Jumat, 04 Juni 2010

Menyikapi Kasus AIDS yang Kecil di Kawasan Tapanuli bagian Selatan

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 3 Juni 2010. Dalam laporan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Sumatera Utara tentang data kasus AIDS menunjukkan kasus yang dilaporkan dari Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Tapanuli Selatan (termasuk Kab. Padang Lawas dan Kab. Padang Lawas Utara) adalah 3 (tiga). Angka ini hanya yang dilaporkan dari Kab. Tapanuli Selatan yaitu masing-masing satu kasus pada tahun 2001, 2002 dan 2005.

Sayang, dalam laporan tidak disebutkan bagaimana ketiga kasus itu terdeteksi, apa faktor risikonya (kemungkinan cara tertular, seperti hubungan seks, jarum suntik, transfusi darah, dll.), jenis kelamin, pekerjaan, dan usia.

Angka yang sangat kecil itu mengundang serangkaian pertanyaan karena tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi faktor penyebab angka yang kecil itu.

Perilaku Berisiko

Pertama, survailans tes HIV (tes HIV yang dilakukan terhadap kalangan dan kurun waktu tertentu) untuk memperoleh prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif) tidak dilakukan secara sistematis. Apakah di kelima darah itu dilakukan tes survailans secara konsisten? Kalau jawabannya ya, maka, kita bersyukur penduduk di wilayah itu tidak melakukan perilaku berisiko.

Perilaku berisiko adalah: (1) Melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan pasangan yang berganti-ganti; (2) Melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di laur nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, waria, dll.; (3) Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV; dan (4) Memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Tapi, kalau jawabannya tidak maka ada ancaman besar yang mengintai masyarakat di kawasan itu karena orang-orang yang sudah tertular HIV yaitu orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melalukan perilaku berisiko akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Bagi yang beristri atau bersuami maka mereka akan menularkan HIV kepada istri atau suaminya atau pasangan seks mereka yang lain. Sedangkan yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau pekerja seks. Orang-orang yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS antara 5 – 15 tahun yang akan datang.

Kedua, sarana dan prasarana untuk tes HIV dengan konseling, dikenal sebagai Klinik VCT, tidak ada di kawasan ini. Kondisi ini membuat orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggu tertular HIV tidak terdorong untuk melakukan tes HIV. Apakah ada jaminan bahwa penduduk kawasan ini, terutama laki-laki, tidak akan melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV di luar kawasan? Seperti kita ketahui mobilitas penduduk kawasan ini sangat tinggi, terutama yang bekerja di sektor transportasi dan perdagangan antar pulau. Di beberapa daerah tujuan trayek dan perdagangan dari kawasan ini terdapat lokasi atau lokalisasi pelacuran. Laporan dari daerah-daerah itu menunjukkan ada kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kalangan pekerja seks.

Ketiga, ada kemungkinan dokter yang mendeteksi kasus HIV/AIDS tidak melaporkannya ke dinas kesehatan setempat. Bisa juga terjadi ada yang melakukan tes HIV di luar kawasan sehingga kasusnya terdaftar di tempat tes. Ini banyak terjadi. Beberapa daerah di Indonesia sesumbar tidak ada kasus di daerahnya, padahal ada penduduk daerah itu yang terdeteksi di Jakarta. Banyak kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Jakarta bukan penduduk Jakarta. Soalnya, di Jakarta banyak yang manawarkan tes HIV gratis. Selain itu ada pula sanggar (rumah singgah) yang dikelola LSM untuk menampung orang-orang yang terdeteksi HIV-positif.

Jika pemerintahan di empat daerah yaitu Kota Padangsidimpuan, Kab. Madina, Kab. Padang Lawas dan Kab. Padang Lawas Utara merasa bangga dengan kasus NOL maka itu awal dari malapetaka. Angka-angka yang kecil atau nol adalah puncak dari sebuah gunung es karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanyalah bagian kecil yang muncul ke permukaan. Sedangkan kasus yang sebenarnya jauh lebih besar.

Tanpa Gejala

Malaysia jauh lebih maju daripada Indonesia. Itulah sebabnya kasus yang dilaporkan di neger jiran itu mendekati angka ril. Dengan penduduk 20-an juta sudah dilaporkan lebih dari 40.000 ribu kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 240-an juta hanya mendeksi belasan ribu kasus HIV/AIDS. Perkiraan kalangan ahli epidemiologi kasus AIDS di Indonesia angara 90.000 – 120.000.

Malaysia menjalakan survailans tes HIV dengan rutin dan sistematis terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll. ), pengguna narkoba suntikan, polisi, narapidana, pasien TBC dan perempuan hamil. Survailans inilah yang banyak mendeteksi kasus HIV di masyarakat. Khusus terhadap perempuan hamil penemuan kasus HIV akan bisa mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi semasa dalam kandungan, saat persalinan, dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan) dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah terjadi jika darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tattoo, jarum tindik, jarum akupunktur, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh. Sedangkan penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi kalau air mani atau cairan vagina masuk ke dalam tubuh melalui luka-luka mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan mikroskop) pada hubungan seks, seks penetrasi, oral atau anal, di dalam atau di luar nikah yang tidak memakai kondom. Penularan HIV melalui ASI terjadi jika ASI yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui proses menyusui.
Karena epidemi HIV tidak mengenal batas wilayah maka sudah saatnya pemerintah di lima daerah tadi menjalankan survailans tes HIV dengan sistematis. Penemuan kasus HIV akan sangat berarti dalam upaya memutus mata rantai penyebaran HIV. Soalnya, penularan HIV terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Tapi, pada kurun waktu ini sudah bisa terjadi penularan melalui cara-cara di atas.

Belakangan ada ’kelatahan’ di beberapa daerah yaitu membuat peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan AIDS. Sudah ada 33 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menelurkan Perda AIDS. Tapi, hasilnya nol besar!

Perda Pengekor

Mengapa? Ya, karena perda-perda itu hanya mengekor ke ekor program penanggulangan AIDS secara nasional di Thailand. Yang diatur dalam perda-perda itu adalah ’penggunaan kondom’. Dalam penanggulangan AIDS secara nasional di Thailand ’program wajib kondom 100 persen’ diberlakukan di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Celakanya, di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang ’resmi’ sehingga tidak ada kekuatan hukum dalam menerapkan program itu. Lagi pula Thailand menjalankan lima program secara bersama-sama dengan simultan yaitu dimulai dengan penyebar luasan informasi HIV/AIDS yang akurat melalui media massa sampai ’wajib kondom’.

Nah, penanggulangan AIDS di Indonesia mengambil ekor program Thailand. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian muncul penolakan besar-besaran karena masyarakat tidak memahami rangkaian program secara komprehensif. Celakanya lagi berita HIV/AIDS di media massa pun banyak yang mengandung mitos (anggapan yang salah). Begitu pula dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dari berbagai kalangan selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bida dicegah dengan teknologi kedokteran.

Selain itu dalam perda-perda AIDS itu pun pasal-pasal penanggulangan tidak ada yang akurat sehingga tidak menyentuh akar persoalan. Semua perda mengedepankan norma, moral, dan agama. Karena penularan HIV tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral dan agama maka perda-perda itu pun bagaikan ’macan kertas’ dengan program yang ’menggantang asap’.

Apakah kita harus menunggu seperti di Thailand baru tergerak melakukan penanggulagan yang konkret? Awal tahun 1990-an Thailand sudah diperingatkan oleh ahli-ahli epidemiologi agar menanggulangi HIV/AIDS dengan serius karena kalau tidak ditanggulangi maka aan terjadi ledakan AIDS. Tapi, pemerintah Negeri Gajah Putih itu manampik karena mereka merasa sebagai orang-orang yang berbudaya dan beragama sehingga bisa membendung HIV/AIDS.

Padahal, nun di Arab Saudi yang menjadikan kitab suci sebagai UUD sehingga secara de jure dan de facto tidak ada lokalisasi pelacuran dan hiburan malam tetap saja banyak kasus HIV/AIDS. ”The Saudi government reported that in 2008 the number of AIDS patients in Saudi Arabia was 13,926 with 3,538 Saudis. An estimated 505 were Saudi females and 769 non-Saudi women. About 80 percent got the virus through sexual activity, 15 percent through blood transfusions and 5 percent unknown. Most AIDS victims are between the ages of 15 and 49, which is a disaster in a young country like ours.” (http://saudiwriter.blogspot.com/2010/01/saudi-arabia-takes-step-backward-in.html).

Tapi, apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian di Thailand? Kasus HIV/AIDS mendekati angka satu juta. Penderita AIDS bergelimpangan di koridor rumah sakit. Devisa yang diperoleh negeri itu dari sektor pariwisata hanya bisa menutupi dua pertiga dari dana penanggulangan HIV/AIDS. Untunglah para bhiksu turun tangan dan menampung mereka di vihara. Usaha ini membuahkan hadiah Magsaysay bagi vihara di Thailand.

Nah, kalau hal itu terjadi di Indonesia, khususnya di kawasan Tapanuli bagian Selatan, apakah ada kalangan yang rela dengan sukacita menyingsingkan lengan baju menampung pendeita AIDS? Soalnya, sikap pemerintah dan masyarakat Indonesia menghadapi epidemi HIV sekarang ini sama seperti yang dilakukan Thailand dahulu. Mengapa kita tidak belajar dari pengalaman Thailand?

Yang jelas sampai sekarang stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) merupakan gambaran nyata sikap masyarakat Indonesia terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar