Selasa, 01 Juni 2010

Mencermati Penyebaran HIV di Tanah Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 1/12-2005. Kasus HIV/AIDS di Papua terus naik bagaikan roket sejak terdeteksi pertama kali tahun 1992. Sampai 30 September 2005 kasus kumulatif HIV/AIDS di Tanah Papua mencapai 2.134 yang terdiri atas 1.202 HIV+ dan 932 AIDS dengan 289 kematian. Jika tidak ada upaya yang objektif dan realistis maka epidemi HIV/AIDS di Papua akan menjadi malapteka.

Kasus HIV/AIDS di Tanah Papua tidak bisa lagi dilihat dengan sebelah mata karena epidemi HIV/AIDS sudah menyebar ke masyarakat umum. Kalau selama ini kasus HIV/AIDS lebih banyak terdeteksi di kalangan pekerja seks komersial (PSK), tapi sekarang kasus terbanyak justru di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Fakta menunjukkan 15% dari 2.134 kasus HIV/AIDS di Tanah Pupa terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Ada 35 anak-anak yang HIV+. Ini kabar buruk bagi (masa depan) karena akan menentukan masa depan Tanah Papua.

Epidemi HIV/AIDS tidak bisa dilihat terpotong-potong karena tidak ada satu pun tempat di muka bumi ini yang bebas dari HIV/AIDS. Kasus AIDS, penurunan sistem kekebalan tubuh karena kerusakan sel-sel darah putih yang disebabkan oleh virus, pertama kali dipublikasikan di Amerika Serikat tahun 1981. Namun, kasus yang sama juga terdeteksi di beberapa tempat lain. Ini menunjukkan ada epidemi yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.

Tapi, saat itu kalangan medis belum menemukan penyebabnya. Yang diketahui adalah gejala AIDS itu disebabkan oleh virus. Beberapa tahun kemudia dua ahli, dari Perancis dan Amerika Serikat, berhasil menemukan virus yang menyebabkan (kondisi) AIDS. Baru pada tahun 1996 WHO (Badan Kesehatan Sednia-PBB) menyebutkan HIV (human immunodeficiency virus yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia) sebagai penyebab AIDS (acquired immune deficiency syndrome yaitu sindrom cacat kekebalan tubuh dapatan bukan turunan).

Setelah HIV berhasil diindetifikasi kasus-kasus HIV/AIDS pun mulai terdeteksi di berbagai negara. Pola penularan HIV adalah melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang HIV-positif, (b) transfusi darah yang mengandung HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan yang tercemar hIV, dan (d) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya ketika persalinan dan menyusui dengan air susu ibu/ASI (HIV/AIDS bukan penyakit turunan tapi penyakit menular).

Maka, biar pun kasus HIV/AIDS pertama kali terdeteksi di Papua tahun 1992 tapi bisa saja terjadi ada penduduk Papua yang sudah tertular HIV sebelumnya tapi tidak terdeteksi. Hal ini (bisa) terjadi karena ada penduduk Papua yang melakukan perilaku berisiko di Papua atau di luar Papua. Kalau ada di antara penduduk Papua yang tertular maka merekalah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Penularan HIV sering terjadi secara diam-diam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV. Biar pun tidak ada tanda, gejala dan ciri-ciri AIDS pada diri seseorang yang tertular HIV tapi dia sudah bisa menularkan HIV melalui empat cara di atas tadi.

Walaupun tidak ada tanda, gejala atua ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV tapi setiap orang dapat menimbang-nimbang apakah dirinya sudah tertular HIV atau belum yang dengan melihat perilakunya.

Seseorang berisiko tinggi tertular HIV jika dia pernah (1) melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) pada heterosesk (laki-laki dengan perempuan), seks oral dan seks anal di dalam dan di luar nikah serta homoseks yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif, (2) melakukan hubungan seks penetrasi, seks oral dan seks anal di dalam dan di luar nikah serta homoseks yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan (seperti PSK, pekerja seks waria) karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian karena ada kemungkinan salah satu dari yang pernah memakai alat-alat itu HIV-positif.

Maka, upaya yang perlu dilakukan di Tanah Papua adalah dengan meningkatkan penyuluhan. Tapi, perlu diingat materi penyuluhan harus akurat, objektif dan realistis. Materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) harus mengedepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis. Artinya, HIV/AIDS dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis.

Selama ini penyuluhan HIV/AIDS gagal karena materi KIE dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, selama ini penularan HIV/AIDS dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks pranikah, nelayan asing dan gay. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks pranikah, nelayan asing dan gay dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks tanpa kondom terjadi karena salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun zina, pelacuran, selingkuh, jajan, seks pranikah dan gay.

Fakta inilah yang sering luput sehingga masyarakat lalai melindungi diri. Akibatnya, kasus HIV/AIDS terus bertambah tanpa disadari. Buktinya, banyak ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV. Kemungkinan besar mereka tertular dari suaminya yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi di Papua atau di luar Papua.

Penyuluhan dititikberatkan pada upaya untuk mengajak penduduk (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Dengan mengetahui status HIV seseorang dapat diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya. Selain itu dia pun dapat ditangani secara medis. Misalnya, dengan pemberian obat antiretroviral (ARV) yang dapat menahan laju penggandaan HIV di dalam darah sehingga tetap bisa produktif seperti orang yang HIV-negatif.

Makin banyak penduduk yang terdeteksi HIV-positif maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputus. Hanya dengan cara-cara yang realistis inilah epidemi HIV/AIDS di Tanah Papua dapat ditanggulangi. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar