Hari AIDS Sedunia
Oleh Syaiful W. Harahap*
Jakarta, 24/11-2008. Kasus HIV/AIDS terus terdeteksi di berbagai daerah di Nusantara. Data terakhir menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 18.963. Estimasi pakar kasus HIV/AIDS berkisar antara 90.000-120.000. Penanggulangan tidak menyentuh akar persoalan. Penyebaran HIV di Indonesia tercepat di Asia. Hari AIDS Sedunia yang diperingati tiap 1 Desember hanya bersifat seremonial dan gaungnya pun hanya hari itu saja.
Penyebaran HIV di Nusantara menunjukkan ironi. Nun di ujung timur kasus HIV/AIDS terus terdeteksi. Data terakhir di Tanah Papua dilaporkan 1.492 kasus AIDS. Epidemi HIV di Tanah Papua selalu dikait-kaitkan dengan nelayan Thailand. Kasus HIV/AIDS terdeteksi tahun 1992 di Merauke pada pada nelayan Thailand dan PSK. Ada dua kemungkinan terkait dengan kasus HIV pada PSK di Merauke.
Pertama, PSK itu ditulari oleh penduduk lokal, pendatang, atau nelayan Thailand. Kalau ini yang terjadi maka ketika itu sudah ada penduduk lokal yang mengidap HIV. Laki-laki penduduk lokal yang menularkan HIV kepada PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, duda atau remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, petani, nelayan, pengangguran, rampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.
Penduduk Lokal
Penularan terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah mengidap HIV (HIV positif) tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Pada rentang waktu itulah terjadi penularan melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang dipakai bersama dengan bergantian, dan (d) air susu ibu (ASI) pada proses menyusui.
Kedua, sebelum praktek di Merauke PSK itu sudah mengiadp HIV. Jika ini yang terjadi maka lali-laki penduduk lokal yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tertular HIV. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tertular HIV. Jika ada penduduk yang tertular maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.
Dalam berbagai kegiatan, seperti ceramah, diskusi dan penyuluhan fakta di atas selalu tidak muncul sehingga masyarakat tidak memahami realitas penyebaran HIV. Ini terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama. Akibatanya, fakta medis tentang HIV/AIDS hilang. Yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).
Kalau Papua tetap menjadikan nelayan Thailand dan PSK sebagai kambing hitam penyebaran HIV maka persoalan tidak akan selesai. Kasus HIV juga terdeteksi di bagian pedalaman dan pesisir utara dan barat Papua yang jaraknya jauh dari Merauke di pesisir selatan. Belakangan ada lagi isu bahwa AIDS di Tanah Papua merupakan bagian dari genocide (pemusnahan secara teratur terhadap suatu suku atau bangsa).
Terkait dengan nelayan Thailand yang dituding sebagai penyebar HIV di Merauke pernah diprotes oleh delegasi Thailand di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik IV di Manila (1997). Dirjen PPM&PLP Depkes, ketika itu dijabat alm. dr Hadi M. Abednego, SKM, diserang oleh seorang remaja ketika berbicara perihal HIV/AIDS di Papua: ”Apakah orang Merauke tidak ada yang pergi ke luar daerahnya?” Protes ini tepat karena penduduk Merauke dan Papua juga bepergian ke luar daerah atau luar negeri. Siapa yang bisa menjami mereka tidak melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV ketika berada di luar Papua.
Demam Perda
Kalau ada penduduk Merauke khususnya dan Papua umumnya yang tertular HIV di luar Tanah Papua maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, peremupan lain yang menjadi pasangan seksnya atau PSK (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan kepada bayi yang dikandungnya (vertikal). Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau PSK. Inilah mata rantai penyebaran HIV yang tidak pernah muncul ke permukaan. Akibatnya, terjadi penyangkalan dan mencari kambing hitam.
Program penanggulangan AIDS di Tanah Papua hanya diantsiapasi dengan peraturan daerah (Perda). Ada enam Perda AIDS di Tanah Papua dari 12 Perda AIDS yang sudah ada di Indonesia. Apakah perda-perda itu berhasil menekan laju infeksi baru di kalangan dewasa? Jika ditilik dari enam perda itu tidak ada satu pasal pun yang menyentuh akar persoalan penyebaran HIV di Papua. Semua perda mengedepankan moral dalam pencegahan.
Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran yang realistis. Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah mengidap HIV (HIV-positif). Ini fakta medis.
Persoalannya adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV dari fisiknya. Maka, jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan hindari pergesekan langsung antara penis dan vagina serta cegah agar cairan air mani atau vagina tidak masuk ke dalam tubuh. Caranya? Yang lindungi penis atau vagina dengan kondom. Ini juga fakta medis.
Di ujung barat, di Aceh, terjadi penyangkalan dan penyebarluasan informasi yang menyesatkan. Berbagai kalangan di sana selalu menampik jika ada publikasi kasus HIV/AIDS dengan alasan daerah mereka menerapkan agama sebagai aturan hidup. Data terakhir menunjukkan 22 kasus HIV/AIDS sudah terdeteksi di NAD.
Tindakan Konkret
Sedangkan informasi yang menyesatkan bermula dari pernyataan Jane Wilson, ketika itu Country Director UNAIDS Indonesia, yang mengatakan bahwa tingkat perkiraan penderita HIV/AIDS yang tinggi di NAD karena Aceh kian terbuka terhadap masyarakat luar yang datang dengan misi kemanusiaan merehabilitasi Aceh pasca tsunami. Lagi-lagi seperti di Tanah Papua mencari ’kambing hitam’.
Kasus HIV/AIDS di Aceh terdeteksi setelah tsunami karena mulai ada kegiatan terkait tes HIV. Selain itu penduduk yang sudah mencapai masa AIDS pun terpaksa berobat karena ada infeksi oportunistik. Ketika mereka berobat itulah dokter melihat gejala terkait AIDS dan menganjurkan tes HIV.
Di Ibu Kota kasus HIV/AIDS pun terus bertambah. Jakarta menempati posisi pertama secara nasional. Data terakhir menyebutkan 3,123 kasus AIDS. Dari jumlah ini 2.278 terdeteksi di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik. Selain melalui jarum suntik penyebaran HIV di Jakarta terjadi melalui hubugnan seks. Jakarta pun sudah membuat perda penanggulangan AIDS.
Sedangkan Jawa Barat (Jabar) meroket ke peringkat kedua secara nasional dengan 2.042 kasus AIDS. Penyebaran HIV di Jabar juga di Indonesia al. dipicu oleh pekerja migran, seperti PSK dan TKW. Di Batam, Kepulauan Riau, misalnya, paguyuban sebuah daerah asal Jabar di sana mencatat 6.800 perempuan dari daerah mereka menjadi PSK di Batam. Jika ada di antara PSK ini yang tertular HIV di Batam maka ketika mereka pulang ke kampung halamannya mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Yang bersuami akan menulari suaminya. Ketika PSK tadi kembali ke Batam suaminya pun menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau PSK. Yang tidak bersuami akan menularkan HIV kepada laki-laki yang menjadi pasangannya atau pelanggannya kalau dia praktek sebagai PSK di kampung halamannya atau kota lain di Jabar atau Indonesia.
Setiap daerah di Indonesia tidak luput dari penyebaran secara horizontal, terutama melalui hubungan seks tanpa kondom dengan PSK baik di daerah sendiri maupun di luar daerah atau di luar negeri. Masalahnya adalah cara-cara pencegahan yang disampaikan tidak akurat karena dibalut dengan norma, moral, dan agama.
Salah satu materi KIE yang perlu disampaikan kepada masyarakat untuk mencegah penularan HIV di kalangan dewasa adalah “menghindari hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.”
Jika penyebaran HIV di Nusantara tidak segara diatasi dengan tindakan yang konkret dan realistis maka epidemi HIV akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS beberapa tahun ke depan.
* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar