Jumat, 14 Mei 2010

Berita AIDS, Antara Fakta dan Mitos

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 10/2-2001. Berita tentang narapidana (napi) yang terdeteksi HIV-positif di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wirogunan, Yogyakarta, yang di-blow up media massa lagi-lagi menunjukkan kasus HIV/AIDS tetap dianggap sebagai news. Padahal, jika disimak dari jurnalistik kasus tersebut tidak mengandung unsur-unsur layak berita yang kuat. Berita-berita HIV/AIDS di media massa selalu dibalut dengan agama dan moral sehingga fakta medis seputar HIV/AIDS hilang dan yang muncul pun hanyalah mitos (anggapan yang keliru).

Seorang napi, sebut saja bernama “X”, yang terdeteksi HIV-positif jelas tidak dikenal banyak orang, bahkan tidak semua napi di LP tersebut mengenal “X”. Berita tentang “X” itu pun tidak akan banyak berpengaruh karena selama ini media massa sudah menyuburkan mitos tentang HIV/AIDS, antara lain HIV/AIDS hanya di kalangan gay, pekerja seks, dll. Hal ini pun membuat masyarakat memberikan cap negatif (stigma) kepada orang-orang yang terinfeksi HIV.

Dalam berita jurnalistik ada enam unsur layak berita yaitu (1) significance yaitu sejauh mana suatu fakta atau informasi dapat mempengaruhi kehidupan orang banyak, (2) magnitude yaitu angka-angka yang dapat mempengaruhi pembaca, (3) timeliness yaitu kejadian yang baru terjadi, (4) proximity yaitu kedekatan suatu kejadian dengan pembaca baik secara geografis maupun psikologis, (5) prominence yaitu ketenaran jika suatu fakta atau kejadian menyangkut nama yang akrab dengan pembaca, dan (6) human interest yaitu keterkaitan unsur manusia misalnya orang besar dalam keadaan biasa atau orang biasa dalam keadaan luar biasa.

Darah Donor

Jika disimak berita-berita di media massa tentang napi tadi maka tidak ada fakta yang layak untuk diberitakan. Pertama, hasil positif itu tidak sahih karena belum dikonfirmasi dengan tes lain. Apalagi hasil itu ditemukan oleh PMI jelas tes yang digunakan hanya ELISA atau rapid test sehingga contoh darah yang bersangkutan harus dites lagi dengan Western blot atau dengan dua kali lagi tes ELISA tetapi dengan reagen dan prosedur yang berbeda. Selain itu dalam tes HIV ada standar prosedur operasi yang baku yaitu (1) konseling sebelum tes, (2) konseling sesudah tes, (3) asas anonimintas (contoh darah tidak ditandai dengan identitas), (4) asas konfidensialitas (semua data tentang donor dirahasiakan), dan (5) informed consent (pernyataan tertulis setelah memahami HIV/AIDS, tes HIV dan risiko-risikonya). Cara ini bukan hanya untuk tes HIV karena untuk tes penyakit lain pun tetap ada konseling.

Kedua, karena PMI hanya melakukan uji saring (skrining) terhadap darah (baca: darah) donor, maka tidak ada alasan bagi PMI untuk menyebarluaskan identitas pemilik darah karena PMI menganut asas unlinked anonymous yaitu pemilik darah tidak ditandai dengan identitas. Jadi, kalau ada darah yang mengandung HIV maka tidak dipakai dan tidak perlu diberitahukan kepada donor. Ketiga, berkaitan dengan publikasi kasus HIV/AIDS kebijakan pemerintah hanya menyebutkan jenis kelamin, usia dan faktor risiko (dugaan cara penularan).

Jadi, bertolak dari hal di atas maka PMI dan media massa jelas sudah melanggar asas, antara lain karena memberitakan identitas napi tersebut. Biar pun hanya ditulis dengan inisial tetapi napi di LP itu dapat mengenalinya apalagi kemudian petugas LP memberikan perlakuan khusus kepada napi tersebut yang justru menarik perhatian napi. Selain itu hasil tes itu pun belum pasti positif sehingga tidak layak diberitakan karena bisa saja hasilnya negatif.

Dalam acara Serasehan Media dan Pengambil Kebijakan yang diselenggarakan PMP AIDS-LP3Y “Yogya” di Hotel Saphir (27/9-2001) pihak PMI, yang diwakili Ketua PMI Yogya dr. Sulanto Saleh Danu, hanya cuci tangan dan mengatakan kebobolan. Ini jelas ngawur karena ada standar prosedur operasi donor yaitu unlinked anonymous sehingga kalau identitas donor dipublikasikan maka ini jelas perbuatan yang disengaja dan dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum karena melanggar asas. Sikap yang muncul dari Dinas Kesehatan Yogya pun sangat reaktif, seperti dikatakan Kadinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial DIY dr. Azimah Adib, bahwa publikasi kasus HIV/AIDS hanya melalui pihaknya.

Kalau saja semua taat asas tentu saja tidak perlu membuat regulasi yang tidak berguna. Artinya, kalau semua pihak hanya mengeluarkan dara jumlah kasus, jenis kelamin, umur dan faktor risiko tentu tidak ada masalah. Tetapi, kalangan medis yang mengetahui kerahasiaan catatan di medical record, seperti hasil tes HIV, justru ada yang melanggarnya. Semua catatan di medical record, tidak hanya HIV/AIDS tetapi kudis, panu dan flu pun merupakan rahasia jabatan dokter.

Karena HIV/AIDS sendiri merupakan fakta medis maka berita seputar HIV/AIDS pun harus objektif, fair dan komprehensif. Sebagai virus, HIV hidup di darah, sperma dan caira vagina dan hanya dapat menular melalui cara-cara yang sangat khas yaitu (1) melalui hubungan seks (sanggama), baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (4) dari seorang wanita yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui.

Kondisi Sanggama

Dalam kaitan inilah PMP AIDS-LP3Y mengembangkan jurnalisme empati dalam pemberitaan HIV/AIDS sehingga berita yang muncul pun akan objektif, akurat, fair dan komprehensif. Cara ini diharapkan akan dapat menggugah masyarakat agar menyikapi epidemi HIV dengan pikiran yang jernih. Jika hal ini terjadi maka setiap orang akan dapat melindungi dirinya secara aktif agar tidak tertular dengan menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Maka, kalau berpedoman kepada kegiatan berisiko tidak ada alasan untuk menerapkan tes kepada setiap pendatang ke Yogya seperti yang dianjurkan oleh Ketua PMI Yogya dalam serasehan itu. Selain tidak berguna cara itu pun sudah menghakimi pendatang, terutama pelajar dan mahasiswa yang akan melanjutkan pendidikan di Yogya, sebagai orang-orang yang kegiatannya berisiko tinggi. Yang perlu dilakukan adalah menjalankan surveilans tes HIV secara sistematis dan rutin untuk memperoleh prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu pula). Dengan mengetahui prevalensi itu dapat dibuat langkah-langkah yang konkret untuk merancang program, baik untuk meredam epidemi maupun untuk meningkatkan kepedulian masyarakat.

Di sinilah media massa memegang peranan yang besar. Dengan mengedepankan fakta melalui jurnalisme empati diharapkan masyarakat akan lebih dewasa dalam menanggapai epidemi HIV dengan pikiran yang jernih. Soalnya, selama ini berita justru membuat masyarakat mengabaikan perlindungan diri sehingga mereka berada pada posisi yang berisiko tertular HIV. Misalnya, berita selalu mengaitkan penularan HIV dengan zina, jajan, pelacuran dll., padahal sama sekali tidak ada kaitan langsung antara zina, jajan, pelacuran dll., dengan penularan HIV.

Penularan HIV melalui hubungan seks (sanggama) bukan terjadi karena sifat hubungan seks tersebut (di luar nikah, zina, selingkuh, jajan, dll.) tetapi terjadi karena kondisi hubungan seks tersebut (salah satu HIV-positif dan tidak memakai kondom). Maka, biar pun hubungan seks dilakukan dalam ikatan pernikahan yang sah tetapi kalau salah satu pasangan itu HIV-positif maka risiko penularan tetap ada jika sanggama dilakukan tanpa kondom. Sebaliknya, biar pun hubungan seks dilakukan di luar nikah, zina, jajan, selingkuh, dll. kalau keduanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV. Ini fakta!

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar