Minggu, 11 Juli 2010

Tanggapan terhadap Berita di okezone.com

Fakta Tidak Dibawa ke Realitas Sosial

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 11/7-2010. “Setiap Bulan, Puluhan PSK di Bali Berobat AIDS.” Ini judul berita di okezone.com (14/6-2010). Fakta ini tidak dibawa ke realitas sosial dengan perspektif epidemiologi HIV sehingga tidak ada maknanya bagi masyarakat karena hanya bersifat informasi. Dalam jurnalistik berita harus mengandung makna yang bisa menjadi bagian dari upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap epidemi HIV.

Berita ini pun tidak akurat. Misalnya, disebutkan yang berkonsultasi ke dokter di RSUP Sanglah Denpasar, “ .... mereka kerap berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual ....” Berganti-ganti pasangan seks memang perilaku berisiko tertular atau menularkan HIV jika mereka tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Ini fakta. Tapi, pernyataan dalam berita itu tidak faktual sehingga menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang penularan HIV.

Disebutkan pula “ .... telah divonis mengidap penyakit HIV/AIDS.” Ini menyesatkan karena seseorang disebutkan tertular HIV berdasarkan tes darah di laboratorium bukan vonis dokter atau hakim di pengadilan. Lagi pula, siapa, sih, yang mendapat mandat untuk memberikan vonis kepada seseorang bahwa dia tertular HIV?

Faktor yang mendorong peningkatan jumlah orang yang konsultasi tentang HIV/AIDS tidak dijelaskan dalam berita itu. Akibatnya, pembaca tidak memahami mengapa banyak yang konsultasi HIV/AIDS? Wartawan yang menulis berita itu tidak mencari fakta empiris terkait dengan peningkatan jumlah yang konsultasi.

Ada lagi kutipan pernyataan Kepala Seksi Rawat Inap Penyakit Menular RUSP Sanglah, Denpasar Ida Ayu Miswaryati “ .... dari konsultasi yang dilakukan terhadap mereka memang diketahui selama ini menjalani kehidupan seks menyimpang atau heteroseksual dengan berganti-ganti pasangan atau berhubungan lebih dari satu pasangan.”

Kalau ini pernyataan yang merupakan kutipan maka sangat disayangkan karena ‘kehidupan seks menyimpang’ merupakan sudut pandang moral yang sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV sebagai fakta medis. Seks sebagai dorongan biologis tidak mengenal penyimpangan. Seks disebutkan menyimpang adalah pandangan dari sudut norma, moral dan agama yang juga tidak terkait langsung dengan penularan HIV.

Ada fakta “Jika dilihat jenis kelamin para penderita HIV/AIDS, didominasi kaum pria ....” Sayang wartawan yang menulis berita ini tidak membawa fakta ini ke realitas sosial. Dalam kehidupan pria-pria itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, pasangan seks lain atau pekerja seks. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacara, pasangan seks atau pekerja seks. Semua ini terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada dirinya.

Ada pula pernyataan “Sebagai pulau tujuan pariwisata, Bali umumnya memang rentan terhadap praktek seks bebas baik di generasi muda hingga orang tua.” Ya, lagi-lagi mitos.

Pertama, tidak ada kaitan perilaku seks secara langsung dengan pariwisata. Di daerah atau negara yang tidak menjadi tujuan pariwasata pun tetap saja terjadai perilaku seks yang berisiko. Bahkan, di negara-negara yang menjadikan agama sebagai hukum pun tetap ada kasus AIDS biar pun di sana tidak ada lokalisasi pelacuran, hiburan malam, dll.

Kedua, kata ‘seks bebas’ adalah rancu karena tidak jelas apa maksudnya. Kalau ’seks bebas’ dalam berita ini dimaksudkan sebagai hubungan seks di luar nikah maka lagi-lagi kita dibawa ke alam kengawuran. Soalnya, tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV.

Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan di luar pernikahan.

Tidak ada pula penjelasan mengapa “Kota Denpasar menempati ranking tertinggi warganya yang mengidap HIV/AIDS ....” Karena tidak ada penjelasan maka pernyataan ini pun mendorong orang untuk mengait-ngaitkannya dengan pariwisata.

Upaya pemerintah untuk menanggulangi epidemi HIV memang patut didukung. Misalnya, melalui upaya pendeteksian penduduk yang sudah tertular HIV, misalnya, melalui klinik VCT. Celakanya, informasi terkait dengan VCT tidak komprehensif.

Disebutkan ”Melihat tingginya angka risiko penularan penyakit berbahaya tersebut, ....” Ini tidak akurat karena semua penyakit berbahaya jika tidak diobati. Bahkan, diare dan demam berdarah bisa merenggung nyawa dalam hitungan hari jika tidak diobati. Sedangkan HIV/AIDS membutuhkan waktu antara 5-15 tahun untuk mendekati ajal.

Contohnya dalam berita disebutkan ”Miswaryati meminta masyarakat untuk membuka diri dan melakukan tindakan pencegahan seperti memeriksakan diri sejak dini kepada dokter atau melakukan konseling sehingga bisa dilakukan penanganan.” Ini sudah menyamaratakan perilaku semau orang.

Padahal, yang diminta untuk membuka diri, lebih tepat disebutkan untuk mengkaji perilaku seks masing-masing, bukan semua orang karena tidak semua orang berperilaku yang berisiko tertular HIV. Pekerja seks pun bisa tidak berisiko kalau dia hanya mau melayani laki-laki yang memakai kondom jika sanggama.

Siapa, dong, yang dianjurkan untuk tes? Ya, mereka adalah laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan.

Ada pula pernyataan ”Ia juga berharap masyarakat usia produktif lebih bisa menjaga pergaulan mereka menghindari dari pergaulan seks bebas atau berganti ganti pasangan (heteroskesual) karena sangat berpotensi terkena penyakit mematikan tersebut.” Ini memojokkan remaja yang mengesankan hanya remaja yang berisiko tertular HIV melalui ’pergaulan seks bebas’.

Apakah kalangan dewasa tidak ada yang melalukan ’pergaulan seks bebas”? Kalau saja Pak Wartawan yang menulis berita ini mau meringankan langkah melihat realitas sosial terkait dengan perilaku seks tentulah pernyataan itu tidak akan ada karena kalangan dewasa pun tidak kalah banyak yang melakukan ’pergaulan seks bebas’.

Selama informasi tentang HIV/AIDS tetap dibalut dengan norma, moral dan agama maka selama itu pula fakta HIV/AIDS tidak bisa ditangkap masyarakat sehingga merempatkan diri mereka pada siatusi yang rentan tertular HIV. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar