Selasa, 01 Juni 2010

Menggalang Kepedulian Masyarakat Mencegah HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap

Jakarta, 25/11-2003. Sampai 30 September 2003 kasus kumulatif HIV/AIDS di Jakarta tercatat 1.199 yang terdiri atas 861 HIV+ dan 338 AIDS. Kasus nasional tercatat 3.924, sedangkan kasus global sampai akhir 2001 tercatat 41 juta. Epidemi HIV di Indonesia dipicu oleh penularan melalui jarum suntik pada pengguna narkoba.

Jumlah kasus yang banyak di Jakarta antara lain karena banyak penduduk dari daerah yang datang ke Jakarta untuk menjalani tes HIV. Soalnya, tes HIV dengan konseling (bimbingan) dan asas anonimitas (tidak memakai nama) serta konfidensial (kerahasiaan dijamin) belum ada di setiap ibukota provinsi. Di Jakarta ada pula beberapa LSM yang memberikan dukungan kepada Odha (orang yang hidup dengan HIV/AIDS).

Di daerah sering terjadi pelanggaran terhadap standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Secara internasional disepakati untuk tes HIV untuk diagnosis dan survailans (prevalensi dan darah donor) harus didahului dengan konseling. Setelah ada pernyataan kesediaan (informed consent) baru tes bisa dilakukan. Setelah tes ada lagi konseling.

Epidemi HIV sudah masuk ke populasi yang ditandai dengan dengan kasus HIV-positif di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak. Mereka ini bukan orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Risiko tertular HIV tergantung kepada kegiatan yang dilakukan seseorang. Kegiatan yang berisiko tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian

Mitos

Karena HIV/AIDS merupakan fakta medis maka pencegahannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang rasional dan realistis yaitu menghindari kegiatan yang berisiko. Tapi, hal itu tidak mudah karena selama ini di masyarakat sudah berkembang mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Hal ini terjadi karena pakar, dokter bahkan menteri kesehatan membicarakan HIV/AIDS dari aspek moral dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS tenggelam.

Misalnya, ada mitos yang menyebutkan HIV/AIDS menular melalui zina, pelacur dan gay. Fakta menunjukkan HIV menular melalui hubungan seksual yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam atau di luar nikah jika salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau kedua pasangan HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV walaupun hubungan seksual dilakukan di luar nikah, zina, homoseks, seks oral atau seks anal.

Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap HIV/AIDS sudah saatnya dikembangkan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang komprehensif yaitu materi KIE yang objektif, akurat, jujur dan jernih. Selama ini materi KIE banyak yang tidak objektif sehingga menyesatkan dan menyuburkan mitos. Ada KIE yang menyebutkan cara mencegah penularan HIV adalah ‘jangan melalukan hubungan seks sebelum menikah’. Ini ‘kan ngawur. Penularan HIV terjadi bukan karena hubungan seks sebelum menikah tapi karena salah satu dari pasangan itu HIV-positif.

Belakangan ini dilancarkan pula razia terhadap pekerja seks dan sekaligus darah mereka diambil untuk tes HIV. Cara ini melanggar standar prosedur operasi tes HIV yang baku dan juga melanggar HAM karena tes hanya dapat dilakukan dengan izin yang bersangkutan.

Tidak Ada Gejala

Ada salah kaprah dalam tes HIV terhadap pekerja seks. Jika ada pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif maka hal itu dianggap sebagai upaya untuk mengatasi epidemi HIV. Ini salah besar karena yang menjadi persoalan adalah laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Bagi yang sudah beristri dia akan menulari istrinya. Bagi yang belum beristri ada kemungkinan dia menulari pasangan seksnya. Kalau istrinya tertular maka akan terjadi penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi terutama pada persalinan dan menyusui dengan ASI.

Salah satu cara meredam penyebaran HIV adalah dengan menganjurkan agar laki-laki yang pernah melakukan kegiatan berisiko dengan pekerja seks mau menjalani tes HIV sukarela. Dengan mengetahui status HIV seseorang lebih dini maka yang bersangkutan diminta untuk tidak menulari orang lain.

Keadaan kian runyam karena orang-orang yang tertular HIV tidak akan merasakan sesuatu dan tidak pula ada gejala-gejala klinis yang khas sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun). Mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Tapi, pada masa ini mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui hubungan seksual yang tidak aman, donor darah, jarum suntik pada pengguna narkoba.

Maka, dengan KIE yang komprehensif masyarakat diajak membuka mata hati agar tidak mencelakai diri sendiri dan orang lain.***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar