan angka kasus HIV-positif yang mendekati kenyataan. Di beberapa negara, seperti Malaysia, survailans dijalankan dengan rutin dan sistematis terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil. Itulah sebabnya kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia jauh lebih besar daripada kasus HIV/AIDS di Indonesia. Sampai 30/9-2003 Depkes mencatat 3.924 kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mendekati angka 40.000. Tapi, perlu diingat angka di Malaysia mendekati kasus ril sedangkan di Indonesia hanya merupakan puncak dari fenomena gunung es.

Perhatian kita hanya tertuju kepada orang-orang yang terdeteksi HIV-positif, terutama pekerja seks. Padahal, yang menjadi persoalan besar adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Biar pun belum ada gejala-gejala klinis terkait dengan HIV/AIDS tapi ybs. sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain. Gejala klinis baru terlihat pada kurun waktu 5-10 tahun setelah tertular yaitu pada masa AIDS.

Seorang laki-laki yang tidak menyadari dirinya HIV-positif selama kurun waktu 5-10 tahun tentu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal dapat dilakukan dengan menganjurkan agar laki-laki yang pernah melakukan kegiatan berisiko tinggi tertular HIV menjalani tes HIV sukarela. Dengan mengetahui status HIV secara dini seseorang dapat dicegah agar tidak menularkannya kepada orang lain. Selain itu ybs. pun dapat pula ditangani secara medis.***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar