Selasa, 01 Juni 2010

Menyikapi Pemulangan Pekerja Seks yang Terdeteksi HIV-positif ke Daerah Asalnya

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 16/1-2002. Provonsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah pemulangan pekerja seks yang HIV-positif dari Provonsi Riau. Pekerja seks itu bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV, baik di daerahnya maupun di Indonesia. Masyarakat perlu menghindarkan diri dari kegiatan berisiko agar tidak tertular HIV.

Sejak kasus HIV/AIDS pertama terdeteksi di Indonesia (1987) sampai akhir September 2001 sudah 2.313 kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan Ditjen PPM&PL Depkes. Di Jawa Barat sendiri kasus HIV/AIDS terus bertambah. Jika bertolak dari angka kasus kumulatif yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL Depkes masih termasuk Propinsi Banten, jumlah kasus di Jabar sampai 30 September 2001 tercatat 98 yang terdiri atas 60 HIV dan 38 AIDS (16 kasus AIDS sudah meninggal). Tetapi dalam pidato pertanggung jawaban Gubernur Jabar R. Nuriana akhir Maret 2001 di Bandung disebutkan jumlah kasus HIV/AIDS di Jabar sudah mencapai 168 yang terdiri atas 137 HIV dan 31 AIDS (Pikiran Rakyat, 14/7-2001).

Sebagai virus, penyebaran HIV memang sangat khas karena hanya menular melalui yaitu (1) melalui hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif di dalam dan di luar nikah, (2) melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (4) dari seorang wanita yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui.

Persoalannya adalah orang-orang yang terinfeksi HIV tidak dapat dilihat dengan mata telanjang karena tidak adalah gejala-gejala yang sangat khas. Biar pun ada gejala-gejala klinis yang terkait AIDS seperti demam, diare, dll. tetapi gejala itu juga terjadi pada penyakit lain. Selain itu seorang yang terinfeksi HIV belum menunjukkan gejala-gejala sebelum mencapai masa AIDS yang memakan waktu antara 5-12 tahun. Padahal, penularan HIV dari seseorang yang HIV-positif kepada orang lain justru sangat efektif pada kurun waktu sebelum mencapai masa AIDS.

Dalam menghadapi epidemi HIV ini beberapa daerah di Indonesia menerapkan kebijakan yang tidak realistis serta melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM) yaitu memulangkan pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif ke daerah asalnya. Propinsi Riau, misalnya, sudah memulangkan beberapa pekerja seks wanita asal Jawa Barat. Tahun 1993, misalnya, tiga pekerja seks asal Karawang dipulangkan Pemda Riau ke Kabubaten Karawang. Pemulangan pekerja seks dari Riau terus berlangsung seiring dengan kegiatan surveilans tes HIV terhadap pekerja seks di daerah itu.

Selain pemulangan yang dilakukan Pemda Riau tentu saja tidak sedikit pekerja seks yang pulang kampung karena berbagai alasan. Biar pun mereka tidak terdeteksi HIV-positif di Riau tetapi itu tidak menjadi jaminan mereka HIV-negatif karena hasil surveilans tes itu bisa negatif palsu. Selain itu banyak di antaranya yang tidak menjalani tes surveilans di Riau.

Wisatawan Singapura yang berkunjung ke Riau pun kabarnya mencari wanita asal Jabar. Headline sebuah koran Ibu Kota misalnya, menyebutkan “ABG SUNDA INCARAN APEK SINGAPURA” (Harian “Pos Kota”, 20/10-2001). Fakta ini bagaikan pisau. Di satu sisi ini menggambarkan gadis Jabar memang menjadi idaman banyak orang, tetapi di sisi lain hal ini justru bisa membawa malapetaka bagi masyarakat Jawa Barat karena bisa saja terjadi gadis-gadis yang menjadi pekerja seks itu tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.) atau HIV.

Di Batam ada poliklinik yang mengeluarkan surat keterangan kegadisan. Seorang lelaki gaek Singapura menunjukkan surat itu kepada penulis di lobby sebuah hotel di Batam. “Kalau Abang mau biar saya kontrak,” kata lelaki itu menawarkan jasa. Barapa harganya? “Ya, Rp 5 juta selama seminggu.” Artinya, bulan madu menikmati “keperawanan” selama seminggu dengan biaya Rp 5 juta. Lelaki itu masih ingin meyakinkan saya, “Kalau tidak perawan uang kembali!”

Dalam surat keterangan itu, sebenarnya hanya sudah keterangan berbadan sehat, memang disebutkan kondisi kesehatan yang bersangkutan. Tetapi, di bagian bawah ditulis pula keterangan tambangan “100% gadis”. Sulit memastikan apakah tulisan ini dari poliklinik atau ditambahkan oleh germo. Agaknya, inilah alasan germo terhadap gadis belia, khususnya yang berumur di bawah 17 tahun. Dengan menyebutkan umur 15, 16 atau 17 tahun maka logika pun jalan. Secara umum pada usia itu tentu saja gadis masih perawan. Berbeda halnya kalau gadis yang ditawarkan sudah berusia dua puluhan tahun tentu saja tidak bisa lagi dikaitkan dengan keperawanan.

Selama bekerja sebagai pekerja seks di Riau mereka berada pada posisi yang sangat rentan tertular HIV dan IMS karena mereka melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti. Risiko pekerja seks kian besar tertular HIV dan IMS kalau mereka tidak menerapkan seks aman (melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti dengan meminta agar pasangannya memakai kondom). Sebuah survei terhadap pekerja seks di dua diskotek di Batam tahun lalu menunjukkan 50% dari mereka memakai narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) sehingga mereka dalam keadaan high ketika melayani tamu. Kondisi ini mendorong mereka melakukan hubungan seks (sanggama). Celakanya, karena dalam keadaan ‘melayang’ mereka pun tidak menerapkan seks aman (meminta tamunya untuk memakai kondom) sehingga risiko tertular IMS dan HIV sangat besar. Sampai Maret 2001 sudah terdeteksi 73 kasus HIV/AIDS di Batam dan sebagian besar pada pekerja seks wanita.

Sebuah berita di Harian The Nation, Bangkok ((16/4-2001) menyebutkan terjadi lonjakan tes HIV sukarela di Singupura. Yang menjalani tes HIV rupanya pernah melakukan hubungan seks dengan pekerja seks di Batam dan tempat-tempat wisata lain di Provinsi Riau. Ini menunjukkan kekhawatiran penduduk Singapura terhadap kemungkitan tertular HIV di Riau karena mereka pernah melakukan hubungan seks dengan pekerja seks di Riau.

Berkaitan dengan hal ini amatlah wajar kelau penduduk Jawa Barat pun perlu mawas diri jika pernah melakukan kegiatan-kegiatan yang yang berisiko yaitu (1) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Soalnya, tidak ada yang dapat memastikan apakah seseorang bebas HIV hanya dengan melihat kondisi fisiknya. Apalagi pekerja seks tadi pernah bekerja di Riau tentulah yang bersangkutan kemungkinan tertular HIV dan IMS ketika bekerja di Riau. Begitu pula dengan pekerja migran pria yang pernah bekerja di Riau dan pernah melakukan kegiata berisiko maka yang bersangkutan pun sudah berada pada posisi berisiko tinggi tertular HIV dan IMS.

Biar pun uang mudah diraup, tetapi kalau tertular HIV maka uang pulahan juta tidak ada artinya. Biaya pengobatan yang hanya berguna untuk menekan laju HIV Rp 5 juta/bulan. Setelah mencapai masa AIDS, sekitar 7-12 tahun setelah tertular, maka pengeluaran untuk biaya pengobatan pun akan membengkak. Hasil yang diperoleh selama menjadi budak seks tidak akan cukup untuk membiayai pengobatan.

Dalam kaitan inilah penduduk Jawa Barat perlu menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV. Inilah cara yang realistis untuk enghindarkan diri dari HIV dan IMS. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar