Minggu, 11 Juli 2010

Tanggapan terhadap Acara “Mamah & Aa” di INDOSIAR

Jakarta, 11/7-2010. Seorang pemirsa acara “Mamah & Aa” yang disiarkan stasiun televisi ”INDOSIAR” tanggal 11/7-2010 pukul 05.00 menelepon untuk ’curhat’. Inti ‘curhat’-nya adalah “ …. suaminya selingkuh dengan laki-laki.”

Mamah yang menjadi pembicaa pada acara itu memberikan penjelasan yang sangat umum dan hanya berdasarkan asumsi. Disebutkan Mamah suami perempuan tadi ‘selingkuh dengan laki-laki sebagai gay’ karena salah pergaulan, pernah dielus-elus laki-laki, dll.

Acara itu merupakan siaran agama (Islam) maka jalan keluar yang ditawarkan oleh Mamah pun hanya asumsi pula. Misalnya, menganjurkan penelepon tadi untuk mencari tahun penyebab mengapa suaminya selingkuh dengan laki-laki. Kemudian anjuran untuk mendengar acara-acara siraman rohoani, mengikuti pengajian, dll.

Yang dihadapi penelepon tadi tidak berkaitan langsung dengan agama karena hal itu lebih condong kepada masalah biologis (orientasi seks) dan psikologis. Pengamatan menunjukkan acara-acara keagamaan di televisi hanya bertolak dari sudut pandang agama dalam menyelesaikan masalah.

Padahal, ada persoalan yang dikemukakan justru terkait langsung dengan hukum. Misalnya, seorang perempuan ’curhat’ tentang suaminya yang sudah lebih dari enam bulan meninggalknya. Saran yang disampaikan untuk menyelesaikan masalah adalah sabar, tawakkal, dll. Ini tidak realistis. Akan lebih baik kalau dianjurkan agar perempuan tadi mencari suaminya melalui keluarga suami. Selain itu jika sudah ditinggalkan lebih dari enam bulan tentulah sudah urusan hukum sehingga dianjurkan agar ibu konsultasi ke pengadilan agama setempat.

Terkait dengan ’curhat’ istri yang suaminya ’selingkuh dengan laki-laki’ adalah realitas sosial. Ada studi dan penelitian yang menunjukkan pelanggan waria justru lebih banyak suami yang secara harfiah merupakan heteroseksual. Penelitian Dr Dede Oetomo, GAYa Nusantara, Surabaya, menunjukkan laki-laki heteroseksual jika ’main’ dengan waria justru menjadi ’perempuan’.

Kita sering menutup mata terhadap realitas sosial karena memakai kaca mata moral dan membawanya ke ranah agama. Ada kesan seolah-olah agama bisa menyelesaikan semua masalah. Agama yang dimaksud di sini adalah agama yang diakui pemerintah.

Pertanyannya kemudian adalah bagaiman dengan oang-orang yang tidak memuluk agama yang diakui pemerintah? Mereka tetap bertuhan dengan cara mereka sendiri. Apakah orang-orang yang tidak memeluk agama yang diakui pemerintah otomatis tidak bisa mengatasi masalah?

Hal yang sama terjadi pada penanggulangan HIV/AIDS. Beberapa kalangan, terutama ormas Islam, selalu menyebutkan bahwa penerapan hukum Islam bisa mengatasi AIDS. Mereka tidak melihat realitas sosial. Arab Saudi yang menjadikan Alquran sebagai UUD pn tetap saja melaporkan kasus AIDS. Sampai awal tahun sudah dilaporkan 13,926 kasus AIDS, 3,538 di antaranya orang Arab Saudi asli (http://saudiwriter.blogspot.com/2010/01/saudi-arabia-takes-step-backward-in.html).

Kalau ditarik analogi cara pandang ormas-ormas itu pun membawa kita ke alam naif karena mengesankan orang-orang yang tidak beragama akan tertular HIV. Lagi-lagi kita terperangkap dalam kehampaan nalar.

- Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar