Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Media Indonesia”
Oleh Syaiful W. Harahap*
Jakarta, 1/11-2003. Hasil rakor tentang perlindungan TKI di luar negeri seperti yang ada dalam berita “Pemerintah Bentuk Tim Advokasi TKI” yang dimuat Harian “MEDIA INDONESIA” edisi 1 November 2003 tetap tidak memberikan langkah konkret untuk melindungi TKI, terutama TKW, di luar negeri, terutama di kawasan Timur Tengah.
Yang dikemukakan hanyalah wacana. Berapa pun petugas yang direkrut menjadi tim advokasi tetap saja tidak akan bisa mengatasi perlakuan majikan terhadap TKI karena mereka tidak berada 24 jam setiap hari rumah tempat TKI bekerja. Bayangkan satu anggota memantau 10.000 TKI. Apakah ini masuk akal?
Tim advokasi akan membawa kasus yang dialami TKI ke pengadilan. Apakah perlakuan terhadap TKW, seperti pemukulan, penyiksaan dan pemerkosaan, merupakan delik hukum pidana di Arab Saudi dan Kuwait? Lalu, apa pula sistem hukum yang berlaku di sana? Kalau ternyata mereka mempunyai hukum yang mengacu ke agama tentu sangat sulit ditembus. Kita khawatir yang terjadi justru pemborosan uang negara untuk membayar tim advokasi dan pengacara setempat karena perkaranya tidak bisa dibawa ke pengadilan.
Karena kasus yang banyak muncul adalah pemukulan, penyiksaan, pemerkosaan dan tidak dibayar maka perlu ditelusuri sistem hukum di sana: Apakah pemukulan, penyiksaan, pemerkosaan dan tidak membayar upah ‘terhadap perempuan yang menjadi budak’ merupakan pelanggaran hukum pidana? Nah, kalau hal itu tidak merupakan pelanggaran hukum pidana, maka manalah mungkin tim advokasi menggugatnya ke pengadilan setempat.
Lagi pula untuk apa lagi dibawa ke pengadilan kalau TKW sudah diperkosa, dipukuli, mati, dll? Maka, sangat tidak masuk akal ketika ada anggota DPR dalam Parliament Watch tentang TKI yang disiarkan MetroTV beberapa waktu lalu menyebutkan majikan di sana diwajibkan mengizinkan TKI berkumpul sekali sebulan. Lha, sebelum berkumpul di kedutaan mereka sudah diperkosa, disiksa, mati, dll.
Mengapa kita tidak berkaca ke negara lain, seperti Filipina, Bangladesh, dll. yang juga memasok tenaga kerja ke sana tetapi relatif tidak ada masalah? Yang diperlukan adalah perlindungan di negara tempat mereka bekerja bukan UU seperti yang ramai dibicarakan karena UU kita tidak bisa dipakai di negara lain.
Perlindungan terhadap TKI diperlukan agar mereka tidak diperkosa, tidak disiksa, dll. Bagaimana caranya? Ya, tentu saja dengan membuat semacam employee agreement antara TKI dengan majikan yang disaksikan oleh atase perburuhan kita di negara setempat. Dalam perjanjian itu disebutkan hak dan kewajiban masing-masing dengan rinci, al. paspor dan visa tetap dipegang TKI, nama dan alamat majikan dicatat di KBRI, perpindahan majikan atau TKI juga wajib dilaporkan ke KBRI. Perjanjian ini tentu saja harus melibatkan negara yang bersangkutan sehingga diperlukan perjanjian bilateral.
Tanpa perjanjian tertulis saya khawatir TKI kita disamakan dengan ‘budak’ karena majikan di sana ‘membeli’ TKI dari agency. Saya khawatir kalau pun ada perjanjian kerja bisa jadi hanya antara agency di negara setempat dengan PJTKI. Di Malaysia, misalnya, ada majikan yang ‘membeli’ TKI dari agency atau tekong, misalnya, 2.600 ringgit dengan janji akan digaji 600 ringgit sebulan. Apa yang terjadi? Pada bulan keempat majikan tadi menelepon polisi mengatakan di rumahnya ada imigran gelap. TKI ditangkap karena memang tidak mempunyai paspor dan calling visa sebagai bukti panggilan kerja. Majikan tidak membayar TKI. Dia kembali ‘membeli’ TKI dari agency, begitu seterusnya.
Kalau, misalnya tim advokasi, mau membela TKI tadi, dari sudut mana yang bisa diperkarakan? TKI tadi tidak mempunyai ikatan kerja resmi. Ketika ditangkap tidak mempunyai paspor dan visa sehingga termasuk imigran gelap. Nama dan alamat majikannya pun tidak diketahuinya.
Jadi, yang diperlukan adalah perlidungan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat antara majikan dan TKI.
* Penulis aktif di LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar