Kamis, 08 Juli 2010

Menyikapi Berita Kematian Terkait AIDS di Mataram

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 9/7-2010. “31 Orang Meninggal karena AIDS di Mataram, NTB, Hinggu Juni 2010’. Itulah isi newsticker di MetroTV (9/7-2010).

Informasi itu seakan-akan tidak bermakna. Ya, hanya berita kematian. Tapi, kalau ditililk dari aspek epidemiologi HIV maka informasi itu justru merupakan ‘lampu kuning’ bahkan bisa sebagai ‘lampu merah’.

Selama ini kematian penduduk terkait dengan AIDS selalu diabaikan. Padahal, kematian seseorang karena penyakit yang terkait dengan AIDS menyisakan persoalan.

Kematian pada seseorang yang terkait AIDS secara statistik terjadi setelah ybs. tertular HIV antara 5- 15 tahun. Pada kurun waktu itu banyak oang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV.

Akibatnya, orang-orang yang sudah tertular HIV itu (bisa) menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) hubungan seks penetrasi tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik dan cangkok organ tubuh, (d) air susu ibu (ASI). Semua terjadi tanpa disadari.

Kematian Odha (Orang dengan HIV/AIDS) harus disikapi dari aspek epidemilogi HIV. Orang-orang yang terkait secara seksual dengan Odha yang meninggal berisiko tertular HIV.

Kalau Odha yang meninggal laki-laki maka istrinya berisiko tertular HIV (horizontal). Selanjutnya anak yang dikandung istrinya pun berisiko pula tertular HIV (vertikal). Begitu pula dengan perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya, seperti selingkuhan, pacar gelap, dan pekerja seks.

Jika Odha yang meninggal perempuan maka dia pun bisa menularkan HIV kepada orang lain.

Celakanya, kita tidak mempunyai mekanisme yang bisa ‘menjaring’ perempuan yang berisiko tertular HIV. Di Malaysia ada survailans tes HIV secara rutin terhadap perempuan hamil. Ini realistis karena perempuan yang hamil sudah pernah melakukan hubungan seks, dalam atau di luar nikah, dengan laki-laki tanpa kondom.

Selama ini survailans tes HIV di Indonesia hanya menyasar pekerja seks sebagai ‘sasaran tembak’ yang empuk karena ditopang oleh pandangan moral. Padahal, yang menularkan HIV kepada pekerja seks justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa kelihatan sebagai ‘orang atau suami baik-baik’.

Jika 31 oang yang meninggal di Mataram itu semua laki-laki maka ada risiko tertular HIV pada 31 oang perempuan. Angka ini akan bertambah kalau ada di antara laki-laki itu yang mempunyai isrti atau pasangan seks lebih dari satu orang. Angka-angka ini pun bisa menjadi deret ukur karena yang sudah tertular tidak menyadari dirinya sehingga tanpa disadarinya dia pun menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Jika Pemkot Mataram, dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Mataram dan KPA Kota Mataram, mau ‘memutar otak’ maka angka kematian terkait AIDS itu harus disikapi dengan kaca mata epidemiologi HIV.

Artinya, harus ada upaya mendeteksi HIV di masyarakat melalui cara-cara yang objektif karena sudah ada 31 penduduk yang mengidap HIV.

Salah satu cara adalah menggencarkan penyuluhan dengan informasi yang akurat dengan mengedepankan fakta terkait dengan kematian 31 Odha. Selain itu bisa juga meniru Malaysia yaitu melakukan survailans tes HIV terhadap perempuan hamil.

Sayangnya, selama ini kematian Odha tidak disikapi dari aspek epidemilogi, tapi lebih banyak ditanggapi dari sudh moral. Kematian Odha sering dijadikan sebagai ‘contoh’ karena perbuatan yang amoral. Padahal, kematian karena kecelakaan lalu lintas yang juga trkait langsung dengan moral justru jauh lebih besar. ***

* Penulis adalah pemerhati berita HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar