Selasa, 01 Juni 2010

Memutus Mata Rantai Penularan HIV antar Penduduk di Tangerang

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Radar Baten”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita tentang kasus HIV/AIDS di Tangerang dalam “Survei Diintensifkan, Penyuluhan Pun Digiatkan” di harian “Radar Banten” edisi 10 Mei 2006 menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS.

Hal ini terjadi karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama. Akibatnya, masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, mengait-ngaitkan zina, pelacuran, seks di luar nikah, seks pranikah, jajan, selingkuh, waria dan gay. Padahal, sebagai fakta medis tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks di luar nikah, seks pranikah, jajan, selingkuh, waria dan gay.

Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, (bisa) terjadi jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, seks di luar nikah, seks pranikah, jajan, selingkuh, waria dan gay.

Mendeteksi Kasus

Penularan HIV secara horizontal antar penduduk pun terus terjadi secara diam-diam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 10 tahun). Tapi, yang bersangkutan sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) cangkok organ tubuh, (d) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan ala-alat kesehatan, (e) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada anak yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu/ASI (HIV bukan penyakit turunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah).

Dalam berita itu disebutkan “ …. salah satu upaya pencegahan ini adalah menjauhi perilaku seks bebas serta penggunaan narkoba”. Pernytaan ini tidak akurat karena kalau yang dimaksud sebagai ‘seks bebas’ adalah zina atau melacur maka tidak ada kaitan langsung antara zina atau melacur dengan penularan HIV. Biar pun ‘seks bebas’ kalau dua-duanya HIV-negatif tidak akan pernah terjadi penularan HIV.

Penggunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) diperlukan di dunia medis, seperti obat anestesi (bius), pada bedah (operasi). Tanpa narkoba setiap hari puluhan bahkan ratusan orang akan mati di meja operasi. Lalu, apa kaitan narkoba dengan HIV/AIDS? Penularan HIV bisa terjadi di antara penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik kalau jarum suntik dan semprit dipakai secara bersama-sama dengan bergiliran karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif.

Biar pun kasus HIV terbanyak di kalangan naarapidana (napi) tapi mereka itu bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat melalui (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan. Penyebaran ini juga terjadi secara diam-diam.

Kasus HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarya di masyarakat. Maka, peningkatan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi terjadi karena ada tes wajib terhadap pengguna narkoba jika hendak masuk pusat rehabilitasi, survailans terhadap pekerja seks komersial (PSK) dan napi.

Ada kesan jika kasus HIV/AIDS kian banyak ditemukan merupakan gambaran negatif. Pendapat atau pandangan ini salah karena dengan menemukan kasus HIV/AIDS maka mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk dapat diputus. Orang-orang yang terdeteksi HIV-poistif diajak untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain. Maka, makin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan.

Bom Waktu

Teks foto pada berita itu juga menunjukkan ada pemahaman yang tidak akurat. Disebutkan “PSK sangat rentan terinfeksi virus HIV”. Penularan HIV terhadap PSK dilakukan oleh laki-laki yang menjadi pasangan seks PSK. Laki-laki ini adalah penduduk yang bisa jadi mempunyai istri, simpanan, selingkuhan, dll. Nah, kalau ada PSK yang tertular HIV maka laki-laki yang berkencan dengan PSK tadi pun berisiko pula tertular HIV. Kalau ada laki-laki yang tertular maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Bisa ke istrinya, pacarnya atau PSK lain.

Razia yang dilakukan terhadap PSK ‘jalanan’ di malam hari pun menunjukkan pemahanan terhadap epidemi HV yang tidak akurat. Praktek ‘pelacuran’ dalam berbagai bentuk juga terjadi di siang hari, di rumah, di apartemen, di hotel, di ladang, dll. Bahkan, banyak ‘pelacur’ yang tidak bisa dikenali dengan pakaian, dandanan dan gayanya.

Lagi pula risiko penularan HIV tidak hanya terjadi pada hubungan seks dengan PSK, tapi dalam berbagai bentuk hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang tidak aman yaitu laki-laki tidak memakai kondom dan dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti. Soalnya, bisa jadi salah satu dari pasangan itu HIV-positif sehingga ada risiko penularan HIV.

Selama materi KIE tentang HIV/AIDS tetap dibumbui dnegan moral dan agama maka pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS tetap hanya sebatas mitos. Kalau ini yang terjadi maka penularan HIV antar penduduk akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan epidemi HIV.

Apakah kita harus menunggu ledakan dulu baru kita bertindak menanggulangi epidemi HIV dengan akal sehat? Kalau ini yang dipilih maka kita sudah terlambat. Pada saat itu yang harus dilakukan adalah menangani penduduk yang sudah menunjukkan (penyakit) AIDS. Ini memerlukan biaya yang besar. Di sisi lain terjadi penurunan sumber daya manusia. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar