Oleh Syaiful W Harahap
HIRUK-pikuk acara gossip stasiun televisi swasta nasional yang mereka sebut sebagai infotainment sudah dilirik oleh NU sebagai acara yang lebih banyak mudharatnya. Bahkan, di penghujung tahun 2009 NU mengklassifikasikan acara infotainment sebagai tonto-nan yang haram. Sayang wacana ini tidak mendapat dukungan luas sehingga wacana itu pun tenggelam. Infotainment terus berkibar dengan menempati rating utama sehingga menjadi lahan basah bagi pengiklan karena banyak ditonton.
Karena NU ‘kalah’ duku-ngan akhirnya wacana un-tuk mengharamkan infotai-ment kandas. Belakangan muncul lagi wacana yang mempersoalkan infotain-ment sebagai kegiatan yang tidak sepadan dengan jurnalistik.
Biar pun serangan terha-dap infotainment bertubi-tubi, tapi dunia penyiaran tetap menjadikan infotainment sebagai acara ‘pendulang emas’ melalui iklan. Agaknya, acara ini dijadikan pendukung acara-acara ‘siraman rohani’ yang kering iklan sebagai penyeimbang.
FAKTA PRIVAT
Infotainment merupakan jelmaan dari dua kata yaitu information dan entertainment yang dianggap sebagai informasi yang berisi kabar, ‘kabar burung’ (tidak ada faktanya), dan ‘kabar angin’ (tidak jelas sumbernya) seputar dunia hiburan. Kabar seputar dunia hiburan ini dianggap sebagai informasi yang kemudian dikaitkan dengan berita. Memang, stasiun televisi menyiarkan berita dalam berbagai bentuk, seperti berita langsung (hard news), reportase, dll. sehingga ada kesan infotainment juga sebagai berita.
Anggapan itulah kemudian yang rancu. Bahkan, penyiar berita di televisi selalu mengatakan informasi untuk berita. Padahal, informasi tidak otomatis bisa menjadi berita karena informasi atau fakta baru bisa menjadi berita jika memenuhi unsur-unsur layak berita (Ashadi Siregar, dkk., Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, Paket 4 Jurnalistik, PT Karya Unipers, Jakarta, 1982): yaitu significance (menyangkut kepentingan publik), magnitude (angka), timelines (aktualitas), proximity (kedekatan secara geografis atau psikologis), prominence (ketenaran), dan human interest (manusiawi). Selain itu ada pula kelengkapan berita yaitu 5W (what, who, when, where, why) + 1H (how).
Dalam jurnalistik yang disebut berita harus mengandung nilai (news value atau news worthy). Berita bisa disebut mempunyai nilai al. jika mengutamakan fakta, mengedepankan kebenaran, menghargai harkat dan martabat manusia, membela yang diabaikan, seimbang, dll. Jika sudah memenuhi unsur-unsur layak berita dan kelengkapan berita maka berita tersebut bisa menjadi agent of change. Banding-kan denan informasi dalam infotainment lebih meng-utamakan fakta privat yang tidak terkait dengan kepen-tingan publik. Informasinya lebih menonjolkan ‘kabar burung’ dan ‘kabar angin’ maka informasi yang ada di infotainment tidak mempunyai nilai sebagai berita jurnalistik.
Tapi, tidak pula pada tempatnya ada yang merendahkan harkat dan martabat manusia dari pekerjaannya. Seperti yang dilontarkan oleh Luna Maya terhadap pekerja infotain-ment dengan mengatakan derajat (pekerja) infotainment lebih hina daripada pelacur. Tapi, tunggu dulu. Apa hak seorang Luna Maya menghinakan pelacur? Maka, amat pantas kalau kemudian saudara-saudara kita yang bekeja sebagai pekerja seks di lokalisasi Peleman, Desa Sidoharjo, Kecamatan Suradadi, Slawi, Jawa Tengah (suaramerdeka.com, 22/12-009) angkat bicara memprotes pernyataan Luna Maya. Merendahkan dan meningkatkan harkat dan martabat manusia adalah urusan Tuhan sebagai Penguasa Semesta Alam. Hina di hadapan manusia belum tentu hina di hadapan-Nya. Bisa saja doa tobat seorang pelacur diterima Tuhan, sementara orang-orang yang merasa dirinya bermartabat, suci, bermodal, dll. sehingga tidak hina di hadapan manusia, tapi kelak bisa hina di hadapan-Nya. Bisa jadi Tuhan murka karena menghina ummatnya.
Kabar yang dikemas infotainment sebagai informasi seputar artis mengutamakan fakta privat yang sering dikaitkan dengan ‘kabar burung’, ‘kabar angin’, rumor dan isu sebagai gossip. Fakta privat dikemas secara ‘telanjang’ sehingga merupakan pembeberan rahasia pribadi. Inilah yang dilihat NU sebagai kabar yang buruk. Pernikahan dan perceraian, misalnya, dalam Islam harus diumumkan agar diketahui khalayak. Tapi, bukan penyebab perceraian yang diumbar seperti yang dikemas infotainment. Ini disebut pergunjingan yang diharamkan dalam agama Islam.
Dalam perbincangan de-ngan seorang rekan di De-wan Pers, alm. RH Siregar, dia sangat menyesalkan ulah pekerja infotainment yang ‘camping’ di depan rumah seorang rocker cewek di Bandung. Ketika rocker tadi keluar pagar rumah pekerja infotainment mengejarnya dan memaksa bicara. “Kami sudah menunggu berhari-hari,” kata pekerja infotainment memberikan alasan sebagai desakan agar rocker tadi mau bicara. Bahkan, ada pekerja infotainment yang memukul kacara mobilnya. Itulah sebabnya PWI merangkul pekerja infotainment sebagai upaya untuk mendidik mereka agar bekerja sesuai dengan kode etik.
Kabar dalam infotainment dirancang agar memenuhi kritetia berita jurnalistik yaitu dilengkapi dengan 5W + 1H, dengan check dan recheck serta cover both side yang lebih mirip sebagai klarifikasi. Tapi, biar pun informasi atau fakta sudah memenuhi 5W + 1H itu baru sebatas berita. Sedangkan informasi atau fakta yang dikemas sebagai berita jurnalistik selain ada 5W + 1H harus mengandung unsur-unsur layak berita.
Fakta privat bisa menjadi berita jurnalistik jika dibawa ke ranah publik atau terkait dengan masalah publik dan hukum. Misalnya, informasi seputar video porno mirip artis sudah menjadi fakta publik karena menyangkut (pelanggaran) hukum. Maka, tidak ada alasan untuk menyalahkan media massa dalam pemberitaan video mesum itu selama berpijak pada fakta publik (penyidikan polisi), fakta empiris (data), dan fakta opini (pendapat yang relevan dari berbagai kalangan).
SELEBRITI
Belakangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyebut infotainment sebagai berita nonfaktual. Ini membingungkan karena informasi yang dimekas infotainment juga fakta. Semua kabar yang disiarkan infotainment adalah fakta. Persoalannya adalah infotainment menyasar fakta privat. Padahal, jurnalistik mengedepankan fakta publik dan fakta empiris.
Rencana menyensor materi inforainment oleh lembaga atau badan semacam LSF (Lembaga Sensor Film) tidak akan berguna karena sensor yang dijalankan lebih condong ke arah materi yang terkait dengan (adegan) seks. Sedangkan yang dipersoalkan dalam tayangan infotainment adalah masalah pribadi yang dijadikan sebagai materi dalam cengkeraman gossip.
Di kalangan pertelevisian internasional juga dikenal infotainment sebagai pembeberan fakta seputar film dan musik beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bisa juga berupa resensi film atau musik. Yang ditampilkan adalah kabar tentang film dan tokoh yang terkait dengan film tersebut.
Di Indoensia narasumber yang diwawancarai dalam infotainment disebut sebagai selebriti. Celaka-nya, banyak nama yang ditampilkan infotainment tidak memenuhi klassifikasi selebriti karena sama sekali tidak dikenal secara luas sehingga tidak termasyhur. Ada pula sebutan public figure terhadap orang-orang yang menjadi topik pembicaraan di infotainment. Padahal, yang mereka tampilkan itu pun tidak memenuhi kriteria sebagai public figure karena mereka bukan tokoh di masyarakat. Salah satu syarat seseorang adalah mereka masyhur karena hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan bukan karena perilaku.
Memang, ada paradoks dalam dunia hiburan. Tidak sedikit orang-orang yang berkecimpung di dunia hiburan ingin populer dengan berbagai cara. Seorang pekerja infotainment pernah mengatakan bahwa ada ‘artis’ yang justru minta ‘ditelanjangi’ (dalam berbagai aspek) dengan tujuan agar bisa cepat populer.
Seseorang memenuhi kriteria sebagai selebriti jika dia dikenal secara luas. Misalnya, di sebuah keluarga kalau disebut si “A” semua mengenalnya. Tapi, selebriti yang diton-jolkan infotainment sering tidak dikenal secara luas. Selebriti yang ditonjolkan kemudian dikenal luas karena infotainment menonjolkan aspek gossip dari sisi privat, seperti perceraian, perselingkuhan, dll.
Dalam tayangan infotain-ment di Indonesia selebriti diartikan hanya dari kala-ngan artis film dan musik. Padahal, dalam dunia hiburan internasional selebriti juga mencakup kalangan jet set (orang-orang kaya yang bepergian secara rutin dengan pesawat jet ke berbagai resort dan pusat perbelanjaan dunia untuk bersenang-senang).
Jika rencana KPI yang didukung oleh Komisi I DPR untuk menyesor materi infotainment dijalankan maka tidak banyak manfaatnya karena yang muncul dari tayaangan lolos sensor itu kelak tetap hanya gossip. Infotainment memang (berita) gossip tapi tidak menonjolkan fakta privat karena membicarakan peran dalam film, dll.
Nah, kalau infotainment disensor, lalu apa materi (gossip) yang boleh disiarkan? Kalau hanya menonjolkan kegiatan ‘moral’ selebriti tentulah bukan infotainment lagi namanya, tapi moraltainment. Belakangan ini muncul acara-acara yang mengedepankan moral tapi dengan cara menampilkan kegiatan secara fisik. Padahal, untuk menggugah yang diperlukan adalah ‘bujukan’ tanpa menonjolkan ritual melalui alur cerita yang komprehensif.
Sudah saatnya kita mengubah paradigma dalam menghadapi siaran televisi. Bukan dengan melarang dan menyensor materi infotainment, tapi mendorong masyarakat untuk memilih acara televisi melalui pendidikan media. Masyarakat didorong agar bisa memilih siaran televisi dengan muatan asas manfaat.(penulis adalah koresponden khusus SKH. Swara Kita di Jakarta)
URL: http://www.swarakita-manado.com/index.php/berita/berita-utama/14671-menyoal-nilai-berita-infotainment.html
[Sumber: Haian “Swara Kita”, Manado, 19 Juli 2010]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar