Kamis, 22 April 2010

‘Pernikahan Singkat’ (Bisa) Mewariskan AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap*

“Anak-anak yang ditinggalkan akan memiliki gen yang lebih baik dan dapat menjadi pemain sinetron.” Itulah pernyataan Wapres Jusuf Kalla pada promosi pariwisata tentang turis Timur Tengah datang ke Puncak, Jawa Barat, untuk mencari janda atau melakukan pernikahan singkat (Wapres Dituntut Minta Maaf atas Pernyataannya, KOMPAS, 1 Juli 2006).

Pernyataan Wapres itu bukan lagi sekedar ‘wacana’ karena di Kampung Blok Subur, sebuah desa di kawasan Puncak, Kab. Bogor, Jawa Barat, sejak tahun 1980-an sudah dikenal ‘kawin kontrak’ antara perempuan desa itu dan dari daerah lain dengan turis asal Timur Tengah. Desa itu dikenal sebagai ‘Kampung Janda’. Sekarang ‘kawin kontrak’ sudah ‘merambat’ ke beberapa kampung di kawasan Puncak. Perempuan yang dikawinkan berasal dari berbagai daerah, seperti Cianjur, Sukabumi, Karawang dan Indramayu yang dibawa oleh calo. Lama perkawinan bervariasi mulai dari hitungan hari, minggu, bulan dan tahunan.

Di kala epidemi HIV sudah terdeteksi di semua negara maka ada kemungkinan seorang penduduk atau turis menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk di satu negara atau antar negara.. Kalau turis, dari dalam atau luar negeri, yang melakukan pernikahan singkat di Puncak itu HIV-positif maka selain meninggalkan anak yang memiliki gen yang lebih baik juga sekaligus menularkan HIV kepada ‘istrinya’. Selanjutnya, ‘istri’ yang diceraikannya setelah ‘nikah singkat’ itu pun menjadi mata rantai penyebaran HIV. Kepada anak yang dikandungnya atau kepada turis lain atau penduduk yang kelak mengawininya.

Ada salah kaprah dalam bentuk mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Disebutkan HIV menular karena zina, pelacuran, seks oral dan seks anal, serta homoseksual. Ini terjadi karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) selalu dibalut dengan moral sehingga tidak akurat. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif.

Banyak yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena mereka merasa tidak melakukan zina. Biar pun dilakukan dengan pekerja seks tapi mereka ‘menikah’dulu sehingga hubungan seks yang mereka lakukan sah. Ada lagi yang tidak merasa berisiko tertular HIV biar pun dia menikahi pekerja seks karena hubungan seks mereka lakukan di dalam ikatan pernikahan. Bahkan, dari sisi moral laki-laki yang menikahi pekerja seks tadi menjadi ‘pahlawan’, tapi dari sisi penularan HIV dia berisiko karena sebelum dinikahinya istrinya merupakan orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yaitu berganti-ganti pasangan.

Padahal, kegiatan mereka itu berisiko tinggi tertular HIV. Perempuan yang mereka ‘nikahi’ sering berganti-ganti pasangan sehingga berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang pernah ‘menikah’ dengannya HIV-positif.

Persoalan besar pada epidemi HIV adalah penularan terjadi secara diam-diam tanpa disadari karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Pada kurun waktu itulah terjadi penularan HIV tanpa disadari.

Laporan UNAIDS, menyebutkan sejak awal epidemi sampai Desember 2005 secara global tercatat 40,3 juta penduduk dunia yang hidup dengan HIV/AIDS. Kematian mencapai 3,1 juta. Infeksi baru pada tahun 2005 mencapai 4,9 juta. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan Depkes 10.156, sedangkan kalangan ahli memperkirakan antara 80.000 – 120.000.

Dalam laporan terbaru UNAIDS (AIDS epidemic update December 2005) disebutkan bahwa peningkatan kasus AIDS di Afrika Utara dan Timur Tengah terus berlanjut. Penularan terjadi melalui hubungan seks dan jarum suntik pada penggunaan narkoba. Dilaporkan pula bahwa program pelayanan dan pencegahan HIV di kawasan ini berlangsung secara sporadis. Pengetahuan tentang HIV/AIDS rendah. Kegiana pencegahan, termasuk di kalangan yang berisiko tinggi, jarang dilakukan.

Di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah diperkirakan 510.000 kasus HIV/AIDS dengan perkiraan tertinggi 1,4 juta. Sampai akhir 2004 di Arab Saudi dilaporkan 8.919 kasus kasus HIV/AIDS (arabnews.com - 3 September 2005). Bertolak dari fakta ini maka sangat beralasan kalau ada kekhawatiran terjadi penularan HIV kepada perempuan yang dijadikan istri pada pernikahan singkat.

Turis tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV, sedangkan perempuan yang dijadikan ‘istri singkat’ pun tidak menganggap pernikahan itu berisiko karena mereka melakukannya dalam ikatan pernikahan yang sah.

Sebuah organisasi mahasiswa keagamaan pernah mengusulkan agar dilakukan nikah mut’ah di lokalisasi pelacuran (Panji Masyarakat, No. 13, Tahun I, 14 Juli 1997). Biar pun hubungan seks ‘halal’ tapi penularan HIV dan PMS (penyakit menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) tetap bisa terjadi karena penularan HIV dan PMS melalui hubungan seks tidak ada kaitannya dengan sifat hubungan seks (di dalam atau di luar nikah) tapi erat kaitannya dengan kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom).

Sejak AIDS diidentifikasi pertama kali (1981) dan HIV diakui oleh WHO sebagai virus penyebab AIDS (1986) kalangan medis sudah mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang realistis.

Tapi, karena di awal epidemi kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan gay dan pekerja seks maka AIDS pun dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Akibatnya, fakta medis HIV/AIDS pun hilang dan yang muncul hanya mitos. Mitos ini menyesatkan. Penularan HIV pun terjadi diam-diam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV biar pun perilakunya berisiko tinggi. Soalnya, perilaku berisiko itu dilakukan di dalam ikatan pernikahan yang sah. ***


* Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar