Kamis, 17 Juni 2010

Tanggapan terhadap Berita 'Ariel-Luna Maya Harus Tes HIV-AIDS'

Anjuran Tes Karena Sanggama Tidak Memakai Kondom dengan Pasangan yang Bergante-ganti.

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita 'Ariel-Luna Maya Harus Tes HIV-AIDS' di INILAH.COM, Jakarta, 12/06/2010 lagi-lagi membawa kita ke alam mitos. Sampai Sekarang banyak yang tetap mengait-ngaitkan penularan HIV secara langsung dengan norma, moral dan agama. Kondisi ini menempatkan masyarakat pada situasi yang tidak realistis terkait penularan dan pencegahan HIV yang faktual.

Dalam berita disebutkan: " .... Agar pelakunya harus tes kesehatan, sebab ini sudah bicara seks bebas. Kalo terus dibiarkan maka menjadi virus yang tersebar luas," ungkap kuasa hukum Hajar Indonesia, Farhat Abbas.

Entah siapa yang memulai tapi sampai sekarang ’seks bebas’ menjadi terminologi ’resmi’ di negeri ini. Mulai dari pejabat tinggi sampai rakyat kebanyakan dengan mudah menyebut ’seks bebas’. Padahal, ’seks bebas’ adalah terminologi yang ngawur karena tidak jelas makna dan artinya dengan akurat.

Kemungkinan besar ’seks bebas’ adalah terjemahan bebas dari free sex. Celakanya, dalam kamus-kamus Bahasa Inggris tidak ada lema (entry) free sex sebagai kata majemuk. Istilah free sex berkembang di awal tahun 1970-an yang dikait-kaitkan dengan perlaku kalangan hippies. Ini menunjukkan free sex tidak terkait dengan perilaku masyarakat Barat karena itu hanya perilaku orang per orang di kalangan tertentu. Dalam beberapa kamus Bahasa Inggris yang ada adalah free love yaitu hubungan seks yang dilakukan di luar pernikahan.

Nah, kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai hubungan seks (sanggama) di luar pernikahan maka sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV. Soalnya, penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (sifat hubungan seks) bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seks). Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif (kondisi hubungan seks) melakukan sanggama secara ’seks bebas’ (sifat hubungan seks) maka tidak ada risiko penularan HIV.

Maka, risiko penularan HIV terjadi berdasarkan kondisi hubungan seks bukan karena sifat hubungan seks, seperti ’seks bebas’.

Di bagian lain disebutkan: ”Dalam video tersebut si pelaku tidak menggunakan kondom. Apalagi ini dalam jumlah yang banyak. Jika HIV itu terbukti maka bisa di bilang tergolong melakukan pembunuhan berencana." Nah, ini baru terkait dengan epidemi HIV.

Dalam berita disebutkan: “ ….. pelaku tidak menggunakan kondom.” Kemudian ada lagi pernyataan “ …. dalam jumlah yang banyak … “, maksudnya melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti. Dua fakta ini erat kaitannya dengan risiko menularkan dan tertular HIV.

Pertama, melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti tanpa memakai kondom adalah merupakan perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Soalnya, ada kemungkinan salah satu dari pasangan tersebut (dalam hal ini perempuan) ada yang HIV-positif sehingga laki-laki berisiko tertular HIV.

Kedua, kalau ada di antara perempuan yang menjadi pasangan seorang laki-laki HIV-positif maka laki-laki tadi berisiko tertular HIV. Jika laki-laki tadi tertular HIV maka perempuan-perempuan yang melakukan hubungan seks dengan laki-laki tadi tanpa kondom berisiko pula tertular HIV.

Ketiga, kalau ada di antara perempuan-perempuan yang menjadi pasangan seks laki-laki yang tertular tadi maka perempuan-perempuan itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Yang bersuami akan menularkan HIV kepada suaminya. Sedangkan yang belum menikah akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau suaminya kelak.

Semua terjadi tanpa disadari karena tidak ada tanda, ciri atau gejal yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular). Tapi, biar pun tidak ad tanda pada rentang waktu itu sudah bisa terjadi penyebaran HIV melalui hubungan seks, transfusi darah, jarum suntik, alat-alat kesehatan.

Ada lagi pernyataan dari Farhat: "Bahkan jika perlu si pelaku harus dikarantina. Karena kalau tidak dikarantina bisa menyebarkan virus HIV ….” Ini lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Yang menjadi persoalan besar bukan laki-laki yang menjadi pasangan beberapa perempuan tadi karena yang menjadi persoalan besar justru perempuan-perempuan yang tertular dari laki-laki. Mereka inilah yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk di masyarakat melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah, transfusi darah, dan jarum suntik.

Kita selalu mendengung-dengungkan diri sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama tapi fakta menunjukkan kita justru lebih ’biadab’ dari masyarakat yang kita tuding tidak berbudaya dan tidak beragama. Di negara-negara itu pelecehan seks dan perkosaan dihukum berat bahkan ada negara yang menerapkan hukuman mati.

Nah, di negeri ini peleceghan seks dan perkosaan hanya sebagai perkara kriminal biasa (ordinary crime) dengan ancaman hukuman yang rendah dan vonis penjara sering hanya seumur jagung.

Begitu juga dengan video porno. Beberapa video yang diproduksi Majalah Playboy yang dicaci-maki di negeri ini sebagai produk ’bangsa biadab’ ternyata gambar-gambarnya tidak seperti video ’mirip artis’ yang beredar di negeri yang berbudaya dan beragama ini. Tidak ada gambar penis masuk ke vagina. Di vedio ’produk anak bangsa yang berbudaya dan beragama’ justru ada gambar penis masuk ke vagina. Inikah gambaran budaya dan agama yang kita dengung-dengungkan ke dunia? ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar