Jumat, 14 Mei 2010

Batam (Bisa) Menjadi ‘Pintu Masuk’ Penyebaran HIV Secara Nasional

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 22/11-2005. Dalam laporan kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Depkes RI tanggal 10 Oktober 2005 menunjukkan kasus di Riau dan Kep. Riau mencapai 403 yang terdiri atas 206 HIV+ dan 197 AIDS. Lebih rinci disebutkan kasus AIDS di Kep. Riau mencapai 130 dengan 17 pada pengguna narkoba dan 73 kematian. Di Batam sendiri sampai pertengahan November 2005 tercatat 353 kasus HIV/AIDS. Kep. Riau (bisa) menjadi ‘pintu masuk’ penyebaran HIV/AIDS secara nasional karena banyak pekerja seks di Kep. Riau berasal dari berbagai daerah di Nusantara.

Data di atas tidak menyebutkan angka kasus HIV yang terdeteksi melalui survailans tes HIV terhadap pekerja seks. Survailans diperlukan untuk memperleh prevalens yaitu perbandingan antara pekerja seks yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kurun waktu tertentu. Survailans tes HIV harus mengacu ke standar prosedur tes HIV yang baku yaitu konseling (penjelasan yang akurat dan rinci tentang HIV/AIDS, tes HIV, dll.), informed consent (pernyataan kesediaan menjalani tes HIV secara lisan atau tertulis), menganut asas anonimitas (tidak ada tanda atau kode pada contoh darah yang akan dites), dan asas konfidensialitas (kerahasiaan).

Data ini penting karena menggambarkan besaran kasus HIV di kalangan pekerja seks yang menjadi ‘sasaran’ laki-laki yang ingin memuaskan nafsu seks. Jika di kalangan pekerja seks sudah terdeteksi kasus HIV maka laki-laki yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks berisiko tinggi tertular HIV. Pekerja seks yang tertular HIV sendiri merupakan ‘korban’ dari laki-laki yang datang mengencaninya.

Banyak orang yang mengatakan memakai kondom ketika melakukan hubungan seks bisa mengurangi kenikmatan. Padahal, laki-laki yang ‘jajan’ ke PSK ingin bersenang-senang untuk memperoleh kenikmatan sehingga mereka pun enggan mamakai kondom. Akibatnya, mereka berisiko tinggi tertular HIV karena melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pekerja seks yang sudah terdeteksi ada kasus HIV.

Kalau ada laki-laki yang tertular HIV maka laki-laki inilah yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Bagi yang beristri akan menulari istrinya. Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan secara vertikal kepada anak yang dikandungnya kelak ketika persalinan dan menyusui dengan air susu ibu/ASI (HIV/AIDS bukan penyakit turunan tapi penyakit menular sehingga dapat dicegah). Laki-laki ini pun bida juga menularkan HIV ke perempuan lain, misalnya, selingkuhannya atau pekerja seks yang lain. Sedangkan yang belum beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya atau pekerja seks lain.

Penularan HIV dari laki-laki pelanggan pekerja seks terhadap pekerja seks atau dari pekerja seks kepada laki-laki yang datang mengencaninya terjadi tanpa disadari. Hal ini bisa terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular). Biar pun tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang yang sudah tertular HIV perlu diingat yang bersangkutan sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain tanpa disadari antara lain melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah.

Selain laki-laki enggan memakai kondom sering pula terjadi pekerja seks dalam keadaan ‘teler’ akibat minuman beralkohol ketika meladeni tamunya sehingga dia lupa meminta teman kencannya memakai kondom. Kondisi ini menjadi pemicu penularan HIV antara pekerja seks dengan tamunya.

Survailans tes HIV terhadap pekerja seks sering berakhir dengan pemulangan pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif. Pekerja seks yang ‘beroperasi’ di Kep. Riau datang dari berbagai pelosok. Pelancong dari Singapura dan Malaysia selalu mencari ‘gadis Priangan’ sehingga banyak pekerja seks yang bukan berasal dari Jawa Barat mengaku-ngaku dari ‘Priangan’.

Dalam sebuah wawancara penulis dengan sepuluh pekerja seks yang dijangkau oleh Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan (YMKK) Batam menunjukkan ada di antara mereka yang berasal dari Jawa Tengah tapi mengakut dari Indramayu (Jawa Barat). Kondisi kesehatan mereka pun dapat disimak dari penyakit mereka. Enam di antara mereka mengidap penyakit menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, dll. Bahkan, di ‘lokasi Samyong’ banyak pekerja seks yang mengidap lebih dari dua jenis PMS. Dua mengaku klitorisnya putus karena digigit tamu. Dua lagi mengaku keputihan yang berkepanjangan. Keputihan merupakan salah satu gajala PMS.

Ketika mereka dipulangkan maka ada risiko penularan terhadap suaminya atau pacarnya di kampung halamannya. Pekerja seks yang tidak pulang ke kampungnya tapi pergi ke darah lain juga akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Yang merisaukan adalah pekerja seks yang tidak terdeteksi HIV-positif baik karena hasil tes pada survailans negatif atau tidak ‘terjaring’ untuk mengikuti survailans. Karena status HIV mereka negatif maka mereka pun ‘leluasa’ beroperasi ke daerah lain. Soalnya, mobilitas di kalangan pekerja seks sangat tinggi. Rata-rata mereka hanya beroperasi antara 2 – 4 bulan di satu daerah.

Satu hal yang luput dari perhatian adalah kemungkinan penularan HIV dari ‘penduduk lokal’ kepada pekerja seks karena selama ini persoalan HIV/AIDS hanya bertumpu pada pekerja seks. Survailans hanya menyasar pekerja seks tanpa memperhitungkan kemungkinan mereka ditulari oleh penduduk lokal. Kasus HIV/AIDS di kalangan penduduk lokal akan menjadi ‘bom waktu’ epidemi HIV/AIDS di Kep. Riau.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV antara penduduk lokal perlu ditingkakan penyuluhan agar penduduk yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan paangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar nikah mau menjalani tes HIV secara sukarela. Dengan mengetahui status HIV mereka dapat diajak untuk berhenti menyebarkan HIV. Selain itu mereka pun dapat pula ditangani secara medis agar tetap produktif.

Sedangkan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara nasional perlu digalang kerja sama antara Kep. Riau dengan daerah-daerah ‘pemasok’ pekerja seks. Pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif di Kep. Riau ditangani bersama dengan daerah asal pekerja seks tadi sehingga mereka tidak akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di daerah asalnya. Selama ini pemulangan pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif menjadi ‘santapan’ media massa karena identitas pekerja seks dibeberkan instansi yang menanganinya. Akibatnya, ada di antara mereka tidak pulang ke kampungnya tapi pergi ke tempat lain sehingga tidak bisa diajak memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS.

Akan lebih arif kalau penanganan pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif melibatkan kalangan LSM di Kep. Riau dan di daerah asal pekerja seks agar lebih efektif karena banyak LSM yang sudah mempunyai program penanganan AIDS yang komprehensif.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar