Selasa, 01 Juni 2010

Tidak Ada Kaitan Langsung Antara Jalur Transportasi dengan Penularan HIV

Tanggapan terhadap Berita Harian ”Sinar Harapan”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 25 Mei 2010. Berita berjudul ”Hanya Dua Kabupaten di Sumsel Bebas HIV/AIDS” di Harian ”Sinar Harapan edisi 16 April 2010 menggelitik untuk ditanggapi karena tidak akurat. Ini menggambarkan pemahaman terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis sangat rendah.

Misalnya, dalam berita disebutkan: ”Dari 14 kabupaten/kota di Sumatera Selatan (Sumsel), hanya dua yang di¬nyatakan bersih dari penderita HIV/AIDS.” Pernyataan ini menyesatkan karena tidak ada daerah di muka bumi ini yang ’bersih dari HIV/AIDS’. Ada bebarapa hal yang terkait dengan pernyataan yang menyesatkan ini.

Pertama, bagaimana cara yang dilakukan oleh Pemprov. Sumsel untuk menyatakan bahwa dua daerah tersebut yaitu Kab. Empat Lawang dan OKU Selatan ’bersih dari penderita HIV/AIDS’? Untuk mengetahui apakah seseorang sudah tertular HIV atau belum adalah melalui tes HIV dengan konfirmasi. Artinya, hasil tes pertama diuji lagi dengan tes lain yaitu contoh darah dites lagi. Jika tes pertama dilakukan dengan rapid test atau ELISA, maka konfirmasi dilakukan dengan tes Western blot. Kalau tes pertama dilakukan dengan ELISA maka tes konfirmasi dilakukan dua kali tes lagi dengan ELISA tapi dengan reagent dan teknik yang berbeda. Apakah hal ini sudah dilakukan Pemprov. Sumsel terhadap semua penduduk di kedua kecamatan itu? Kalau belum maka pernyataan itu tidak benar.

Kedua, biar pun semua penduduk kedua kecamatan itu sudah dites dan hasilnya HIV-negatif, ini pun tidak jaminan karena setelah tes bisa saja ada yang tertular HIV karena tes HIV bukan vaksin. Artinya, setelah tes HIV ada penduduk yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Ketiga, hasil tes HIV bisa akurat jika yang dites sudah tertular HIV lebih dari tiga bulan. Rentang waktu antara tertular HIV sampai tiga bulan disebut masa jendela. Pada kurun waktu ini hasil tes bisa positif palsu atau negatif palsu karena tubuh belum memproduksi antibodi HIV sehingga tidak bisa dideteksi oleh rapid test atau ELISA. Kalau ada di antara penduduk kedua kecamatan itu yang menjalani tes HIV pada masa jendela maka bisa saja hasilnya positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi ahsil tes reaktif) atau negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi).

Bertolak dari tiga hal di atas maka pernyataan Aidit Aziz, Asisten III Bidang Kesejahteraan Rakyat Provinsi Sumsel, tidak akurat dan menyesatkan. Ini menunjukkan pejabat pun tidak memahami epidemi HIV. Dengan kondisi ini tentulah upaya penanggulangan pun tidak akan realistis.

Secara nasional Prov. Sumsel ada di peringkat ke-15 dari 33 provinsi se-Indonesia dalam jumlah kasus AIDS. Tapi, tunggu dulu. Peringkat ini tidak menggambarkan kondisi kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat.

Soalnya, jumlah kasus yang rendah bisa terjadi karena tidak ada cara-cara pendeteksian kasus HIV dan AIDS yang sistematis. Tingkat penyuluhan pun rendah sehingga penduduk yang sudah tertular tidak tergerak hatinya untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Selain itu ada kemungkinan fasilitas berupa sarana kesehatan yang menyediakan tes HIV dengan konseling tidak merata di semua dareah di Sumsel.

Apakah Klinik VCT (tempat tes HIV dengan konseling) sudah merata di Sumsel? Kalau belum maka sangat wajar angka kasus yang terdeteksi sangat rendah. Tapi, jangan membusungkan dada dulu dengan angka yang kecil karena kasus-kasus HIV dan di masyarakat yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di Sumsel.
Dalam berita diisebutkan: ” .... secara kumulatif mulai 1995-2009 di Sumsel tercatat 491 pengidap HIV dengan 13 orang meninggal, sementara dalam kasus AIDS sebanyak 248 penderita dan 44 orang meninggal.” Ini rancu. AIDS adalah masa ketika infeksi HIV sudah mencapai waktu antara 5 – 15 tahun setelah tertular. Maka, penderita AIDS sudah pasti penderita HIV. Sebaliknya, penderita HIV belum masuk ke masa AIDS. Yang meninggal adalah penderita AIDS.

Ada pula pernyataan: ” .... sosialisasi di jalur transportasi yang disinyalir berpotensi besar menyebarkan HIV/AIDS.” Dilanjutkan dengan pernyataan: “Tingginya penderita HIV/AIDS di Sumsel disebabkan jalur transportasi Sumsel yang lengkap. Kondisi tersebut memungkinkan semua penderita masuk dari berbagai jalur. Apabila penderita berhubungan badan dengan seseorang, orang tersebut akan tertular,” ujar Aidit.

Pernyataan di atas lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif. Tidak ada kaitan langsung antara jalur transportasi dengan penularan HIV. Penularan HIV bisa terjadi kalau ada penduduk Sumsel yang melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Mobilitas dan perilaku seks penduduk Sumsel yang menentukan tingkat penularan HIV. Penduduk Sumsel yang tertular HIV di Sumsel, luar Sumsel atau di luar negeri akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk melalui hubungan seks (di dalam dan di luar nikah), transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan jarum suntik yang dipakai bersama-sama dengan bergiliran. ***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati berita HIV/AIDS di media massa nasional melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar