Sabtu, 17 Juli 2010

Menyikapi Pelecehan Seks

Oleh Syaiful W. Harahap

Jakarta, 18/7-2010. Kasus-kasus pelecehan seks terus terjadi di negeri yang selalu menyebut diri sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama ini. Bandingkan dengan negara-negara yang yang tidak berkoar-koar sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama tapi pelecehan seks jarang terjadi.

“Apakah Anda tidak takut memakai pakaian minim begini?” Itulah pertanyaan saya kepada seorang cewek di jeepney (angkutan khas di Manila, Filipina) yang memakai rok mini sehingga CD-nya kelihatan. Soalnya, waktu itu jam menunjukkan pukul 03.30.

“Tidak. Ini ‘kan negara hukum!” Jawaban cewek itu membuat saya malu karena di negara saya yang berkoar-koar sebagai negara hukum tapi pelecehan (seks) terhadap perempuan menjadi ‘budaya’.

Celakanya, di Indonesia selalu perempuan yang disalahkan. Simak pendapat Agung, seorang mahasiwa di Jakarta, yang diwawancarai TVOne (18/7). Dengan membusungkan dada dia mengatakan bahwa pelecehan bisa terjadi karena perempuan memakai pakaian yang seksi. Waduh, orang ini rabun?

Korban pelecehan di bus Transjakarta (14/7) memakai jilbab dan celana panjang. Auratnya tertutup rapat. Di beberapa daerah ada korban perkosaan (disebut pencabulan, ini membuat tuntutan jadi ringan) justru memakai pakaian yang menutup aurat. Bagaiman ini Bung Agung?

Lagi pula kalau pun ada seorang perempuan yang mamakai pakaian yang seksi, apakah ada UU yang membenarkan seorang pria mencoleknya? Saya teringat kepada kasus yang menimpa beberapa pegawai sebuah instansi penegak hukum yang sedang kuliah di sebuah universitas di AS. Mereka terpaksa berurusan dengan penegak hukum di sana karena pengaduan seorang perempuan karyawan universitas itu yang merasa dilecehkan dengan kata-kata.

Ya, di Indonesia hal itu lumarah dan menjadi ‘budaya’. Bahkan, colek-mencolek pun menjadi pemandangan yang biasa. Lihat saja kondektur bus kota. Mereka dengan ringan tangan akan memegang bahu atau pundak perempuan yang akan naik. Mengapa mereka tidak membantu penumpang laki-laki?

Di terminal-terminal bus kondektur dan calo selalu menarik tangan dan mendekatkan mukanya ke wajah penumpang cewek. Bagi mereka hal itu lumrah, tapi dari aspek norma, moral, agama dan hukum hal itu merupakan pelanggaran. Di terminal yang daerahnya mengedepankan syariat agama pun terjadi pelecehan terhadap calon penumpang cewek.

Pelaku pelecehan di bus Transjakarta hanya dijerat dengan KUHP, yaitu Pasal 282 tentang pelecehan seksual dan Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Pelecehan seks merupakan perbuatan yang tergolong extra ordinary crime karena meninggalkan beban fisik dan psikologis yang berkepanjangan. Tapi, di negeri agaknya pelecehan seks dan perkosaan hanya sebagai kejahatan umum atau biasa.

Jika tetap memakai KUHP ada baiknya kalau hukuman terhadap pelaku pelecehan seks dan perkosaan dilakukan dengan akumulasi. Semua pasal yang dituduhkan dijumlahkan agar hukumannya berat.

Terkait dengan pelecehan di bus Transjakarta hal itu terjadi karena beberapa kondisi.

Pertama, jika hendak masuk atau keluar dari bus penumpang kesulitan karena ada jarak antara lantai bus dengan peron shelter antara 15 – 50 cm. Penumpang berhenti sejenak ketika hendak melangkah. Di belakang penumpang mendorong dengan, maaf, bagian depan badannya. Apakah pengelola Transjakarta tidak mempunyai teknologi yang bisa membuat jembatan antara lantai bus dengan peron shelter?

Kedua, setiap bus tidak ada ketentuan jumlah penumpang yang boleh naik. Ada kondektur yang langsung menghambat calon penumpang. “Yang berikutnya.” Itulah perintah kondektur. Padahal, bus masih kosong sehingga calon penumpang menumpuk di peron shelter.

Ketiga, bus mempunyai dua pintu yaitu depan dan belakang. Tapi, tidak semua koridor memakai dua pintu. Jika pintu depan untuk naik (masuk) dan pintu belakang untuk turun (keluar) tentulah akan nyaman karena penumpang yang turun tidak berhadapan dengan penumpang yang naik.

Sudah saatnya kita sebagai bangsa yang selalu menyebut diri berbudaya luhur dan bergama mengubah cara berpikir dalam menghadapi perempuan dengan pakaian minim di tempat umum. Laki-laki tidak lagi menyalahkan perempuan tapi mengekang diri dan syahwat. Kalau mengaku sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama tentulah bisa mengatasi godaan setan atau iblis. Lho, kalau melihat aurat tempat umum saja ada laki-laki yang kelenger, ya, koq bisa? Bagi orang yang berbudaya dan beragama tentulah bisa mengendalikan diri menghadapi godaan.

Di sebuah provinsi ada peraturan daerah (Perda) yang melarang perempuan keluar malam. Bayangkan, kalau seorang perempuan harus membawa anaknya ke dokter atau rumah sakit atau membeli obat. Rupanya, perda itu dipakai sabagai ‘alat’ untuk menjerat pekerja seks.

Tapi, tunggu dulu. Perzinaan bisa terjadi kalau ada laki-laki. Nah, mengapa laki-laki tidak dilarang keluar malam? Bisa saja laki-laki ‘hidung belang’ yang mendatangi perempuan.

Kalau saja perancang dan pembuat perda itu sensitif jender dan memakai perspektif dalam membuat aturan maka perda itu justru menjami keamanan perempuan jika keluar malam.

Beberapa daerah di Indonesia sudah menelurkan perda anti pelacuran dan anti maksiat. Sayang, tidak ada yang menyinggung pelecehan (seks) terhadap perempuan. Ada perda hanya ingin menjerat perempuan yang dianggap sebagai pelacur berdasarkan cirri-ciri fisik. Tentu saja ini menyesatkan karena tidak ada kaitan langsung antara ciri-ciri fisik dengan pelacur.

Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa langganannya ada yang memakai pakaian yang menutup aurat ketika keluar dari rumah. Tapi, di taksi perempuan itu menukar pakaiannya. Perempuan itu turun di hotel dengan pakaian yang minim. (Penulis aktivis di LSM “InfoKespro” Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar