Tanggapan terhadap Berita Harian “Republika”
Oleh Syaiful W. Harahap*
Jakarta, 13/4-2004. Membaca berita “Polisi Minta Tayangan Kriminal Dihentikan” yang dimuat Harian “Republika” edisi 13 April 2004 di rubrik Nasional halaman 11 kembali mengingatkan kita terhadap perlakuan buruk media massa yaitu pelanggaran tarhadap asas praduga tak bersalah.
Sebagai lembaga yang al. bergerak dalam bidang selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” sudah mengirimkan surat kepada Kaplori Jenderal Pol. Da’i Bachtiar (No. 03/I/X/2003 tanggal 27 Oktober 2003 perihal Tanggapan terhadap Penampilan Tersangka di Media Massa). Syukurlah, Kapolri sudah menerbitkan imbauan melalui surat edaran Nopol B/700/III/2004 tanggal 30 Maret 2004. Namun, tidak dijelaskan dalam berita itu kepada siapa surat diedarkan.
Selain itu kami juga mengirim surat ke Dewas Pers Indonesia (No. 019/III/IX/2003 perihal tanggapan tentang pemuatan identitas tersangka). Hal ini berkaitan dengan jawaban Redaksi Harian “Republika” tehadap protes Purel “Star Air” yang menyayangkan pemuatan identitas lengkap Dirut “Star Air” sebagai tersangka (Republika, 20 Agustus 2003). Surat tanggapan dan jawaban “Republika” dimuat di Harian Republika edisi 25 Agustus 2003. Jawaban Redaksi Republika menyebutkan “Dibolehkannya penyebutan nama lengkap, dan bukan inisial, maupun identitas lainnya merupakan keputusan sejumlah organisasi profesi kewartawanan pada 1999, yang tertuang dalam KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia-pen.).”
Sebagai negara dengan asas hukum dan Pancasila serta mendengung-dengungkan diri sebagai bangsa yang beragama dan berbudaya tapi kenyataannya kita (baca: media massa) justru bertindak sebagai institusi yang melanggar asas praduga tak bersalah. Apakah ini buah reformasi (pers)?
Kalau, ya, lalu, untuk apa reformasi pers kalau hanya bisa merugikan orang lain? Kalangan pers memprotes premanisme, tapi tindakan pers yang menayangkan tersangka juga merupakan premanisme. Bahkan, kepala tersangka sering ditarik dan didorong agar melihat ke kamera. Ada yang sudah menutup muka dengan rambut, kertas, handuk, dll. tapi tetap dipaksa agar melihat ke kamera. Masya Allah. Ini merupakan salah satu bentuk kekerasan (media massa) terhadap publik.
Sebagai institusi pers sudah melanggar asas praduga tak bersalah karena tersangka yang ditayangkan belum divonis pengadilan, bahkan ada yang belum diproses polisi. Jadi, penayangan tersangka yang melanggar asas praduga tak bersalam merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).
Dalam kaitan ini tersangka yang ditayangkan dapat menggugat media dan polisi secara pidana dan perdata karena perbuatan yang tidak menyenangkan. Persoalannya, masyarakat tidak mengetahui mekanisme untuk menggugat media.
* Penulis aktivis di LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar