Oleh Syaiful W. Harahap*
Jakarta, 24/11-2003. Dengan jumlah kasus HIV/AIDS 125 (66 HIV-positif dan 59 AIDS) Jawa Barat berada para peringkat enam secara nasional. Angka yang sebenarnya bisa lebih besar tapi tidak terdeteksi. Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Epidemi HIV di Jawa Barat dipicu oleh pengguna narkoba yang memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Cara ini berisiko tinggi tertular HIV karena kalau salah satu di antara mereka HIV-positif maka yang memakai jarum suntik dan semprit yang sama akan tertular. Pengguna narkoba suntikan yang HIV-positif juga menjadi jembatan penyebaran HIV dari kalangan pengguna narkoba ke masyarakat melalui hubungan seksual dengan istrinya bagi yang sudah beristri atau dengan pasangan seksnya atau dengan pekerja seks.
Pemulangan pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif di Riau dan daerah lain ke tempat asal mereka di beberapa daerah di P. Jawa, seperti Jabar dan Jatim, juga mendorong epidemi HIV. Pekerja seks yang dipulangkan dari Riau dikhawatirkan tetap bekerja sebagai pekerja seks di Jabar. Sebagian besar kasus HIV-positif di Jabar juga terdeteksi di kalangan pekerja seks.
Gunung Es
Fakta ini menunjukkan epidemi HIV di Jabar sudah nyata. Tidak ada lagi waktu untuk menyangkalnya. Andaikan seorang pekerja seks melayani tiga laki-laki setiap malam maka dalam sebulan seorang pekerja seks melayani 60 laki-laki. Jika ada di antara 60 laki-laki itu yang tertular HIV maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Mereka akan menulari istrinya bagi yang beristri (horizontal). Yang tidak beristri bisa saja akan menulari pasangannya atau pekerja seks lain. Jika istri mereka tertular maka akan terjadi penularan dari-ibu-ke-bayi (vertikal) terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.
Jumlah kumulatif HIV/AIDS di Jabar tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Angka merupakan puncak dari suatu gunung es. Kasus yang sebenarnya di masyarakat jauh lebih besar tetapi tidak terdeteksi. Kasus HIV/AIDS tidak bisa dideteksi dengan mata telanjang karena tidak ada gejala-gejala klinis yang khas HIV/AIDS. Gejala baru mulai muncul jika sudah mencapai masa AIDS (5-10 tahun).
Tapi, perlu diingat bahwa biar pun belum mencapai masa AIDS seseorang yang HIV-positif sudah bisa menularkannya kepada orang lain melalui cara-cara yang sangat spesifik yaitu (1) melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) melalui transfusi darah, (3) melalui jarum suntik, dan (4) dari ibu yang HIV-positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.
Yang membuat epidemi HIV kian runyam adalah banyak orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari kalau dirinya sudah HIV-positif karena tidak ada keluhan. Orang-orang yang tidak menyadari dirinya HIV-positif menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Mereka ini tidak terdeteksi karena tidak ada mekanisme survailans tes HIV yang sistematis dan rutin seperti yang dilakukan di Malaysia.
Di Malaysia survailans dijalankan dengan rutin dan sistematis terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks, seperti GO, sifilis, dll.), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil. Itulah sebabnya kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia jauh lebih besar daripada kasus HIV/AIDS di Indonesia. Sampai 30/9-2003 Depkes mencatat 3.924 kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mendekati angka 40.000. Angka di Malaysia mendekati kasus ril sedangkan di Indonesia hanya merupakan puncak dari gunung es.
Mitos AIDS
Biar pun tidak ada survailans yang sitematis kita dapat memutus mata rantai penyebaran HIV kalau saja informasi tentang HIV/AIDS yang disampaikan ke masyarakat akurat. Selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui zina, hubungan seks di luar nikah, pelacuran, dll. Padahal, itu hanya mitos karena tidak ada hubungan langsung antara penularan HIV dengan zina, hubungan seks di luar nikah atau pelacuran. Di Negara-negara yang tidak ada (lokalisasi) pelacuran pun ada kasus HIV/AIDS.
Berkaitan dengan upaya menjangkau penduduk yang HIV-positif yang tidak terdeteksi dapat dilakukan dengan menyebarkan KIE yang akurat. Risiko penularan HIV tanpa disadari dapat terjadi jika seseorang melakukan perilaku berisiko yaitu (1) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.
Laki-laki yang pernah melakukan perilaku berisiko dianjurkan untuk menjalani tes HIV sukarela karena kemungkinan besar mereka sudah tertular HIV karena HIV sudah dideteksi di kalangan pekerja seks. Laki-laki yang terdeteksi HIV-positif diminta agar tidak melakukan perilaku berisiko agar tidak menyebarkan HIV. Selain itu ybs. pun bisa ditangani secara medis untuk menjalani pengobatan dan dukungan.
* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar