Selasa, 01 Juni 2010

Menyikapi Angka Kasus AIDS yang Rendah di Prov. Banten

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 8/11-2001, Selama ini kasus kumulatif HIV/AIDS di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten digabung. Namun, biar pun sudah menjadi provinsi sendiri tetapi belum ada pemisahan kasus HIV/AIDS antara Jawa Barat dengan Banten. Memang, dalam epidemi HIV tidak dikenal batas, baik batas wilayah, negara, agama, suku ras, ekonomi, dll. Jadi, walaupun sampai saat ini belum ada angka kasus HIV/AIDS di Banten tetapi hal itu tidak berarti daerah Banten bebas HIV/AIDS.

Secara nasional kasus kumulatif HIV/AIDS sampai 30 September 2001 tercatat 2.313 yang terdiri atas 1.678 HIV dan 635 AIDS serta 274 meninggal. Secara global kasus HIV/AIDS sampai akhir 1999 tercatat 34,3 juta.

Namun, angka kasus kumulatif HIV/AIDS yang NOL di Bengkulu ini bukan berarti daerah ini bebas AIDS karena tidak ada satu pun daerah di permukaan bumi ini yang bisa membentengi diri dari epidemi HIV. Epidemi HIV tidak mengenal batas daerah, negara, agama, ras, budaya, status sosial ekonimi sehingga angka kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional dan global merupakan patokan untuk melindungi diri secara aktif agar tidak tertular HIV.

Sebagai virus, HIV (human immunodeficiency virus) yang menyebabkan kondisi AIDS (acquired immune deficiency syndrom) yaitu sindrom cacat kekebalan tubuh dapatan hanya menular melalui cara-cara yang sangat khas (spesifik), yaitu (1) melalui hubungan seks (sanggama), baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) melalui transfusi darah yang tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (4) dari seorang wanita yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui.

HIV sendiri yang diindetifikasi tahun 1983 merupakan fakta medis, artinya bisa diuji di laboratorium, hanya bisa hidup di dalam darah, sperma dan cairan vagina. Virus ini pun akan mati pada suhu 60 derajat Celcius. Maka, HIV tidak menular melalui kegiatan sehari-hari seperti bersalaman, berpelukan, mandi bersama, makan bersama, tidur bersama, dll.

Seseorang yang tertular HIV tidak bisa dikenali atau diketahui dari (kondisi) fisiknya. Biar pun ada gejala-gejala yang terkait dengan HIV, seperti panas, berat badan turun, diare, dll. tidak berarti yang bersangkutan sudah tertular HIV. Soalnya, tidak ada gejala-gejala yang langsung terkait dengan HIV/AIDS. Gejala-gejala itu pun bisa terjadi pada penyakit lain.

Gunung Es

Namun, kalau yang bersangkutan pernah melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV maka gejala-gejala tersebut bisa terkait dengan HIV/AIDS. Kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Jadi, biar pun di Bengkulu belum ada kasus HIV/AIDS yang terdeteksi tetapi hal itu tidak menjamin penduduk Bengkulu bebas AIDS karena bisa saja terjadi penduduk Bengkulu melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV di luar daerah atau di luar negeri. Risiko tertular melalui hubungan seks kian besar kalau di daerah tempat melakukan kegiatan berisiko itu prevalensi (angka perbandingan antara yang HIV-positif dengan yang HIV-negatif pada kalangan tertentu pada waktu tertentu) tinggi. Maka, walaupun risiko penularan HIV melalui hubungan seks (heteroseks) hanya 0,03-5,6 persen setiap kontak, tetapi karena hubungan seks sering dilakukan dan dengan orang yang berganti-ganti pula maka risiko itu pun otomatis meningkat pula.

Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Artinya, angka yang terdeteksi merupakan sebagian kecil dari kasus yang tidak terdeteksi (lihat gambar). Tetapi, tidak berarti kalau ada satu penduduk yang HIV-positif di satu daerah otomatis ada 100 penduduk lain yang HIV-positif. Angka perbandingan itu hanya untuk keperluan epidemiologi, misalnya untuk merancang langkah-langkah pencegahan, penyediaan obat, fasilitas kesehatan, dll.

Berkaitan dengan kasus HIV/AIDS yang sampai saat ini belum terdeteksi di Bengkulu bisa saja terjadi karena surveilans tes HIV tidak berjalan dengan sistematis dan konsisten. Bisa pula terjadi karena dokter atau rumah sakit tidak melaporkan kasus HIV/AIDS yang mereka deteksi ke Dinas Kesehatan. Secara nasional pun diakui banyak kasus HIV/AIDS di rumah sakit, terutama rumah sakit swasta, yang tidak dilaporkan. Selain itu bisa saja terjadi penduduk Bengkulu melakukan tes HIV di luar daerah. Di Pokdisus AIDS RSCM/FKUI Jakarta, misalnya, banyak yang datang menjalani tes HIV dari daerah lain bahkan dari luar P. Jawa.

Jika ingin mendapatkan angka kasus HIV/AIDS yang mendekati realitas dapat dilakukan dengan menjalankan tes surveilans secara sistematis dan rutin. Kalau dibandingkan dengan Malaysia, misalnya, angka-angka kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia yang dikeluarkan Ditjen P2M&PL, Depkes, jelas tampak tidak realistis. Sampai 30 September 2001 Indonesia yang berpenduduk 200 juta lebih baru mencatat angka 2.313 (angka ini termasuk orang asing yang terdeteksi di Indonesia yaitu 277, tidak diketahui 68 dan tidak disebut 47, dan tes surveilans). Bandingkan dengan Malaysia yang berpenduduk 20 juta sampai penghujung tahun 1999 saja sudah dilaporkan 31.126 kasus HIV/AIDS ke Departemen Kesehatan yang terdiri atas 25.796 HIV, 3.003 AIDS dan 2.327 meninggal.

Angka yang mendekati realitas itu diperoleh karena surveilans di Malaysia berjalan secara sistematis dan rutin. Sedangkan di Indoneia surveilans hanya dilakukan secara sporadis dan ditujukan pula pada kalangan tertentu, khususnya pekerja seks. Malaysia sudah menjalankan surveilans tes HIV secara sistematis dan rutin terhadap pasien klinik IMS (infeksi menular seksual), pengguna narkoba suntikan (injecting drug user/IDUs), wanita hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB.

Bom Waktu

Surveilans terhadap pasien klinik PMS dan wanita hamil sangat realistis karena mereka jelas sudah melakukan hubungan seks yang tidak aman sehingga ada risiko tertular karena mereka jelas tidak memakai kondom. Dari 3.914 sampel wanita yang diteliti di berbagai pusat pelayanan kesehatan di 13 provinsi di Indonesia, misalnya, ditemukan 27 ibu rumah tangga yang positif HIV (Media Indonesia, 6/7-2000). Di Malaysia sejak tahun 1998 tes HIV rutin dilakukan terhadap wanita hamil yang dimulai dengan proyek percontohan di Kelantan, Johor, Perak dan Sabah antara September-Desember 1997. Sampai akhir Agustus 1999 dari 324.769 wanita yang dites terdeteksi 100 yang HIV-positif. Penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI) terhadap 537 wanita hamil melalui tes sukarela dengan konseling di rumah sakit, klinik bersalin, klinik keluarga dan puskesmas di Jakarta (2000) menunjukkan 6 di antaranya positif HIV (Media Indonesia, 2/12-2000). Ini menunjukkan suami mereka melakukan kegiatan berisiko tinggi di luar rumah.

Jika penduduk Bengkulu lengah karena tidak ada kasus HIV/AIDS di daerahnya maka hal itu akan menjadi bom waktu karena bisa saja terjadi penduduk Bengkulu melakukan kegiatan yang berisiko di luar daerah atau di luar negeri. Atau ada penduduk dari daerah lain yang HIV-positif (bisa saja terjadi yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa dia HIV-positif) melakukan kegiatan berisiko di Bengkulu. Kemungkinan ledakan HIV di Bengkulu juga bisa dipicu oleh pengguna narkoba suntikan (injecting drug user/IDU).

Di banyak daerah dan negara ledakan epidemi HIV dipicu oleh IDU. Kasus penggunaan narkoba suntikan sendiri sudah hampir merata di Indonesia sehingga tidak tertutup kemungkinan hal yang sama juga terjadi di Bengkulu. Penyebaran HIV melalui IDU sangat efektif karena langsung bersentuhan dengan darah karena mereka memakai semprit dan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran. Jika di antara mereka ada yang HIV-positif maka teman-temannya yang memakai jarum itu pun akan berisiko tertular. Kalau mereka sudah tertular maka mereka pun akan menularkannya kepada istrinya bagi yang sudah menikah dan kepada pasangan seksnya bagi yang belum menikah.

Biar pun Bengkulu membusungkan dada tetapi kalau di daerah itu ada kasus IMS, seperti hepatitis B, sifilis, GO dll., maka tidak tertutup kemungkinan di daerah itu ada kasus HIV/AIDS karena orang-orang mengidap IMS sangat rentan tertular HIV. Hal ini terjadi karena pada orang-orang yang mengidap IMS akan terjadi luka-luka ukuran mikroskopis (hanya dapat dilihat dengan mikroskop) pada alat kelamin yang menjadi pintu masuk bagi darah, sperma atau cairan vagina yang mengadung HIV masuk ke aliran darah pada hubungan seks yang tidak aman. Risiko tertular HIV pada orang yang mengidap IMS meningkat antara lima sampai sepuluh kali lipat dibandingkan dengan orang yang tidak mengidap IMS.

Karena epidemi HIV sudah masuk ke populasi (masyarakat) yang antara lain ditandai dengan infeksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak, maka upaya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV adalah dengan mengedepankan fakta bukan mitos (anggapan yang salah). Selama ini HIV hanya dikaitkan dengan zina, pelacuran, dll. padahal tidak ada kaitan langsung antara zina, pelacuran dll. dengan penularan HIV. Seperti disebutkan di atas HIV hanya menular melalui empat cara yang sama sekali tidak terkait langsung dengan zina.

Di Eropa Barat, Amerika Utara, Australia dan Afrika kasus infeksi baru di kalangan penduduk dewasa sudah mulai menunjukkan angka yang mendatar sejak tahun 1990-an. Hal ini terjadi bukan karena sudah ada obat atau vaksin HIV tetapi penduduk dewasa di sana sudah menereapkan cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan berisiko tinggi tertular HIV. Di kawasan Asia dan Pasifik justru sebaliknya. Angka infeksi baru di kalangan dewasa terus bertambah karena tidak menerapkan pencegahan yang realistis.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar